Petualangan di Laut Sunyi Scan by BBSC - OCR by Raynold Gudang Download Ebook: www.zheraf.net http://zheraf.wapamp.com Bab 1 PENGASUH? — TAK USAH, YA! "Aduh — tahu tidak, sekarang sudah tanggal lima Mei!" kata Jack. Suaranya bernada sedih. "Kawan-kawan semua sudah kembali berada di sekolah hari ini."‘ "Sayang, sayang!" kata Kiki si burung kakaktua. Kedengarannya sama sedihnya seperti Jack "Campak sialan!" tukas Lucy-Ann. "Mula-mula Philip yang kejangkitan begitu ia pulang untuk berlibur di rumah. Kemudian penyakit berpindah ke Dinah yang menulari aku, dan sekarang kau yang ketularan!" "Yah — pokoknya kita semua sekarang sudah tidak dilarang lagi ke luar rumah," kata Dinah dari pojoknya dalam ruangan itu. "Dokter kita konyol! Keterlaluan, masak kita disuruhnya bepergian untuk mencari suasana lain sebelum kembali ke sekolah. Apakah kembali ke sekolah bukan sudah mendapat suasana lain? Padahal aku paling senang bersekolah pada semester musim panas." "Ya, betul — kurasa jika aku diperbolehkan bersekolah sekarang, pasti aku masuk kesebelasan inti," kata Philip sambil mendorong jambulnya ke belakang. "Wah —senang rasanya apabila rambutku ini sudah dipangkas pendek lagi! Rasanya seperti anak perempuan, berambut panjang seperti sekarang ini!" Selama liburan yang lalu keempat anak itu terserang penyakit campak yang lumayan parahnya. Apalagi Jack — ia sangat menderita selama itu. Sedang Dinah dirongrong gangguan pada matanya. Sedikit banyak itu merupakan kesalahannya sendiri, karena ia sebetulnya dilarang dokter membaca selama masih sakit. Tapi Dinah tidak mematuhi larangan itu. Kini matanya selalu berair dan tidak tahan kena sinar terang. Selalu saja ia terkejap-kejap. "Sudah jelas, Dinah belum boleh membuat pekerjaan sekolah," kata Pak Dokter tadi dengan tegas. "Kau pasti menganggap dirimu lebih tahu ketika kau tak mengacuhkan laranganku itu, ya! Masih untung kalau kau nanti tidak terpaksa memakai kaca mata!" "Mudah-mudahan saja ibu tidak menyuruh kita ke salah satu rumah penginapan yang menyebalkan di tepi laut," kata Dinah. "Ia sendiri tidak bisa ikut karena mendapat salah satu tugas penting yang harus diselesaikan musim panas ini. Mudah-mudahan saja ia tidak menyewa pengasuh untuk mengantar kita beristirahat." "Apa? Pengasuh? Kalau begitu aku tidak mau ikut!" tukas Philip dengan sikap mencemooh. "Lagi pula, takkan ada pengasuh yang mau tetap tinggal begitu tahu bahwa aku sekarang sedang melatih anak-anak tikus." Dinah menatap abangnya dengan sebal. Philip selalu membawa-bawa salah satu jenis binatang ke mana saja ia pergi. Ia sangat menyukai binatang. Mereka menurut sekali padanya. Dalam hati Lucy-Ann berpendapat, jika Philip berjumpa dengan seekor harimau yang galak dalam rimba, kalau anak itu mengulurkan tangan pasti harimau akan menjilatinya seperti biasa dilakukan anjing. Sambil menjilat tangan Philip, harimau itu tentu akan mendengkur-dengkur puas — seperti kucing. Begitulah pendapat Lucy-Ann mengenai kepintaran Philip menjinakkan binatang. "Aku sudah pernah bilang, Philip," tukas Dinah, "aku akan menjerit jika kau sampai berani memperlihatkan salah seekor anak tikus padaku!" "Baiklah — kalau begitu, silakan menjerit!" kata Philip, seolah-olah Dinah tadi memang meminta. "He, Pencicit — ke mana lagi kau sekarang?" Seekor anak tikus muncul dari balik kerah baju hangat yang membungkus tubuh Philip. Ia itulah yang bernama Pencicit. Dan sesuai dengan nama yang diberikan, Pencicit mencicit dengan nyaring. Jeritan Dinah yang menyusul nyaris menulikan telinga. "Kau ini jahat, Philip! Berapa ekor saja yang ada di balik bajumu itu? Coba kita punya kucing — akan kuumpankan tikus-tikus itu semua padanya." "Tapi kita tidak punya kucing," kata Philip dengan tenang. Didorongnya kepala Pencicit ke bawah, masuk kembali ke balik baju. "Tiga tikus buta," oceh Kiki si kakaktua, mengucapkan bagian awal suatu lagu anak-anak. Burung iseng itu menelengkan kepala, menunggu Pencicit muncul kembali dari balik baju. "Salah, Kiki," kata Jack. Secara iseng ditariknya buntut burung kakaktua itu. "Bukan tiga tikus buta, tapi seekor anak tikus yang awas sekali matanya. Eh, Kiki — kenapa kau tidak ikut ketularan penyakit campak?" Kiki terkekeh nyaring. Ia merasa senang diajak bicara oleh Jack. Kepalanya ditundukkan, minta digaruk. "Sudah berapa kali kukatakan, tutup pintu!" teriaknya. "Sudah berapa kali kukatakan, bersihkan kaki kalau masuk? Bersihkan pintu, tutup kaki, bersihkan...." "He, he ——jangan asal bunyi kalau bicara!" kata Jack. Anak—anak tertawa. Mereka selalu geli kalau mendengar Kiki mengacaukan susunan kata-kata yang gemar diucapkan olehnya. Dan kakaktua iseng itu senang membuat orang tertawa. Burung itu mengangkat kepala dan meninggikan jambulnya sambil mengeluarkan bunyi yang kedengarannya mirip mesin pemotong rumput yang terdapat di luar, dalam kebun. . "Sudah! Cukup!" kata Jack sambil menepuk paruh Kiki. "Berhenti, Kiki!" Tapi Kiki senang mendengar bunyi yang sedang diperdengarkannya. Ia terbang ke palang tirai. Sambil bertengger di situ, ia terus beraksi Seperti mesin pemotong rumput yang sudah lama tidak diminyaki. Berdecit-decit bunyinya! Sesaat kemudian kepala Bu Mannering tersembul dari balik pintu. "Aduh, Anak-anak!" katanya. "Jangan biarkan Kiki berisik seperti itu. Aku sedang berbicara dengan seseorang. Keberisikan Kiki sangat mengganggu!" "Siapa orang itu, Bu?" kata Philip dengan segera. "Aduh — jangan-jangan ibu ini mencari semacam pengasuh untuk menemani kami pergi bertetirah!" "Ya, betul! Dan orang itulah yang sekarang sudah datang," kata Bu Mannering. Anak-anak langsung berkeluh—kesah. "Kalian kan tahu sendiri, saat ini aku sedang tidak punya waktu untuk menemani kalian," sambung Bu Mannering. "Soalnya, aku sudah menerima tugas baru ini — walau tentu saja jika dari semula aku sudah tahu bahwa kalian akan begini lama terkurung dalam rumah karena penyakit campak, dan sesudah itu kelihatan begini pucat...” "Pucat, pucit! Kami sama sekali tidak pucat!" kata Philip. Ia merasa tersinggung. “Pencicit pucit," sela Kiki dengan segera, lalu terkekeh-kekeh. Burung konyol itu senang sekali menggabung-gabungkan kata-kata yang kedengarannya mirip. “Pencicit - pucat - pucit.” "Tutup mulutmu, Kiki!"- seru Jack. Diambilnya sebuah bantal kursi, lalu dilemparkannya ke arah burung kakaktua itu. "Kami kan bisa pergi sendiri tanpa pengantar, Bibi Allie! Kami sudah cukup besar —— bisa mengurus diri kami sendiri." "Jack, begitu kalian lepas dari pengawasanku saat liburan, kalian pasti langsung terlibat dalam berbagai petualangan yang menyeramkan," kata Bu Mannering. "Takkan bisa kulupakan kejadian musim panas yang lalu — ketika kalian keliru naik pesawat terbang, lalu lama sekali hilang dalam suatu lembah aneh!" "Ah, itu kan malah petualangan yang asyik!" seru Philip. "Aku mau saja mengalami petualangan seperti itu lagi. Aku sudah bosan begini lama terkurung karena penyakit campak. Ayo dong, Bu — kami boleh bepergian sendiri, ya? ibu kan baik hati!" "Tidak," kata ibunya. "Kalian kali ini harus pergi ke suatu tempat yang seratus persen aman di tepi laut bersama seorang pengasuh yang seratus persen dapat dipercaya. Di sana kalian menikmati tetirah yang seratus persen terjamin keamanannya!" "Aman, aman, amin!" jerit Kiki. Bu Mannering buru—buru menutup telinganya. "Aduh, burung itu!" keluhnya. "Aku sudah capek mengurus kalian semua, tapi sungguh — si Kiki benar-benar bisa membuat aku gila lama — kelamaan. Senang rasanya jika ia sudah pergi bersama kalian." "Pasti takkan ada pengasuh yang suka pada Kiki," kata Jack. "Bibi Allie, sudahkah Anda mengatakan apa-apa pada calon pengasuh yang ada di luar tentang Kiki?" "Belum," kata Bu Mannering. "Kurasa sebaiknya ia kuajak saja masuk untuk memperkenalkannya pada kalian — dan juga pada Kiki." Sementara Bu Mannering keluar lagi, anak-anak saling berpandang-pandangan dengan wajah masam. "Sudah kubayangkan hal ini akan terjadi. Kita bukannya bisa asyik di sekolah, melainkan harus termenung-menung ditemani seseorang yang menyebalkan," kata Dinah dengan suram. "Phil — tidak bisakah kau berbuat sesuatu dengan tikus—tikusmu yang menjijikkan itu nanti, saat calon pengasuh kita masuk? Jika ia tahu kau tergolong, anak-anak yang suka menyimpan tikus, kumbang, dan landak dalam baju dan kantong, ada kemungkinannya ia akan langsung lari terbirit-birit!" "itu ide yang bagus, Dinah!" kata anak-anak yang lain dengan segera. "Tidak sering kau punya pikiran sebaik itu," kata Philip sambil menatap adiknya dengan tampang berseri-seri. "He, Pencicit — ayo, keluar! Di mana kau, Woffles? Melit — ayo, keluar dari kantongku!" Dinah cepat-cepat lari ke sudut kamar yang paling jauh. Matanya menatap ketiga ekor tikus putih yang bermunculan itu dengan ngeri. Berapa ekor saja yang sebenarnya ada pada Philip? Dinah bersumpah dalam hati, kalau tidak benar-benar perlu takkan mau lagi dekat-dekat dengan Philip. "Kurasa Kiki juga perlu memamerkan kebolehannya," kata Jack sambil nyengir. "Ayo, Kiki! Juk-juk—juk!" Itu merupakan isyarat bagi Kiki untuk menirukan bunyi peluit lokomotif dalam terowongan. Burung konyol itu mengangakan paruh, sementara kerongkongannya menggembung. Ia senang sekali, karena jarang diminta untuk memperdengarkan bunyi berisik itu. Lucy-Ann cepat-cepat mendekapkan kedua tangannya, menutupi telinga. Saat itu pintu dibuka dari luar. Bu Mannering masuk bersama seorang wanita. Wanita itu jangkung, potongannya nampak galak. Anak-anak langsung sadar, selama wanita itu ada di dekat mereka, takkan mungkin akan terjadi sesuatu yang luar biasa. Mereka takkan bisa mengalami petualangan mengasyikkan. Sikap wanita itu memberi jaminan, "seratus persen aman!" "Ini Bu Lawson, Anak-anak," kata Bu Mannering. Ia tidak bisa melanjutkan kata-katanya, karena dikalahkan bunyi peluit lokomotif yang keluar dari kerongkongan Kiki. Tiruannya kali itu lebih baik dan biasanya, dan panjaaang sekali. Kiki menjerit sepuas-puasnya. Mumpung ada yang menyuruh, begitu rupanya pikiran burung edan itu. Napas Bu Lawson tersentak. Ia mundur selangkah. Mula-mula ia masih belum melihat Kiki. Ditatapnya keempat anak yang berada dalam kamar. Ia menyangka pasti salah seorang dari mereka itulah yang menjerit. "Kiki!" bentak Bu Mannering. Ia marah sekali. "Kenapa kalian biarkan saja ia berteriak seenaknya, Anak—anak? Kalian ini membuat malu saja!" Kiki berhenti menirukan peluit lokomotif. Sambil menelengkan kepala, dipandangnya Bu Lawson dengan sikap kurang ajar. "Bersihkan kakimu!" bentak Kiki. "Tutup pintu! Mana sapu tanganmu? Harus berapa kali lagi kukatakan..." "Bawa Kiki ke luar, Jack," kata Bu Mannering. Mukanya merah padam karena jengkel. "Maaf, Bu Lawson. Kiki itu burung piaraan Jack. Biasanya ia lebih tahu aturan!" "Begitu," kata Bu Lawson. Dari air mukanya nampak jelas bahwa ia menyangsikan ucapan Bu Mannering. "Saya tidak begitu biasa bergaul dengan burung kakaktua, Bu Mannering. Burung itu kan tidak ikut dengan anak-anak? Saya tidak bisa disuruh ikut bertanggung jawab atas binatang piaraan seperti itu — dan rasanya takkan ada losmen..." "Itu bisa kita bicarakan nanti," kata Bu Mannering buru-buru. "Kau tidak mendengar kataku tadi, Jack? Ajak Kiki ke luar." "Jerangkan air, Polly," kata Kiki lagi pada Bu Lawson. Wanita itu tidak mengacuhkannya sama sekali. Tapi tiba-tiba ia kaget ketika tahu-tahu Kiki menggeram, menirukan suara anjing galak. Jack cepat-cepat menangkap kakaktua itu. Sambil mengedipkan mata ke arah anak-anak yang lain, diajaknya Kiki ke luar. "Sayang, sayang," kata Kiki dengan sedih. Pintu kamar ditutup kembali. Bu Mannering menarik napas lega. "Anak yang keluar itu bernama Jack. Jack Trent. Anak perempuan ini adiknya, Lucy-Ann. Mereka bukan anak saya," kata Bu Mannering menjelaskan duduk perkara pada Bu Lawson. "Ayo, beri salam pada Bu Lawson, Lucy-Ann. Jack dan Lucy-Ann ini kawan baik anak-anak saya. Mereka tinggal di sini bersama kami. Mereka juga bersama-sama bersekolah di internat." Bu Lawson memandang gadis cilik berambut merah dan berbola mata hijau itu. Ia langsung menyukai Lucy-Ann. Tampangnya mirip sekali dengan abangnya, kata Bu Lawson dalam hati. Setelah itu ia memperhatikan Philip dan Dinah. Keduanya berambut coklat tua dengan jambul aneh mencuat di atas dahi. Nanti kalau aku sudah mengasuh mereka, akan kusuruh keduanya menyikat rambut- mereka agar rapi, pikir Bu Lawson lagi. Dinah datang mendekat dengan sikap sopan, lalu bersalaman dengan Bu Lawson. Menurut perasaannya, calon pengasuh itu pasti sangat tertib, sangat rapi, dan juga sangat membosankan. Pokoknya seratus persen aman! Setelah itu Philip maju untuk bersalaman. Tapi belum apa-apa, tahu-tahu ia menjamah lehernya. Lalu pindah, memegang tepi bawah celana pendeknya. Kemudian ia mendekapkan tangan ke perut. Bu Lawson memandangnya sambil melongo. "Maaf — ini cuma tikus-tikusku saja," kata Philip menjelaskan gerak-geriknya yang aneh itu. Mata Bu Lawson semakin membundar karena ngeri ketika dilihatnya Pencicit lari mengelilingi kerah baju Philip, sedang Melit bergerak—gerak menyusur perut anak itu sehingga bajunya pada bagian itu nampak bergerak-gerak. Dan Woffles, anak tikus putih yang satu lagi, tersembul dari balik lengan baju Philip. Aduhaduhaduh, masih ada berapa ekor tikus Iagi yang berdiam dalam baju anak itu? "Maaf," kata Bu Lawson dengan suara lemah. "Maaf sekali — tapi saya tidak mampu melakukan tugas ini, Bu Mannering. Sungguh, saya tidak mampu." Bab 2 IDE YANG GEMILANG Bu Lawson cepat-cepat minta diri. Bu Mannering mengantarkannya ke pintu. Setelah calon pengasuh yang tidak jadi itu sudah pergi, Bu Mannering kembali ke ruang main anak-anak ia kelihatannya sangat jengkel. "Sungguh! Kalian benar-benar keterlaluan tadi! Aku jengkel dan marah sekali sekarang. Bagaimana kau sampai bisa membiarkan Kiki bertingkah seperti tadi, Jack! — dan kau, Philip, untuk apa kau membuat tikus-tikusmu semua muncul secara serempak!" "Tapi, Bu— aku tidak mungkin bisa pergi kalau tikus-tikusku tidak ikut," bantah Philip. "Karena itu kurasa sudah selayaknya Bu Lawson diberi kesempatan untuk mengetahui apa yang akan dihadapinya nanti — anu, maksudku, tadi aku hanya ingin bersikap jujur, dan..." "Kau tahu sendiri bahwa sikapmu tadi sangat mengganggu," tukas Bu Mannering. "Kalian semua sedikit pun tidak membantu mempermudah keadaan. Kalian kan tahu, kalian belum bisa kembali bersekolah — kalian semua masih kelihatan kurus dan pucat, kalian perlu menjadi segar dulu — dan aku sudah berusaha sebaik mungkin agar kalian dapat bertetirah dengan baik di bawah asuhan seseorang yang dapat diandalkan." "Maaf, Bibi Allie," kata Jack Ia melihat bahwa Bu Mannering saat itu benar-benar sedang kesal. "Tapi — justru tetirah macam itulah yang sama sekali tidak kami sukai. Kami sudah terlalu besar, jadi sudah tidak mau lagi dirongrong terus-menerus oleh Bu Lawson. Kalau yang menemani kami Bill, nah..." Bill! Dengan segera wajah setiap orang dalam ruangan itu berseri-seri begitu teringat pada Bill Smugs. Nama asli orang itu sebenarnya Cunningham. Tapi saat anak-anak mengalami petualangan mereka yang pertama, ia memperkenalkan dirinya sebagai Bill Smugs. Sejak itu ia tetap bernama Bill Smugs. Hebat-hebat petualangan yang pernah dialami anak-anak bersamanya. "Wah! Betul — coba kita bisa bepergian dengan Bill," kata Philip. Ia mengusap-usap hidung Pencicit dengan penuh kasih sayang. "Ya — lalu langsung masuk ke tengah petualangan yang baru lagi," kata Bu Mannering. "Aku kan tahu, Bill itu bagaimana!" "Bukan begitu, Bibi Allie — kamilah yang selalu mengalami petualangan, sedang Bill hanya ikut terseret ke dalamnya," kata Jack membela Bill. "Sungguh! Tapi sudah lama tidak ada kabar dari Bill." Katanya itu benar. Bill seolah-olah lenyap dengan begitu saja. Surat-surat dan anak-anak tidak pernah dijawab olehnya. Bu Mannering juga tidak menerima kabar apa—apa. Bill tidak ada di rumahnya. Sudah tiga minggu ia tidak pulang. Tapi tidak ada yang merasa waswas karenanya. Bill selalu sibuk dengan tugas-tugas rahasia yang berbahaya, dan ia sudah biasa menghilang selama berminggu-minggu. Tapi sekali ini ia sudah lama sekali pergi tanpa mengatakan apa-apa pada siapa pun juga. Ah, sudahlah — pasti pada suatu saat nanti ia akan tiba-tiba muncul dengan senyum lebar menghias wajahnya yang periang, siap untuk berlibur. Coba ia muncul saat itu, siang itu juga! Pasti asyik, pikir anak-anak. Mereka sama sekali tidak keberatan kehilangan satu atau dua minggu masa sekolah musim panas yang menyenangkan, asal mereka bisa ikut bepergian dengan Bill Smugs. Tapi Bill tidak muncul — sedang keputusan sudah harus diambil mengenai tetirah keempat anak itu. Bu Mannering menatap anak—anak. Ia merasa putus asa menghadapi sikap mereka yang keras kepala. "Bagaimana jika kalian pergi ke suatu tempat di tepi laut, di mana kalian bisa mengamati kehidupan burung laut, serta menyelidiki kebiasaan mereka bersarang?" kata Bu Mannering dengan tiba-tiba. "Aku tahu, Jack sudah selalu kepingin — tapi selama ini tidak mungkin, karena pada saat-saat terbaik untuk itu kalian selalu sedang sibuk bersekolah... dan —" "Wah, Bibi Allie!" seru Jack bergembira. Ia menandak-nandak. "Itu ide yang paling hebat! Wah .... " "Betul, Bu! Ide Ibu itu hebat sekali!" kata Philip sambil mengetuk-ngetuk meja untuk mempertegas luapan rasa gembiranya. Dengan segera Kiki ikut-ikutan mengetukkan paruhnya. "Silakan masuk," ocehnya. Tapi tidak ada yang sempat memperhatikan dirinya. Semua sedang keasyikan dengan gagasan yang dikemukakan Bu Mannering. Lucy-Ann selalu suka berada di tempat di mana abangnya juga ada. Karena itu wajahnya berseri-seri. Ia tahu, Jack pasti akan sangat senang, karena bisa berada di tengah burung-burung yang digemarinya. Philip pun penyayang makhluk hidup, termasuk burung. Ia tak mengira ibunya akan mengajukan usul yang demikian menyenangkan. Hanya Dinah saja yang suram tampangnya. Anak itu tidak suka pada binatang yang hidup di alam liar. Ia takut sekali pada mereka, walau kini keadaannya sudah agak lumayan dibandingkan dengan dulu. Ia suka pada burung, tapi minat dan kesayangannya pada jenis margasatwa itu tidak sampai seperti Jack dan Philip. Walau demikian, bayangan akan bisa berempat saja di salah satu tempat yang terpencil dan liar di pesisir — mengenakan pakaian usang, berbuat sekehendak hati, piknik setiap hari — aduh, asyiknya! Akhirnya Dinah pun tersenyum, lalu ikut meramaikan suasana riang saat itu. "Kami benar-benar boleh pergi? Kami sendiri saja?" "Kapan? Ibu bilang dong —— kapan?" "Besok, ya? Bagaimana kalau besok saja? Wah, membayangkannya saja, aku sudah langsung senang!" _ "Ibu ini ada-ada saja akalnya. Sungguh, hebat sekali, Bu!" Kiki bertengger di atas bahu Jack sambil mendengarkan suara anak-anak yang, hingar-bingar. Tikus-tikus putih dalam baju Philip mencari tempat bersembunyi karena takut pada suara ribut yang meledak secara tiba-tiba itu. "Berilah aku kesempatan untuk memberi penjelasan," kata Bu Mannering. "Suatu ekspedisi ilmiah, dua hari lagi akan berangkat menuju pesisir dan pulau—pulau terpencil yang letaknya di lepas pantai utara Inggris. Mereka terdiri dari beberapa penyelidik alam serta seorang anak laki-laki, putra Dr. Johns, seorang sarjana omitologi." Anak-anak mengenal arti kata asing itu. Seorang ahli- omitologi ialah sarjana yang pekerjaannya menyelidiki kehidupan burung-burung. Ayah Philip ketika masih hidup juga sangat menyayangi burung. Namun ia sudah meninggal dunia. Philip sering merasa rindu pada ayahnya, karena ia pun penyayang segala jenis margasatwa. "Dr. John? ltu kan salah seorang sahabat karib ayah dulu, ya Bu?" kata Philip. "Betul," kata ibunya. "Aku kebetulan berjumpa dengan dia minggu lalu. Saat itulah ia bercerita mengenai ekspedisi itu. Kata Dr. Johns, putranya ikut di dalamnya. Ia juga menanyakan kemungkinanmu ikut bersama Dinah, Philip. Tapi saat itu kau masih sakit. Jadi aku langsung saja mengatakan tidak bisa. Tapi sekarang..." "Tapi sekarang kami bisa!" seru Philip sambil merangkul ibunya. "Bayangkan, ibu berniat hendak menerima Bu Lawson untuk menemani kami bertetirah sebagai pengasuh. Padahal Ibu tahu tentang ajakan itu. Ibu keterlaluan, ah!" "Yah — aku menganggap perjalanan itu terlalu jauh bagi kalian," kata Bu Mannering. "Lagi pula, bukan seperti itu liburan yang kubayangkan bermanfaat bagi kalian. Tapi jika kalian menghendakinya, aku bisa saja menelepon Dr. John untuk meminta agar kalau bisa menerima empat anggota lagi untuk ekspedisinya." Sambil minum teh sore itu, anak-anak sibuk memperbincangkan ekspedisi yang akan datang. Mereka riang gembira. Bayangkan — mereka akan mengadakan perjalanan penyelidikan ke pulau-pulau sebelah utara. Di antara pulau-pulau itu, ada beberapa yang penghuninya hanya burung-burung belaka! Bayangkan — mereka akan berenang-renang, berlayar dengan perahu, serta berjalan-jalan memperhatikan beratus — ah, apa beratus, beribu! — ya beribu-ribu burung yang hidup bebas di alam liar! "Di sana pasti ada burung-burung puffin," kata Jack dengan gembira. "Beribu-ribu burung pufin! Mereka pada masa mengeram selalu datang ke sana! Aku kepingin sekali bisa mengamat-amati kehidupan mereka. Burung itu kocak sekali kelihatannya." "Puf-puf—puflin," oceh Kiki dengan segera. Dikiranya nama burung itu merupakan bagian dari bunyi kereta api yang sedang berjalan. Jack buru-buru melarangnya, karena tahu apa yang akan menyusul sebentar lagi — yaitu bunyi peluit panjang melengking. "Jangan, Kiki! Nanti saja kau takut-takuti segala macam burung laut yang akan kita datangi — tapi jangan menjerit di sini. Bibi Allie tidak tahan mendengarnya." "Sayang, sayang!" oceh Kiki dengan nada sedih. "Juk-juk-jesss!" "Burung konyol," kata Jack sambil menggaruk-garuk bulu burung kakaktua itu. Kiki beringsut di atas meja mendekati tuannya, lalu mengusap-usapkan paruhnya ke bahu Jack. Tapi detik kemudian ia sudah iseng lagi, menotok buah arbei yang besar dari botol selai. “Aduh, Jack!" omel Bu Mannering. "Kau kan tahu, aku paling tidak suka melihat Kiki bertengger di meja saat kita sedang makan! Keterlaluan — sudah ketiga kalinya ia mencopet buah arbei dari botol selai." "Ayo kembalikan, Kiki!" suruh Jack dengan segera. Tapi itu pun tidak menyebabkan Bu Mannering merasa senang, Wanita itu mengeluh dalam hati. Alangkah senang dan tenangnya apabila keempat anak ini sudah berangkat berlibur bersama kakaktua nakal itu, pikir Bu Mannering. Malam itu anak-anak masih saja asyik mengobrolkan liburan mereka yang akan datang. Keesokan harinya Jack dan Philip memeriksa dan membersihkan teropong mereka. Jack mencari-cari kamera fotonya. Kameranya itu sangat baik. "Aku akan membuat foto-foto menarik dari burung-burung puffin," kata Jack pada Lucy-Ann. "Mudah-mudahan kita akan menemukan burung-burung itu sedang mengeram, walau menurut dugaanku saat ini masih agak dini. Besar kemungkinannya mereka belum bertelur." "Apakah puffin bersarang di atas pohon, Jack?" tanya Lucy-Ann. "Akan bisakah kau membuat foto sarang-sarang mereka, saat burung-burung itu sedang duduk di dalamnya?" Jack tertawa terbahak-bahak. "Puffin tidak bersarang di atas pohon, Goblok!" katanya sambil terkekeh. "Mereka bersarang dalam lubang di bawah tanah." "Astaga! Seperti kelinci dong!" kata Lucy-Ann. "Ya — dan kadang-kadang burung-burung itu bahkan memakai liang kelinci sebagai sarang," sambung Jack. "Pasti asyik, memperhatikan burung-burung puffin menyusup ke dalam sarang mereka di bawah tanah. Kurasa mereka tentunya sangat jinak, karena kabarnya belum pernah ada orang datang ke pulau-pulau tempat tinggal mereka. Jadi puffin-puffin itu takkan merasa takut lalu terbang pergi jika ada orang datang." "Kalau begitu burung itu dengan mudah bisa dijadikan piaraan, ya," kata Lucy-Ann. "Kurasa Philip pasti akan mampu menjinakkan. Aku berani bertaruh, ia cukup bersuit sekali saja — dan segala puffin yang ada di sana akan bergegas-gegas datang melapor terenggas-enggos." Anak-anak tertawa mendengar ucapan lucu itu. "Enggas-enggos," oceh Kiki sambil menggaruk-garuk jambulnya. "Enggas-enggos, babababi-babu." "Apa lagi yang kau ocehkan itu, Kiki!" kata Jack. "Pasti ia teringat pada salah satu lagu anak-anak, lalu menyambungnya dengan kata-kata yang baru saja didengarnya dari Lucy-Ann," kata Phihp. "Kau ini memang hebat, Kiki!" "Burung-burung puffin pasti akan pusing melihatmu, Kiki," kata Dinah. "Mereka pasti takkan habis berpikir, makhluk aneh macam apa lagi yang datang mengunjungi mereka. He — itu kan bunyi telepon?" "Betul," kata Jack dengan gembira. "Tadi Bibi Allie menelepon Dr. Johns untuk memberi tahu bahwa kita berempat ingin ikut dengan ekspedisinya. Tapi Dr. Johns sedang pergi. Karenanya Bibi meminta agar sarjana itu segera meneleponnya apabila sudah kembali. Pasti itu Dr. Johns yang menelepon." Anak-anak bergegas ke serambi tengah, ke tempat pesawat telepon. Ternyata Bu Mannering sudah ada di situ. Anak-anak berdesakan mendekat karena ingin ikut mendengar pembicaraan. "Halo," kata Bu Mannering. "Di situ Dr. Johns?- ah, Bu Johns! Di sini Bu Mannering, Bu. Bagaimana? Ah...kasihan! Mudah-mudahan saja bukan sesuatu yang gawat. Ya, ya — tentu saja, saya mengerti. Ia tentu terpaksa membatalkan semuanya — mungkin sampai tahun depan. Yah — mudah-mudahan keadaannya tidak parah. Kalau sudah ada kabar baru, tolong beritahukan pada kami, ya? Baiklah — sampai lain kali. Sampaikan salam kami padanya, mudah-mudahan lekas sembuh. Sudah ya, Bu." Bu Mannering mengembalikan gagang pesawat ke tempatnya, lalu memandang anak-anak dengan wajah serius. "Kabar buruk, Anak-anak!" katanya. "Dr. Johns tadi mengalami kecelakaan mobil. Saat ini ia terbaring di rumah sakit. Jadi tentu saja rencana ekspedisinya untuk sementara dibatalkan." Batal! Mereka tidak bisa berkelana ke Pulau Burung! Tidak bisa bersenang-senang di tengah alam liar pesisir utara. Aduh — benar-benar mengecewakan! Bab 3 KEJADIAN MISTERIUS Semua merasa kecewa. Tentu saja mereka semua merasa kasihan pada Bu Johns dan prihatin mengenai keadaan Dr. Johns, suaminya. Tapi karena mereka tidak mengenal keduanya secara pribadi dan hanya tahu bahwa suami—istri itu sahabat lama Pak Mannering almarhum, kesedihan anak-anak lebih banyak terarah pada nasib buruk yang menimpa diri mereka sendiri. "Padahal sudah begitu banyak kita berbicara mengenainya — dan mengatur rencana — serta menyiapkan segala-galanya," keluh Philip. Ia memandang teropong yang sudah siap dibawa dengan perasaan lesu. "Sekarang ibu pasti akan mencari pengasuh lagi untuk kita, yang orangnya seperti Bu Lawson." "Tidak," kata Bu Mannering. "Aku akan minta berhenti dari pekerjaanku yang baru, lalu pergi bersama kalian. Aku tak sampai hati melihat kalian begini kecewa." "Aduh,jangan, Bibi Allie!" kata Lucy-Ann sambil merangkul Bu Mannering. "Jangan minta berhenti! Aduh — apa yang bisa kita lakukan sekarang?" Tidak ada yang tahu akal. Kekecewaan yang melanda secta tiba-tiba itu seakan-akan menyebabkan semua tidak mampu menyusun rencana lagi. Anak-anak hanya memikirkan dua kemungkinan saja: berlibur ke Pulau Burung, atau sama sekali tidak berlibur! Sepanjang hari mereka hanya mondar-mandir dengan perasaan sebal. Sikap masing-masing semakin menjengkelkan anak-anak yang lain. Tiba-tiba terjadi pertengkaran antara Philip dengan Dinah. Diiringi pekik jerit, keduanya saling pukul-memukul. Sudah lama sekali mereka tidak berkelahi sesengit itu. Paling tidak, sudah setahun. Lucy-Ann menangis melihatnya. "Jangan kaupukul Dinah, Philip!" teriak Jack dengan marah. "Kau menyakitinya!" Tapi Dinah bukan anak yang lemah. Tiba-tiba terdengar bunyi nyaring ketika pipi Philip ditampar olehnya. Dengan marah Philip mencengkeram lengan adiknya Dinah langsung membalas dengan tendangan. Philip mengait kaki Dinah sehingga anak perempuan itu terjatuh. Kedua bersaudara itu berguling-guling di lantai sambil berkelahi terus. Lucy-Ann cepat-cepat menyingkir. Ia menangis ketakutan. Kiki terbang ke kap lampu sambil terkekeh-kekeh. Disangkanya Philip dan Dinah sedang bercanda. Suasana saat itu ribut sekali sehingga anak-anak tidak ada yang mendengar bunyi pesawat telepon berdering-dering. Bu Mannering bergegas ke tempat pesawat itu. Keningnya berkerut, bising mendengar bunyi berisik yang datang dari arah kamar anak-anak. Tapi ketika sesaat kemudian wanita itu muncul di sana, wajahnya sudah berseri-seri. Tapi begitu dilihatnya Dinah dan Philip sedang bergumul di lantai, wajah Bu Mannering langsung keruh lagi. "Dinah! Philip! Ayo, cepat berdiri! Tidak tahu malu, sudah begitu besar masih berkelahi juga! Kurasa lebih baik tidak kukatakan, siapa yang baru saja menelepon tadi! Biar tahu rasa kalian!" Philip duduk di lantai. Ia mengusap-usap pipinya yang terasa pedas. Dinah membebaskan diri dari pitingan abangnya sambil memegang lengannya. Lucy-Ann mengusap air matanya, sementara Jack menatap kedua abang adik yang berada di lantai dengan wajah masam. Bu Mannering sudah hendak menyemprot kedua anaknya. Tapi kemudian teringat olehnya bahwa anak-anak itu baru saja sembuh dari penyakit campak yang cukup parah. Lagi pula, mungkin mereka bertengkar karena terdorong kesebelan mengalami kekecewaan besar pagi itu. Dengan segera marahnya mereda. "Coba terka, siapa yang baru saja menelepon tadi," kata Bu Mannering dengan nada agak lembut. "Bu Johns, untuk mengatakan bahwa suaminya ternyata tidak apa-apa," kata Lucy-Ann penuh harap. "Bukan, bukan dia," kata Bu Mannering sambil menggeleng. "Yang menelepon tadi Bill!" "Bill? Bill! Hore! Akhirnya muncul juga orang itu!" seru Jack "Ia akan kemari, Bibi Allie?" "Yah, aku tidak tahu —— karena ia tadi terdengar misterius sekali,"jawab Bu Mannering. "Ia tidak mau menyebut namanya. Ia hanya mengatakan, bahwa ia mungkin akan muncul larut malam nanti — jika tidak ada orang lain di sini. Tentu saja aku tahu bahwa yang menelepon itu Bill. Aku kenal betul suaranya." Seketika itu juga anak-anak melupakan perasaan sebal dan pertengkaran yang baru saja terjadi. Perasaan mereka terhibur, membayangkan akan berjumpa lagi dengan Bill. "Ibu tadi bilang bahwa kami berempat saat ini masih di rumah karena baru saja sembuh dari penyakit campak?" tanya Philip. "Tahukah Bill bahwa ia nanti juga akan berjumpa dengan kami di sini?" "Tidak — aku tidak sempat mengatakan apa—apa tadi," kata Bu Mannering. "Sungguh, sikapnya sangat misterius — tak sampai semenit ia menelepon. Tapi pokoknya, nanti malam ia akan kemari. Kenapa ya — ia tidak mau datang jika ada orang lain di sini?" "Kurasa karena ia tidak ingin ada orang tahu di mana ia berada," kata Philip menduga. "Mestinya saat ini ia kembali melakukan salah satu tugas rahasia lagi. Bu — bolehkah kami menunggu sampai ia tiba nanti?" "Asal kedatangannya tidak lebih lambat dari setengah sepuluh," kata Bu Mannering. Keempat anak itu berpandang-pandangan ketika Bu Mannering sudah meninggalkan kamar. "Wah, sudah lama sekali kita tidak melihat Bill," kata Philip. "Mudah-mudahan ia nanti sudah muncul sebelum setengah sepuluh. "Aku tidak mau tidur sebelum kudengar ia datang," kata Jack. "Kenapa sikapnya begitu misterius, ya?" Malam itu anak-anak menunggu kedatangan Bill dengan penuh harap. Tapi tidak terdengar bunyi mobil berhenti di depan rumah. Tidak terdengar langkah orang menghampiri pintu depan. Pukul setengah sepuluh Bill masih juga belum muncul. Anak-anak kecewa sekali. "Sayang — sekarang kalian harus tidur," kata Bu Mannering. "Apa boleh buat — tapi kalian nampak pucat dan capek sekali. Ini karena penyakit campak itu! Aku benar-benar menyesal bahwa ekspedisi itu batal — karena kalau jadi, pasti kesehatan kalian akan cepat -pulih." Anak—anak masuk ke kamar tidur sambil mengomel. Dinah dan Lucy-Ann menempati kamar tidur di sebelah belakang, sedang Jack dan Philip mendapat kamar depan. Jack membuka jendela kamar tidur, lalu memandang ke luar. Malam gelap sekali. Tak terdengar bunyi mobil datang, atau langkah orang mendekat. "Aku akan duduk dekat jendela sini sampai Bill datang,” kata Jack pada Philip. "Kau tidur saja dulu. Nanti kubangunkan begitu Bill datang." Kita bergantian menunggu," kata Philip sambil masuk ke tempat tidur, "Kau menjaga satu jam, lalu kau bangunkan aku." Di kamar tidur sebelah belakang, Dinah dan Lucy-Ann sudah berbaring di tempat tidur masing-masing. Lucy-Ann ingin sekali bisa berjumpa dengan Bill. la sangat sayang pada orang itu. Bill Smugs begitu kuat dan bijaksana. Lucy-Ann merasa aman jika berada di dekatnya. Anak itu sudah yatim piatu. Ia ingin Bill bisa menjadi ayahnya. Bibi Allie sangat baik hatinya sebagai pengganti ibu. Lucy-Ann merasa senang, karena bisa berbagi ibu dengan Philip dan Dinah. Kalau berbagi ayah tidak bisa, karena Pak Mannering juga sudah meninggal dunia. "Mudah-mudahan aku tidak tertidur sehingga aku bisa mendengar Bill saat ia datang nanti," kata Lucy-Ann dalam hati. Tapi sesaat kemudian ia sudah tidur pulas, seperti Dinah. Keduanya tidak mendengar lagi ketika jam dinding berbunyi saat pukul setengah sepuluh. Pukul sebelas Jack membangunkan Philip. "Tidak ada orang datang," katanya. "Sekarang giliranmu menjaga, Jambul! Aneh — kenapa selarut ini ia belum datang juga, ya?" Kedua anak itu bertukar tempat. Jack masuk ke tempat tidur, sementara Philip duduk dekat jendela. Philip menguap. Ia memasang telinga. Tapi ia tidak mendengar apa-apa. Tiba-tiba dilihatnya sejalur sinar terang ketika ibunya yang masih di bawah menyingkapkan tirai jendela dan cahaya lampu menerangi kebun. Philip tentu saja tahu bahwa sinar terang itu berasal dari dalam kamar duduk. Tapi tiba-tiba ia kaget. Ia melihat cahaya terang menyinari sesuatu berwarna agak putih, yang tersembunyi dalam semak dekat gerbang depan. Barang yang dilihatnya itu dengan cepat bergerak mundur ke tempat yang gelap. Tapi Philip langsung tahu, apa yang dilihatnya walau sekilas itu. "Itu tadi muka seseorang!" pikirnya. Ada orang bersembunyi dalam semak dekat pagar depan. Tapi kenapa orang itu bersembunyi? Tidak mungkin itu Bill, karena Bill pasti langsung datang ke rumah. Kalau begitu, pasti itu seseorang yang hendak menyergap Bill. Wah! Philip bergegas membangunkan Jack. Begitu terbangun, dengan berbisik-bisik Philip menceritakan apa yang baru saja dilihatnya. Seketika itu juga Jack pergi ke jendela, lalu memandang ke luar. Tapi ia tidak melihat apa-apa, karena tirai jendela sudah ditutup kembali oleh Bu Mannering. Jadi tidak ada sinar terang memancar ke luar. Kebun gelap gulita kembali. "Kita harus cepat-cepat berbuat sesuatu," kata Jack. "Jika Bill datang nanti, pasti ia akan diringkus, jika memang itu yang diniatkan oleh orang yang bersembunyi di luar itu. Mungkinkah kita bisa memperingatkan Bill? Sudah jelas ia tahu bahwa dirinya dalam bahaya, karena kalau tidak, mana mungkin ia bersikap begitu misterius sewaktu menelepon tadi! la kan mengatakan tidak akan datang, jika ada orang lain di sini. Mestinya Bibi Allie tidur saja sekarang, supaya kita bisa lebih bebas bertindak. Pukul berapa sekarang? Tadi aku sempat mendengar jam berbunyi sebelas kali." Dari tingkat bawah terdengar bunyi sakelar lampu dimatikan satu-satu, disusul bunyi pintu ditutup. "Itu ibu," kata Philip. "Rupanya ia tidak mau menunggu lebih lama lagi. Ia hendak tidur sekarang. Bagus! Sekarang rumah sudah gelap. Mungkin dengan begitu orang yang kulihat tadi akan pergi lagi." "Kita harus mengusahakan agar orang itu pergi dari sini," kata Jack. "Bagaimana pendapatmu, Philip — mungkinkah Bill akan datang sekarang? Hari sudah larut malam." "Kalau ia mengatakan akan datang, ia pasti datang," kata Philip. "Sssst — itu ibu!" Kedua anak laki-laki itu bergegas masuk ke tempat tidur masing-masing, berpura-pura sudah tidur nyenyak. Terdengar bunyi pintu dibuka oleh Bu Mannering. Ia menyalakan lampu sekejap. Ketika melihat Jack dan Philip nampak sudah pulas, dipadamkannya lampu lagi. Bu Mannering juga memeriksa keadaan dalam kamar tidur Dinah dan Lucy-Ann. Setelah itu ia masuk ke kamar tidurnya sendiri. Sesaat kemudian Philip sudah kembali berada dekat jendela. Mata dan telinganya terbuka lebar. Ia berusaha mendengar dan melihat, apakah orang tadi masih tetap bersembunyi dalam semak. Ia merasa seperti mendengar suara orang terbatuk pelan. "Orang itu masih ada," bisik Philip pada Jack. "Entah dengan cara bagaimana, tapi rupanya ia tahu Bill akan kemari malam ini." "Atau yang lebih mungkin, ia tahu Bill sahabat kita, dan ia ditugaskan gerombolannya untuk mengintip setiap malam dalam semak situ," kata Jack. "Ia berharap, lambat-laun Bill pasti datang ke sini. Rupanya Bill banyak sekali musuhnya, karena kerjanya melacak jejak penjahat." "He — aku punya akal," kata Philip. "Aku akan menyelinap ke luar lewat pintu belakang, lalu menembus pagar semak dan masuk kebun rumah sebelah. Di situ aku akan keluar lewat pintu kebun sebelah belakang supaya laki-laki yang bersembunyi itu tidak bisa mendengar aku. Aku hendak menunggu Bill di luar untuk memperingatkannya. Bill akan muncul dari arah udik, tidak dari hilir karena memang begitulah kebiasaannya." "Bagus idemu itu, Jambul! Aku ikut," kata Jack. "Jangan! Satu dari kita harus terus mengamat-amati orang yang di luar itu," kata Philip. "Kita harus tahu, apakah ia sudah pergi atau belum. Tidak — aku sendiri yang menyongsong Bill. Kau berjaga dekat jendela sini. Jika Bill nanti datang, akan segera kusongsong dan kuberi tahu supaya ia tidak jadi datang." "Baiklah," kata Jack. Dalam hati sebenarnya ia - lebih senang jika diserahi tugas menyelinap dalam kebun yang gelap gulita untuk menyongsong Bill. "Sampaikan salam kami padanya — dan katakan padanya agar sedapat mungkin menghubungi lewat telepon, supaya kita bisa mengadakan pertemuan di salah satu tempat yang aman." Dengan hati-hati Philip mengendap-endap ke luar. Dari kamar tidur ibu masih nampak sinar lampu. Karenanya Philip semakin berhati-hati. Ia berjingkat-jingkat menuruni tangga, karena tidak ingin ketahuan ibunya. Pasti ibu akan ketakutan sekali apabila sampai tahu di luar ada orang mengintip-intip. Philip membuka pintu belakang, lalu menutupnya kembali tanpa menimbulkan bunyi setelah ia sendiri menyelinap ke luar. Ia masuk ke dalam kebun yang gelap. Ia tidak membawa senter, karena tidak ingin dilihat siapa pun juga. Ia menyusup di sela lubang dalam pagar semak, masuk ke kebun rumah sebelah. Ia tahu persis keadaan dalam kebun itu. Ia menuju ke jalan setapak yang terdapat di situ, lalu menyusurinya sambil berjalan di atas rumput yang tumbuh di tepi. Ia tidak mau berjalan di atas kerikil, karena takut menimbulkan bunyi. Tiba-tiba ia merasa seperti mendengar bunyi sesuatu. Philip berhenti berjalan, lalu memasang telinga. Jangan-jangan di dekat situ ada lagi orang bersembunyi! Jangan-jangan yang bersembunyi itu kawanan pencuri, dan bukan penjahat yang hendak menyergap Bill! Philip agak ragu, apa yang sebaiknya dilakukan olehnya. Apakah sebaiknya ia kembali ke rumah, lalu menelepon polisi? Philip mendengarkan lagi. Ia merasa aneh — seolah-olah di dekatnya ada orang yang juga sedang menajamkan telinga. Mungkin orang itu sedang memperhatikan dirinya. Hih — seram rasanya membayangkan kemungkinan itu — apalagi di tempat yang begitu gelap. Philip maju selangkah. Tahu-tahu ada orang muncul dan langsung menyergap dirinya. Kedua lengannya dipilin ke belakang. Philip dipaksanya membungkuk, sampai muka anak itu mencium tanah. Philip bergegap-gegap tidak dapat bernapas, karena mulutnya terbenam ke tanah yang lunak sekitar semak bunga-bunga. Ia sama sekali tidak bisa berteriak minta tolong. Bab 4 BILL DATANG Orang yang meringkus Philip beraksi tanpa menimbulkan suara. Philip sama sekali tidak sempat berteriak ketika disergap olehnya. Karena itu tidak ada orang lain yang mendengar apa-apa. Anak itu meronta-ronta. Ia mengalami kesulitan bernapas, karena mukanya terbenam dalam tanah yang lunak. Dengan cepat orang yang meringkusnya tadi membalikkan tubuh Philip. Mulutnya disumpal dengan sapu tangan. Tahu-tahu pergelangan tangannya sudah terikat. Apakah yang sebetulnya terjadi? Mungkinkah Philip disangka Bill Smugs? Tak mungkin — karena penyergapnya itu pasti tahu bahwa Bill bertubuh tinggi besar! Philip meronta dan menggeliat-geliat terus. Ia berusaha menyingkirkan gumpalan tanah yang masuk ke dalam mulut. Tapi sia-sia saja. Orang yang meringkusnya lebih kuat. Dan rupanya tidak kenal kasihan! Philip dijunjung, lalu dibawa ke suatu pondok peranginan. Semuanya berlangsung tanpa ribut-ribut "Dan sekarang," desis orang tak dikenal itu dekat telinga Philip, "berberapa kalian kemari? Ayo katakan, jika tidak ingin menyesal nanti. Dengus dua kali jika kau tidak sendiri." "Philip tidak berbuat apa-apa. Ia bimbang, tidak tahu harus mendengus atau tidak. Ia mengerang karena mulutnya masih penuh dengan tanah. Dan tanah tidak enak rasanya! Orang yang meringkusnya meraba-raba seluruh tubuhnya. Kemudian orang itu mengeluarkan sebuah senter berukuran kecil, lalu menyorotkannya sekilas ke muka Philip yang mulutnya terikat sapu tangan. Orang itu melihat jambul anak itu. Terdengar napasnya tersentaki "Philip! Anak goblok! Apa yang kaucari, malam-malam begini berkeliaran di luar?" Philip kaget, tapi sekaligus juga merasa lega. Ia mengenali suara itu. Itu kan Bill! Dilupakannya mulut yang penuh tanah. Ia berusaha hendak bicara. "Jangan ribut," bisik Bill sambil melepaskan sapu tangan yang menyumbat mulut Philip. "Mungkin masih ada orang lain lagi di sekitar sini. Kalau ada yang hendak kaukatakan, bisikkan saja ke telingaku." Philip mendekatkan mulutnya ke telinga Bill Smugs, lalu berbisik-bisik. "Bill," bisiknya, "tadi aku melihat ada orang bersembunyi dalam semak, dekat gerbang depan pekarangan rumah kami. Aku lantas menyelinap ke luar, karena hendak memberi tahu pada Anda agar berhati-hati." Bill membuka tali yang mengikat pergelangan tangan Philip. Anak itu menggosok-gosoknya, karena terasa agak pedih. Ia tidak sangsi sedikit pun, Bill ternyata jago kalau disuruh mengikat orang. Untung saja ia tadi tidak dipukul sampai pingsan. "Pintu belakang rumah tidak terkunci," bisik Philip lagi. "Sepanjang pengetahuanku, tidak ada orang mengintai di belakang. Yuk, kita berusaha menyelinap masuk ke dalam rumah. Di sana kita bisa bicara dengan lebih leluasa." Dengan diam-diam keduanya menuju ke lubang di tengah pagar semak, tempat Philip tadi menyusup untuk masuk ke kebun itu. Keduanya tidak berjalan di atas kerikil. Mereka khawatir, jangan-jangan bunyi kerikil terpijak akan menarik perhatian pengintai yang bersembunyi — jika di situ memang ada yang mengintai. Keduanya menyusup lewat lubang, masuk ke kebun rumah keluarga Mannering. Philip membimbing Bill, menuntunnya berjalan dalam kebun yang gelap di bawah bayangan pepohonan, berjalan menuju ke rumah. Di situ sudah tidak kelihatan cahaya terang sama sekali. Bu Mannering sudah tidur rupanya Pintu belakang rumah masih tetap belum terkunci. Dengan hati-hati Philip membukanya. Lalu keduanya masuk. "Jangan nyalakan lampu," bisik Bill. "Jangan sampai ada yang tahu bahwa di sini ada orang yang belum tidur. Kukunci saja pintu ini." Keduanya mengendap-endap menaiki tangga rumah, menuju ke tingkat atas. Tiba-tiba terdengar salah satu anak tangga berderak ketika diinjak. Jack yang menunggu dalam kamar tidur melesat ke pintu ketika mendengar bunyi itu. Untung ia tidak menyalakan lampu! "Tenang saja — cuma aku yang datang," bisik Philip. "Dan Bill!" "Hebat!" kata Jack dengan gembira, lalu mengajak kedua orang yang datang masuk ke kamar. Bill menyalami Jack dengan hangat. Ia sangat suka pada seisi rumah itu. "Aku perlu berkumur sebentar, karena mulutku masih penuh tanah," kata Philip. "Aku tadi tidak berani meludahkannya dalam kebun karena takut terdengar orang. Uhh — rasanya pahit!" "Kasihan," kata Bill dengan nada menyesal, "tapi aku tadi sama sekali tak mengira bahwa kau yang kusergap, Philip. Kusangka seseorang yang sedang mengintai diriku. Aku tadi bertekad meringkusnya sebelum aku yang diringkus olehnya1" "Dan ternyata Anda berhasil," kata Philip sambil berkumur. Mana pasta gigiku? Aku perlu menyikat gigi .... Ah, sialan!" Tangannya yang meraba-raba sekitar bak tempat cuci tangan dalam gelap tahu—tahu menyenggol sebuah gelas. Gelas itu terguling, lalu jatuh ke dalam bak. Bunyinya ketika pecah berantakan terdengar nyaring di tengah malam sepi. "Coba periksa, apakah Dinah dan Lucy-Ann terbangun. Kalau ya, beri tahukan pada mereka agar jangan menyalakan lampu," kata Bill cepat-cepat pada Jack. "Cepat! Dan sekaligus lihat pula, apakah Bibi Allie juga terbangun. Ia juga perlu diberi tahu!" Lucy-Ann ternyata bangun mendengar bunyi gelas pecah. Nyaris saja Jack terlambat melarangnya menyalakan lampu. Bibi Allie tidur terus. Letak kamarnya agak jauh, dan rupanya ia tidak mendengar apa-apa. Lucy-Ann heran mendengar Jack berbisik-bisik. "Ada apa?" tanya anak perempuan itu. "Kau sakit, ya? Atau Philip?" "Tentu saja tidak," tukas Jack dengan suara pelan. "Ayo, cepat berpakaian, dan bangunkan Dinah. Bill sudah datang! Tapi kita tidak boleh menyalakan lampu. Mengerti?" Tiba-tiba ada sesuatu menyambar dekat kepalanya sambil mengeluarkan bunyi parau tapi pelan. “Ah di sini kau rupanya, Kiki! Aku mencarimu tadi," kata Jack "Kenapa kau tidur di kamar anak-anak perempuan malam ini? Yuk, ikut aku — Bill sudah datang!" Lucy-Ann bergegas membangunkan Dinah. Adik Philip itu mula-mula tidak mengerti. Tapi kemudian ia pun bergegas-gegas berpakaian, lalu pergi ke kamar Jack dan Philip. Kiki sudah lebih dulu ada di sana. Burung kakaktua itu mencubiti telinga Bill Smugs sambil mengoceh dengan suara lirih. Bill langsung menyapa ketika Dinah dan Lucy-Ann muncul sambil menyelinap. "Aku hanya bisa merasa bahwa kalian datang," katanya. "Ah, ini pasti Lucy-Ann, karena tercium olehku bintik—bintikmu." "Mana mungkin bintik bisa tercium," kata Lucy-Ann. Ia tercekikik. "Tapi Anda benar, ini memang aku! Ke mana saja Anda tidak muncul-muncul selama ini, Bill? Surat-surat kami tidak satu pun Anda balas." "Aku tahu," kata Bill. "Soalnya begini — beberapa waktu yang lalu aku mendapat tugas melacak jejak gerombolan penjahat. Tapi tahu-tahu mereka mencium aksi diam-diamku itu — dan sebelum aku sempat bertindak, berbalik akulah yang mereka kejar-kejar! Jadi sekarang aku terpaksa bersembunyi, jangan sampai mereka berhasil menemukan diriku!" "Kenapa kalau mereka berhasil? Apakah Anda kemudian mereka culik, atau begitu?" tanya Lucy-Ann ketakutan. "Tidak dapat kukatakan apa yang akan mereka lakukan terhadapku jika aku sampai jatuh ke tangan mereka," kata Bill dengan santai. "Kurasa, aku pasti akan mereka singkirkan untuk selama-lamanya. Tapi kenyataannya aku sekarang ada di sini!" "Jadi untuk itu rupanya orang tadi menunggu dekat gerbang depan — ia berharap akan bisa menyergap Anda di situ," kata Philip. "Tapi — kenapa Anda sekarang datang kemari, Bill? Ada yang hendak Anda beri tahukan pada kami barangkali?" _ "Begini," kata Bill. "Untuk sementara aku harus menghilang, dan aku kemari terutama karena ingin bertemu ibu kalian. Aku ingin minta tolong padanya agar menyimpankan beberapa milikku — karena siapa tahu — mungkin, yah mungkin — aku nanti ternyata lenyap untuk selama-lamanya. Saat ini aku sangat berbahaya bagi gerombolan yang sedang kuselidiki. Aku terlalu banyak mengetahui rahasia mereka." "Aduh, Anda sekarang hendak menghilang ke mana, Bill?" keluh Lucy-Ann. "Tidak enak rasanya membayangkan Anda menghilang tanpa bekas. Tidak bisakah Anda mengatakan ke mana Anda hendak pergi?" "Yah, untuk sementara kurasa sebaiknya aku tinggal di salah satu tempat terpencil dan hidup diam-diam di sana," kata Bill. "Aku menunggu sampai gerombolan penjahat sudah tidak mencari aku lagi — atau sampai mereka tertangkap! Jangan kalian sangka aku menghilang ini secara suka rela. Sama sekali tidak! Aku tidak takut pada kawanan penjahat itu. Tapi para atasanku beranggapan risikonya terlalu besar jika aku sampai jatuh ke tangan para penjahat. Jadi aku diminta agar menghilang selama beberapa waktu. Aku bahkan dilarang berhubungan dengan kalian, atau dengan keluargaku sendiri." Sesaat lamanya tidak ada yang berbicara. Semua merasa tidak enak mendengar kata-kata Bill, yang diucapkan dengan lirih dalam kegelapan malam. Lucy-Ann menjamah tangan Bill. "Kalian tidak perlu merasa sedih," kata Bill. "Suatu saat nanti kalian pasti mendengar kabar lagi dari ku — tahun depan, atau mungkin juga satu tahun sesudahnya. Aku akan menyamarkan diri — menjadi buruh tambang di daerah liar di Alaska — atau menjadi pengamat burung yang hidup menyendiri di salah satu pulau terpencil — atau..." Terdengar napas Jack tersentak. Rupanya anak itu baru saja mendapat gagasan hebat. "Bill! Wah, Bill- baru saja terpikir sesuatu yang hebat olehku!" "Ssst! Jangan keras-keras," kata Bill. "Dan tolong pindahkan Kiki ke bahumu, sebelum habis daun telinga kiriku digigiti olehnya." "Begini, Bill," kata Jack bersemangat. "Hari ini kami baru saja mengalami kekecewaan besar — biar itu saja yang kuceritakan dulu." "Berceritalah," kata Bill dengan nada lega. karena Kiki sudah tidak bertengger lagi di bahunya. "Kurasa Anda tidak tahu, tapi kami semua baru saja sembuh dari penyakit campak yang parah," kata Jack. "Itu sebabnya kami belum kembali ke sekolah. Nah — oleh Pak Dokter kami disuruh bertetirah ke salah satu tempat untuk mendapat pergantian hawa. Lalu Bibi Allie memutuskan kami boleh ikut dengan suatu ekspedisi omitologi bersama Dr. Johns serta rombongannya ke daerah pesisir dan kepulauan lepas pantai di utara Inggris — Anda tahu, kan — ke tempat-tempat yang hanya dihuni oleh burung-burung." "Ya, aku tahu tempat itu," kata Bill yang mendengarkan dengan penuh perhatian. "Nah, lalu hari ini Dr. Johns mengalami kecelakaan,” sambung Jack. "Jadi kami tidak bisa pergi karena tidak ada yang menemani. Tapi - kenapa tidak Anda saja yang menemani kami — menyamar sebagai pengamat burung? Kami akan bisa menikmati tetirah yang menyenangkan sekali, dan Anda dapat pergi ke tempat yang tak dikenal tanpa ada yang tahu! Lalu Anda kami tinggal di sana apabila kami harus kembali kemari — dalam keadaan selamat!" Selama beberapa saat kamar itu sunyi. Anak-anak menahan napas, menunggu jawaban Bill. Bahkan Kiki pun seolah-olah ikut mendengar dengan gelisah. "Entahlah — aku tidak tahu,“ kata Bill kemudian. "Menurutku, rasanya dengan begitu aku terlalu mempergunakan kalian sebagai kedok! Lalu jika musuh-musuhku berhasil mengetahui muslihat itu, keadaannya akan sama-sama gawat bagi kita semua. Bagiku gawat, dan juga bagi kalian. Tidak! Kurasa gagasan itu tidak bisa dilaksanakan." Anak-anak malah menjadi semakin bersemangat dan mendesak karena tidak puas membayangkan Bill menolak gagasan bagus itu. Semua tidak mau ketinggalan berbicara. "Kami kecewa sekali ketika ternyata bahwa kami tidak jadi pergi, dan ini kelihatannya merupakan kemungkinan baik — lagi pula, kan hanya untuk dua minggu — setidak-tidaknya bagi kami. Setelah itu kami harus kembali bersekolah." "Anda paling jago kalau disuruh menyamar. Dengan mudah saja Anda pasti bisa menjelma menjadi ahli ornitologi — bertampang serius, memandang ke kejauhan untuk mengamat-amati burung terbang sambil menyandang teropong ....” "Takkan ada yang tahu. Kita akan benar-benar aman di pesisir utara sana, di tengah daerah liar dan terpencil bersama Anda. Bayangkan saja bulan Mei di atas sana — air laut yang biru tua, burung-burung membubung dan melayang, rumput laut bertebaran di mana-mana .... " "Anda pasti aman di sana, Bill. Takkan ada yang akan mendapat gagasan mencari Anda di tempat begitu. Dan kami pun ingin sekali berlibur dengan cara demikian. Kami semua merasa hambar setelah berbaring sekian lama karena penyakit campak." "Sssst — jangan keras-keras," bisik Bill. "Aku masih harus berunding dulu dengan ibu kalian — meski aku sendiri sudah setuju. Gagasan itu hebat — dan kurasa takkan terlintas dalam pikiran siapa pun juga bahwa aku akan pergi dengan terang-terangan seperti begitu. Dan terus terang saja, liburan bersama kalian berempat— dan Kiki juga, tentunya — tepat, itulah yang kuperlukan saat ini." "Wah, Bill — kurasa Anda pasti akan melakukannya!" kata Lucy-Ann. Ia merangkul Bill dengan gembira. "Senang rasa hatiku. Hari yang menyebalkan ini ternyata berakhir dengan menyenangkan!" Bab 5 RENCANA YANG MENGASYIKKAN Tanpa diketahui oleh Bu Mannering, malam itu Bill menginap di situ. Ia tidur dalam kamar cadangan yang sempit. Katanya, paginya ia akan berembuk dengan Bu Mannering. Bill merasa lega ketika diberi tahu bahwa hanya mereka sekeluarga saja yang ada dalam rumah itu malam hari, karena pembantu yang bekerja di situ selalu pulang. "Kami berempat yang bertugas membenahi segalanya di tingkat atas setelah kami sembuh lagi," kata Dinah. "Jadi Anda bisa tetap di atas terus — jika Anda menghendakinya — sehingga tidak ada orang lain tahu Anda ada di sini. Sarapan akan kami antarkan." Tapi keesokan pagi keadaan menjadi kacau lagi. Bu Mannering mengetuk-ngetuk dinding yang memisahkan kamarnya dari kamar anak-anak perempuan. Dinah bergegas masuk ke kamar sebelah untuk melihat kenapa ibunya berbuat begitu. "Aduh, Dinah — ini benar-benar sudah keterlaluan," kata Bu Mannering dengan sebal. "Sekarang aku yang kejangkitan penyakit campak. Coba lihat, mukaku penuh bisul. Kusangka aku sudah pernah kena ketika aku seumurmu – tapi sudah jelas, ini memang campak. Aduh — coba Bu Lawson kuterima bekerja kemarin, supaya kalian bisa diajaknya berlibur ke Bournemouth, atau ke tempat lain. Sekarang, bagaimana?" "Aduh, gawat," kata Dinah. Dengan segera .diputuskannya untuk mengatakan bahwa Bill sudah datang. Mungkin keterangan itu bisa membantu suasana. "Kuambilkan saja baju rumah ibu, lalu kubereskan kamar ini," kata Dinah bersemangat. "Soalnya, ada orang ingin bicara dengan ibu. Mungkin ia bisa memberikan bantuan. Orang itu Bill, Bu!" "Bill?" seru Bu Mannering tercengang. "Kapan ia datang? Kemarin malam aku masih menunggu sampai pukul sebelas. Tapi akhirnya aku tidur, karena badanku terasa capek sekali. Nah — mungkin Bill mau membebaskan aku selama beberapa waktu dari rongrongan kalian dan mengajak kalian bepergian, dap aku tinggal seorang diri di sini — diurus oleh Hilda, pembantu kita!" "Pasti Bill mau," kata Dinah dengan senang. "Kasihan, ibu! Dua tiga hari mendatang ini yang paling tidak enak rasanya, Bu — tapi setelah itu agak lumayan. Nah — bagaimana? Sudah enak letak bantalnya sekarang? Kalau sudah, akan kupanggil Bill masuk." Dengan segera Dinah menyampaikan kabar itu pada anak-anak yang lain. Mereka langsung ikut merasa sedih dan kecewa. Eh jadi orang dewasa pun rupanya bisa kejangkitan penyakit campak? Kasihan ibu! Kasihan Bibi Allie! Pasti ia sekarang lebih senang apabila mereka tidak ada di rumah, sehingga tidak membisingkan. "ibu sudah bisa Anda datangi sekarang, Bill," kata Dinah. "Tapi, nanti dulu — Anda sudah pernah kena penyakit campak?" "Wah, sudah belasan kali," kata Bill dengan riang sambil melangkah masuk ke dalam kamar Bu Mannering. "Bergembiralah lagi, dengan segera segala-galanya akan beres!" "Tapi orang kan hanya sekali kena penyakit campak," kata Lucy-Ann. Bill tidak menjawab. Pintu kamar ditutupnya. Anak—anak hanya mendengar gumam suaranya berbicara dengan Bu Mannering. Keempat anak itu turun ke bawah untuk sarapan pagi. Jack dan Philip sudah dapat dikatakan pulih selera makannya. Tapi Dinah dan Lucy-Ann masih kurang bernafsu makan. Dinah memandang Lucy-Ann. "Bintik-bintik di mukamu hampir-hampir tidak nampak lagi," katanya. "Jack juga sama saja. Sinar matahari akan bermanfaat bagi kita semua. Aku tidak begitu kepingin makan daging goreng ini. Kau bagaimana? Aduh — kenapa Bill tidak cepat-cepat selesai berembuk dengan ibu, lalu turun ke bawah Aku ingin sekali mengetahui hasil pembicaraan mereka." Bill tidak langsung turun. Anak-anak mendengar pintu kamar di atas terbuka, disusul bunyi siulan lirih. Rupanya Bill khawatir, jangan-jangan pembantu mereka ada di sekitar situ. "Hilda sedang pergi berbelanja, Bill," seru Dinah dari ruang makan. "Jadi Anda bisa turun, kalau mau. Kami menyisihkan makanan untuk Anda." Bill turun ke bawah. "Ibu kalian tidak mau sarapan. Katanya, ia hanya minta teh dan roti bakar sepotong," kata Bill. "Kau yang memanggang roti, Dinah — sementara aku memasak air. Nanti begitu rotimu sudah siap, kita buatkan teh untuk ibumu. Setelah itu aku akan menelepon Pak Dokter untuk memintanya datang, lalu akan kutelepon Bu Tremayne, sahabat ibumu. Akan kuminta padanya agar mau menemani ibumu barang satu atau dua minggu. Ibumu sudah setuju." Anak-anak mendengarkan keterangan Bill sambil membisu. "Tapi — bagaimana dengan kami?" tanya Jack kemudian. "Anda sudah mengambil keputusan atau belum?" "Sudah," kata Bill. "Tadi bibimu meminta dengan sangat padaku agar aku mau mengajak kalian semua pergi selama dua minggu. Lalu kukatakan padanya, aku memang berniat hendak menghilang selama beberapa waktu. Jadi kalian akan kuajak pergi ke pesisir utara. Aku tidak mengatakan apa-apa padanya mengenai sebab-sebab aku harus menghilang —karena ia kelihatannya lesu sekali pagi ini. Ia nampak sangat lega, membayangkan kalian akan bisa pergi menghirup udara segar — sampai ia nyaris tak bertanya-tanya lebih lanjut." ’ "Jadi kita bisa pergi?" tanya Jack. Ia tidak bisa menahan perasaan gembiranya, walau di pihak lain ia juga sangat kasihan pada Bibi Allie. "Hebat!!" Wajah keempat anak itu berseri—seri. Kiki memanfaatkan kesempatan itu. Dicopetnya sepotong kulit jeruk dari dalam selai. Ketika tidak ada yang mengatakan apa—apa, burung itu bertambah nekat. Kini ia mengambil gula sepotong dari tempat gula. "Tapi ibu pasti beres, kan — ditemani Bu Tremayne?" tanya Philip serius. "Atau mungkin ia menginginkan ditemani salah seorang dari kami? Kalau benar begitu, biar aku saja yang tinggal." "Keadaannya akan jauh lebih baik jika kalian semua tidak ada di sini," kata Bill sambil mengambil sepotong daging goreng. "Ia capek sekali saat ini, dan ingin bisa beristirahat. Penyakit campak memang membuat orang merasa tidak enak badan, tapi setidak-tidaknya dengan demikian pasti ia akan berbaring di tempat tidur!" "Yah — kalau begitu kami bisa menyongsong keberangkatan kita dengan perasaan tenang," kata Jack dengan riang. "Wah, Bill — Anda memang selalu muncul pada saat yang benar-benar tepat!" "He — itu Hilda sudah datang," kata Philip dengan tiba-tiba. "Sebaiknya Anda bergegas ke atas lagi, Bill. Bawa saja piring sarapan Anda. Nanti sambil mengantarkan sarapan untuk ibu, akan kami bawakan roti dan teh pula untuk Anda. Bagaimana, Dinah? — belum selesai juga rotimu?" "Selesai," kata Dinah. Diletakkannya roti panggang yang terakhir di tempat yang khusus untuk itu. "Jangan, Kiki — jangan diapa-apakan roti-roti ini. Aduh, Jack — coba kaulihat paruh Kiki, bergelimang selai. Habis selai kita dikudapnya. Dasar burung rakus!" Bill bergegas pergi ke atas. Sementara itu Hilda masuk ke dapur, lalu mulai sibuk memasukkan arang ke dalam tungku. Dinah mendatanginya untuk mengatakan bahwa ibunya kena penyakit campak. Hilda merasa kasihan mendengar kabar itu. Tapi sekaligus ia juga kelihatan agak cemas. "Yah — sebenarnya aku bisa saja mengurus segalanya," kata Hilda, "tapi karena kalian semua juga masih ada di rumah..." "Tidak," sela Dinah. "Kami sebentar lagi akan pergi, ikut dengan ekspedisi yang hendak mempelajari kehidupan burung-burung di alam bebas. Dan Bu Tremayne akan datang untuk merawat Ibu — jadi..." "Hilda! Hiil—da! Hil—daaa!" Hilda terkejut mendengar namanya dipanggil—panggil. "Itu Nyonya memanggil-manggil!" katanya. "Kau ini bagaimana — mengatakan bahwa ibumu sakit dan sekarang berbaring di tempat tidur! Ya — saya datang, Madam!" Tapi tentu saja yang memanggil-manggil itu Kiki, yang sudah mulai iseng lagi menirukan suara orang. Burung konyol itu terkekeh—kekeh melihat Hilda muncul sambil berlari-lari. "Bersihkan kakimu!" tukas Kiki. "Jangan menyedot-nyedot ingus. Sudah berapa kali kukatakan..." Sambil mengomel, Hilda keluar lagi. Pintu kamar dibantingnya keras-keras. "Aku tidak keberatan diperintah oleh orang-orang yang memang berhak memerintah," omelnya pada Dinah yang memperhatikan sambil cekikikan, "tapi aku tidak sudi disuruh-suruh oleh burung goblok itu! Tidak sudi! Mudah-mudahan ia kalian bawa pergi juga nanti. Aku tidak mau diserahi tugas mengurusnya selama kalian tidak ada. Bisa gila aku nanti dibuatnya!" "Tentu saja ia akan kami ajak," kata Dinah. "Mana mau Jack pergi tanpa Kiki!" Beberapa waktu kemudian Pak Dokter datang. Bu Tremayne juga datang. Hilda mau, ketika diminta menginap selama anak-anak tidak ada dan Bu Mannering masih sakit. Bill bersembunyi dalam kamar sempit yang dikunci dari dalam untuk berjaga-jaga jangan sampai Hilda secara tiba-tiba masuk. Sambil bersembunyi, dengan cepat Bill mengatur rencana. "Kemaskan barang-barang yang diperlukan. Pesan taksi untuk besok malam pukul delapan. Kita akan naik kereta malam yang berangkat ke utara. Malam ini aku akan menyelinap ke luar, lalu mengatur rencana selanjutnya untuk perjalanan dan liburan kita nanti. Kita akan bertemu lagi di stasiun Euston, tapi aku tidak akan datang sebagai Bill Smugs. Aku akan menyamar sebagai Dr. Walker, ahli penyelidik alam. Begitu kalian datang, aku akan menyongsong sambil memperkenalkan diri dengan suara lantang. Itu perlu, karena siapa tahu di sana ada orang yang mengenal kalian - atau mungkin juga kenal padaku! Sudah itu kita berangkat." Rencananya itu mengasyikkan sekali kedengarannya. Itu cara yang misterius untuk memulai liburan! Kedengarannya seolah-olah mereka akan memasuki petualangan yang hebat. Padahal sebenarnya tidak! Anak-anak sama sekali tidak keberatan mengalami petualangan — tapi apalah yang mungkin terjadi di pulau-pulau terpencil, yang hanya dihuni burung-burung liar? Tidak ada apa-apa di sana kecuali burung dan burung — beribu-ribu burung. Malam itu Bill pergi dengan diam-diam. Tidak ada orang lain tahu bahwa selama itu ia ada dalam rumah. Bahkan Bu Tremayne saja pun tidak tahu. Ia mendapat kamar tempat berdandan yang letaknya bersebelahan dengan kamar tidur Bu Mannering. Bu Mannering berjanji tidak akan mengatakan pada siapa-siapa bahwa Bill pernah ada di rumah itu, karena kalau ada yang tahu, mungkin hal itu akan berbahaya baginya, Tapi hari itu Bu Mannering merasa pusing dan mengantuk terus, sampai akhirnya ia sendiri ragu apakah Bill benar-benar datang — atau kesemuanya hanya merupakan impiannya belaka. Anak-anak sibuk berkemas. Sama sekali tidak ada pakaian bagus yang dibawa, karena tidak diperlukan. Untuk apa gaun dan macam-macam lagi di tempat yang tak dihuni manusia? Celana pendek dan baju hangat, sepatu olahraga, pakaian renang dan mantel hujan — barang-barang seperti itulah yang diperlukan. Lalu jaket wol serta handuk — bagaimana dengan selimut tebal? Di manakah mereka tidur nanti? Dalam rumah, atau di bawah tenda? Bill tidak mengatakan apa-apa mengenai hal itu. Mungkin saja mereka akan tidur dalam tenda. Kalau benar begitu — asyik! Akhirnya mereka memutuskan, tidak perlu membawa selimut. Jika ternyata diperlukan, Bill pasti akan sudah menyediakan. "Teropong — buku catatan — pensil — kamera fotoku — dan tali," kata Jack. Ia berusaha agar jangan sampai melupakan sesuatu. Lucy-Ann melongo mendengar katanya yang terakhir. "Tali?" katanya heran. "Untuk apa membawa-bawa tali?" "Siapa tahu kita harus mendaki tebing apabila hendak meneliti tempat burung-burung bersarang di sana,” kata Jack. "Silakan memanjat-manjat tebing kalau kau memang kepingin. Pokoknya, aku tidak mau!" kata Lucy-Ann sambil bergidik ngeri. “Aku tidak mau memanjat-manjat pada tebing yang curam hanya dengan seutas tali melilit pinggang dan nyaris tanpa tempat pijakan!" "Kiki mencopet pensilmu," kata Dinah. "Ayo, jangan mengganggu terus, Kiki! Kalau kau tidak menghentikan keisenganmu, nanti kau takkan kami ajak melihat burung-burung puffin!" "Pufin dan mufin, pufin dan hufin, mufin dan pufin, mulin pufin mufin," oceh Kiki. Ia mengatup-ngatupkan paruh dengan keras, bergembira karena mendapat permainan kata yang baru. "Puiin dan huf —" "Sudah, jangan mengoceh terus," kata Dinah. "Hidup Ratu!" seru Kiki sambil bertengger lurus-lurus. "Aku ingin tahu, bagaimana pikiran burung-burung di utara nanti kalau melihatmu, Kiki," kata Lucy-Ann. "Jack — bagaimana jika Kiki kita masukkan saja ke dalam keranjang selama kita berada di kereta api? Kau tahu kan kebiasaannya, berteriak-teriak memanggil-manggil, 'Penjaga, penjaga’ dan menirukan bunyi peluit, serta menyuruh semua orang membersihkan kaki!" "Biar saja ia nanti bertengger di bahuku," kata Jack. "Selama di kereta kita kan tidur, jadi ia takkan terlalu mengganggu. Sudah, Kiki — jangan kauketuk-ketukkan terus paruhmu. Tidak lucu kalau mengganggu orang yang sedang sibuk!" "Polly nakal!" kata Kiki. "Nyanyi Pol-ly—woliudel - sepanjang hari!" Philip melemparkan bantal ke arah Kiki. Burung itu dengan segera terbang ke batang gantungan tirai, lalu bertengger sambil merajuk di situ. Sedang anak-anak melanjutkan. pembicaraan mengenai liburan mereka yang akan datang. "Kita benar-benar mujur, akhirnya bisa juga bergabung bersama Bill!" kata Jack. "Begini malah lebih baik daripada ikut dengan Dr. Johns. Aku ingin tahu. apakah Bill akan punya perahu di sana sehingga kita bisa berkeliaran ke mana-mana. Wah — aku pasti akan menikmati masa dua minggu berikut ini. Siapa tahu, mungkin pula kita nanti akan melihat burung Auk Raksasa di sana!" "Kau ini — dengan Auk Raksasamu!" kata Philip. "Kau kan tahu. burung jenis itu sudah punah. Sudahlah, jangan kau mulai lagi tentang itu, Jack. Tapi ada kemungkinannya kita akan menjumpai burung Auk Kecil — serta jenis-jenis Auk lainnya yang bersarang di tebing!" Keesokan hari tiba. Waktu rasanya berjalan seperti merambat. Tapi akhirnya malam datang juga. Selama itu Bu Mannering hampir terus-, menerus tidur. Bu Tremayne tidak mengizinkan anak-anak masuk untuk pamitan. "Lebih baik jangan," katanya. "Biar aku saja yang menyampaikan jika ia bangun nanti. Tapi jangan lupa menulis surat dari tempat kalian berlibur, ya? He — itu kan bunyi mobil datang! Mungkin taksi yang kalian pesan. Yuk — kuantar kalian ke luar." Bu Tremayne tidak salah dengar. Memang taksi mereka yang datang. Anak—anak bergegas masuk l dengan barang—barang bawaan mereka. Sekarang ke London — di sana bertemu dengan Dr. Walker — lalu naik kereta api beratus-ratus kilometer ke arah utara, menuju daerah liar yang jarang didatangi orang. Sekali ini bukan untuk bertualang, melainkan berlibur dengan asyik dan tanpa beban pikiran — bersama sahabat mereka, Bill Smugs. "Naik-naik—naik, semua naik!" seru Kiki dengan suara berat, menyebabkan supir taksi terkejut mendengarnya. "Satu —— dua — tiga — yak, berangkat!" Bab 6 PERJALANAN JAUH Bill sudah mengatakan di mana mereka harus menunggunya di stasiun Euston. Karenanya begitu turun dari taksi, anak-anak dengan segara menuju ke tempat itu. Masing-masing membawa tas serta mantel hujan. Sesampai di situ, mereka berdiri sambil menunggu. "Bagaimana jika salah seorang anggota gerombolan yang sedang diselidiki olah Bill tahu bahwa Bill akan berjumpa dengan kita di sini?" kata Philip dengan nada misterius. "Lalu orang itu mendatangi kita dan mengaku bahwa ialah Bill! Lalu kita semua dibawanya pergi antah ke mana, dan tidak pernah ada kabar beritanya lagi!" Kasihan Lucy-Ann. Anak perampuan itu ketakutan. Matanya terbelalak karena ngeri. "Aduh, Philip — mungkinkah hal itu benar-benar terjadi?" katanya dengan suara lirih. "Mudah-mudahan kita bisa mengenali Bill apabila ia menghampiri kita nanti. Kalau tidak, aku ngeri ikut dengannya." Saat itu seorang laki-laki bertubuh gendut datang menghampiri sambil tersenyum. Orang itu benar—benar gendut. Kepalanya bulat, badannya bulat, kakinya besar — bahkan giginya pun besar-besar. Anak-anak melihatnya karena orang itu memandang mereka sambil tersenyum terus. Lucy-Ann merasa kecut. Tidak mungkin itu Bill - karena tidak mungkin ada orang bisa membuat tubuhnya menjadi begitu besar segala—galanya jika I aslinya tidak gendut. Lucy-Ann memegang tangan Philip erat-erat. Mungkinkah orang itu termasuk gerombolan penjahat yang sedang mencari-cari Bill? "Nak,"`kata orang itu padanya, "itu — mantelmu terjatuh. Kalau tidak lekas—lekas kauambil, nanti hilang!" Lucy-Ann langsung pucat pasi mukanya ketika disapa. Tapi kemudian ia menoleh. Baru saat itu dilihatnya mantel hujannya tergeletak di tanah. Buru-buru diambilnya barang itu. Dengan muka merah padam dan suara terbata-bata, ia mengucapkan terima kasih. Laki-laki gendut itu tersenyum sekali lagi, memamerkan deretan giginya yang besar-besar. Kiki mulai mengoceh, dengan suara biasa seperti orang yang sedang mengobrol. "Pintar sekali burung kalian!" kata laki-laki gendut itu. Diulurkannya tangannya. Maksudnya hendak mengelus—elus Kiki. Tapi Kiki tidak suka dielus orang yang tak dikenal. Dicotoknya tangan orang itu dengan paruhnya yang runcing, lalu bersuit seperti lokomotif. Senyuman laki-laki gendut itu lenyap dengan seketika, digantikan wajah cemberut. "Burung kalian jahat," gerutunya lalu menghilang di tengah orang banyak Anak-anak merasa lega. Mereka sama sekali tidak curiga bahwa orang itu termasuk gerombolan penjahat, karena mereka tahu bahwa itu hanya bikin-bikinan Philip saja. Tapi walau demikian_ mereka khawatir jika orang itu tidak henti-hentinya mengobrol dengan mereka sehingga Bill tidak bisa datang untuk menjemput. Keempat anak itu berdiri terus di bawah jam besar. Mereka memandang berkeliling, mencari-cari Bill. Tapi tak seorang pun nampak, yang agak mirip dengan orang yang mereka tunggu-tunggu. Kemudian seorang laki-laki datang mendekat. Punggungnya membungkuk, sedang jalannya agak terseok-seok. Ia memakai kaca mata tebal. Di balik kaca mata nampak sepasang mata yang memandang tajam. Ia memakai mantel tebal yang panjang. Sebuah teropong terselempang di punggung. Kepalanya ditutupi topi yang terbuat dari bahan berkotak-kotak hitam. Janggutnya juga hitam, dan lebat. Tapi ketika ia berbicara, suara Bill Smugs yang terdengar, "Selamat malam, Anak-anak. Aku senang melihat kalian datang tepat pada waktunya. Kini kita bisa memulai ekspedisi kita." Wajah Lucy-Ann berseri-seri. Ia mengenali suara Bill, walau- sahabat mereka itu menyamar dengan janggut lebat serta penampilan aneh. Nyaris saja ia merangkul orang itu sambil menyatakan kegembiraannya melihat Bill. Tapi Jack merasa bahwa adiknya akan berbuat demikian. Dengan cepat didorongnya Lucy-Ann ke samping, lalu ia sendiri menyodorkan tangan dengan sikap hormat. "Selamat malam, Dr. Walker. Apa kabar?" Anak—anak yang lain langsung mengerti, lalu berbuat sama. Orang yang kebetulan melihat kejadian itu pasti akan menyangka bahwa keempat anak itu menyambut pembimbing atau pengasuh mereka, yang akan mengajak bepergian ke suatu tempat. "Yuk, kita pergi sekarang," kata "Dr. Walker". "Aku sudah memesan seorang pengangkat barang untuk membawa barang-barang kalian. Sini, Pak-! Tolong angkut barang-barang ini dengan gerobak Anda, lalu bawa ke tempat yang telah kami pesan di kereta pukul sepuluh malam. Terima kasih." Tidak lama kemudian mereka sudah berada di atas kereta api. Anak-anak asyik melihat "kamar tidur" -mereka yang berukuran kecil. Lucy-Ann suka melihat segala—galanya bisa dilipat ke bawah atau ke belakang — pokoknya, disingkirkan apabila tidak sedang diperlukan. "Sekarang kalian harus tidur dulu," kata Bill. Matanya memandang dengan ramah dari balik lensa kaca mata tebal. "Dr. Walker akan menjamin bahwa kalian takkan terlambat bangun untuk sarapan besok pagi." "Di mana letak tempat yang akan kita datangi?" tanya Jack. "Dan bagaimana cara kita pergi ke sana?" "Kita ke sana naik kereta ini, lalu naik kereta lain, dan kemudian disambut lewat air dengan perahu motor," kata Bill. Anak-anak berseri-seri mendengar keterangannya. Mereka sangat gemar mengadakan perjalanan. "Aku membawa peta," kata Bill setelah memeriksa apakah pintu sudah tertutup. "Ini peta semua pulau kecil yang bertebaran di depan pesisir barat laut Skotlandia. Jumlahnya sampai ratusan! Beberapa di antaranya begitu kecil sampai tidak bisa ikut diterakan dalam peta. Kurasa belum pernah ada orang yang telah mendatangi semua pulau itu. Hanya burung-burung saja yang tinggal di sana. Menurut pendapatku, sebaiknya salah satu pulau kecil itu kita jadikan pangkalan, lalu dari situ kita berkeliaran sambil membuat foto-foto, serta mengamat-amati kehidupan burung-burung di sana." Mata Jack dan Philip bersinar-sinar. Mereka membayangkan keasyikan hari-hari yang cerah di laut, mondar-mandir dari satu pulau kecil ke pulau kecil lainnya yang semua dihuni burung-burung yang setengah jinak, berpiknik dan makan dengan lahap sambil menikmati tiupan angin. duduk-duduk di atas batu sambil merendamkan kaki dalam air yang jernih. Hati keduanya seakan melonjak dengan gembira membayangkan kesemuanya itu. "Yang paling kuinginkan adalah burung puffin yang jinak," kata Philip. "Selama ini yang kulihat hanya yang sudah diawetkan saja. Tapi kelihatannya burung-burung itu kocak." "Kurasa kau pasti mampu mengajari mereka duduk lalu mengemis-ngemis minta makanan," kata Bill geli. "Puflin enggas-enggos," 0ceh Kiki. "Hidup Raja!" Tidak ada yang mempedulikan ocehannya, karena semua sibuk membayangkan liburan mereka yang luar biasa itu. "Nanti kalau kalian harus pulang, aku akan tinggal sendiri di sana," kata Bill. "Suasananya pasti sepi tanpa kalian — tapi kalian pasti akan meninggalkan burung-burung puffin kalian yang sudah jinak untuk menemani aku." "Tak enak perasaanku harus meninggalkan Anda," kata Lucy-Ann. "Akan lamakah Anda seorang diri di sana, Bill?" "Kurasa lumayan juga," kata Bill. "Pokoknya cukup lama, sampai musuh-musuhku sudah lupa padaku, atau mengira aku sudah mati." "Aduh," keluh Lucy-Ann. "Aku lebih senang seandainya Anda tidak menjalani kehidupan yang begitu berbahaya, Bill. Tidak bisakah Anda memilih pekerjaan lain saja?" "Lalu aku harus menjadi apa? Tukang kebun, kondektur trem, atau pekerjaan lain yang aman semacam begitu, maksudmu?" balas Bill. Ia nyengir melihat tampang Lucy-Ann yang begitu serius. "Tidak, Lucy-Ann — aku suka kehidupan yang begini. Aku berada di pihak hukum dan keadilan — dan menurutku, risiko apa pun juga sudah selayaknya kupikul untuk membelanya. Kejahatan itu kuat dan berkuasa — tapi aku juga kuat, dan ada gunanya mengadu kekuatan melawan oknum-oknum jahat serta segala perbuatan mereka." "Anda benar-benar hebat, Bill," kata Lucy-Ann dengan nada bangga. "Dan aku yakin, Anda akan selalu menang. Tapi tidakkah Anda marah karena kini terpaksa menyembunyikan diri?" "Wah, bukan marah lagi," kata Bill. Tampangnya sama sekali tidak kelihatan marah. Tapi dari nada suaranya anak-anak menarik kesimpulan mengenai perasaan sahabat mereka itu. karena terpaksa "menghilang" sementara masih ada tugas yang harus diselesaikan. "Tapi apa boleh buat, aku harus mematuhi perintah atasan. Lagi pula, perintah untuk menghilang ini bagi kita semua berarti liburan yang sangat menyenangkan. Nah, Jack dan Philip — bagaimana, kalian sudah selesai mempelajari peta itu?" Sejak tadi kedua anak laki-laki itu asyik menelaah peta pulau-pulau yang dibawa Bill. Jack menuding salah satu pulau yang tertera di atas peta. "Lihatlah —" katanya, "yang ini kelihatannya cocok! Namanya Pulau Sayap — jadi mestinya di situ banyak sekali burung." "Kita coba saja pergi ke sana," kata Bill. "Ada kemungkinannya kita akan tersesat nanti – tapi biarlah! Siapalah yang akan merasa keberatan, tersesat di tengah laut berwarna biru kehijauan pada saat musim semi yang indah, dengan sekian banyak pulau kecil mempesona terbentang di depan mata?" "Wah — kedengarannya indah sekali," kata Dinah. "Aduh, coba lihat si Kiki. Burung goblok itu mencoba menarik sumbat bak cuci muka dari rantainya." Selama mereka berlima asyik berbicara, ternyata Kiki sibuk memeriksa seluruh ruang "kamar tidur". Ia sudah meneguk air dari salah satu keran air yang tersedia di situ. Kini burung iseng itu bertengger di atas batang tempat menggantungkan handuk. Sambil menguap seperti manusia, diselipkannya kepala ke bawah sayapnya. Tepat pada saat itu terdengar pintu—pintu kamar sepanjang gerbong tergoncang-goncang dengan keras. Dengan cepat kepala Kiki tersembul kembali dari bawah sayap. "Tutup pintu," ocehnya. "Panggil dokter!" Terdengar lengkingan bunyi peluit ditiup. Kiki bingung ketika "kamar tidur" dengan tiba-tiba terguncang sewaktu kereta mulai bergerak meninggalkan stasiun. Nyaris saja burung itu terjatuh dari tempat gantungan handuk. "Kiki yang malang, sayang, sayang!" ocehnya, lalu terbang ke bahu Jack. "Sudah waktunya kita semua tidur sekarang," kata Bill sambil bangkit. Tampangnya nampak aneh sekali dengan janggut hitam serta kaca mata berlensa tebal. Untung saja topi berkotak-kotak hitam yang jelek itu sudah dilepaskannya dari kepala. "Kami berdua yang tidur di sini, atau harus berempat?" tanya Lucy-Ann dengan nada sangsi. Dipandangnya kedua pembaringan sempit yang terpasang pada masing-masing sisi ruangan itu. "Tentu saja berdua, Konyol!" kata Bill sambil tertawa. "Aku mendapat bilik untuk satu orang di sebelah kanan — dan di sebelah kanannya lagi ada kompartemen atau bilik lagi. Yang itu untuk Jack dan Philip. Jadi tempatku di tengah-tengah kalian! Kalian tinggal menggedor dinding kayu yang memisahkan kamar-kamar kita jika ada sesuatu — dan dengan segera aku akan datang!" "Bagus!" kata Lucy-Ann lega. "Untung Anda begitu dekat dengan kami. Tapi Anda nanti tidur dengan janggut itu, Bill?" "Janggut palsu ini kurekatkan ke dagu — jadi terasa sakit kalau dicopot. Karenanya aku terpaksa membiarkannya terpasang pada saat hendak tidur," kata Bill menjelaskan. "Nanti baru akan kulepaskan apabila kita sudah sampai dengan selamat di tengah pulau-pulau kecil kita. Takkan ada orang melihat kita di sana. Tapi kenapa kau bertanya? Kau tidak suka melihat janggutku yang bagus ini?" "Tidak," kata Lucy-Ann berterus terang. "Aku merasa seperti bukan berhadapan dengan Anda setiap kali aku memandang Anda. Tapi kalau terdengar suara Anda, barulah aku tahu dengan pasti." "Yah, kalau begitu pandang saja aku dengan mata terpejam, supaya kau tidak merasa takut," kata Bill sambil nyengir. "Nah — sekarang selamat tidur, Anak-anak. Yuk, Jack dan Philip — kuantar kalian sebentar ke bilik kalian berdua. Besok pagi kalian akan kubangunkan. Setelah berpakaian rapi, kita ke gerbong restorasi untuk sarapan pagi." "Aku agak lapar sekarang, walau tadi waktu makan malam sudah kuisi perutku penuh-penuh," kata Philip. "Tapi makan malam itu kan sudah lama." "Aku membawa bekal roti dan pisang," kata Bill. "Nanti kuambilkan. Tapi jangan terlalu lambat tidur, ya — karena saat ini sudah larut malam." "Alaa, kan belum pukul sepuluh," kata Dinah. Tapi sambil bicara, anak itu menguap lebar-lebar. Kiki langsung menirukan, dan hal itu menyebabkan semuanya ikut menguap pula. Bill pergi ke biliknya untuk mengambilkan roti serta beberapa buah pisang yang sudah ranum. Ia mengucapkan selamat tidur pada Dinah dan Lucy-Ann, lalu mengajak Jack dan Philip ke bilik mereka. Anak-anak merasa asyik, pergi tidur dalam kereta yang sedang berjalan. Aneh rasanya berganti pakaian sementara gerbong terayun—ayun ditarik lokomotif yang melaju dengan kecepatan seratus kilometer per jam, menembus kegelapan malam. Nikmat rasanya merebahkan diri di pembaringan, mendengar irama putaran roda kereta di atas rel. Lucy-Ann memejamkan mata. Pikirannya mengembara. Bunyi roda-roda kereta yang berirama seakan-akan membuaikannya. "Pergi jauh, pergi jauh," seolah-olah begitulah bunyi lagu yang dinyanyikan roda-roda itu .... Walau malam itu mereka sibuk dan bergairah, tapi tidak lama kemudian keempat remaja itu sudah tidur pulas dan bermimpi. Mimpi tentang apakah mereka? Itu dapat ditebak dengan mudah. Air laut yang -biru kehijauan sejernih kaca, pulau-pulau kecil mempesona, awan-awan putih berarak melintasi bentangan langit biru — dan burung, burung, burung yang tak terhitung banyaknya .... Dan roda-roda kereta masih terus menyanyikan lagu yang sama. Pergi jauh, pergi jauh, pergi jauh.... Bab 7 TIBA DI TEPI LAUT Setengah perjalanan sudah dilewati ketika anak-anak bangun keesokan paginya. Mereka dibangunkan oleh Bill yang menggedor-gedor dinding pemisah. Dengan cepat mereka mengganti pakaian tidur dengan busana sehari-hari. Setelah semua siap, berlima mereka berjalan sambil terhuyung-huyung menuju gerbong restorasi. Perut mereka sudah keroncongan. Lucy-Ann merasa ngeri ketika harus melangkahi bagian yang menghubungkan dua gerbong. Saat itu dipegangnya tangan Bill erat-erat. "Aku selalu takut gerbong-gerbong terpisah dua pada saat aku berada di bagian yang menghubungkan," kata Lucy-Ann. Bill memahami kecemasan anak itu. Ia sama sekali tidak tersenyum geli. Padahal yang lain-lain mencemoohkan pikiran Lucy-Ann yang bukan-bukan itu. Kiki bertingkah lagi ketika mereka semua sedang sarapan. Burung itu melempar-lemparkan roti panggang, lalu berteriak-teriak dengan suara serak ketika tidak diperbolehkan mengudap selai yang memang hanya sedikit saja disediakan. Ia mendengus dan membersit ketika Jack menyodorkan biji bunga matahari padanya. Para penumpang lainnya tertawa geli melihat tingkah laku Kiki. Reaksi demikian malah menyebabkan tingkahnya semakin menjadi-jadi. "Sudah, Kiki!" tukas Bill dengan jengkel sambil mengetuk paruh burung kakaktua itu. Kiki menjerit, lalu menyambar janggut palsu Bill dan disentakkannya keras-keras. Sebagian dari janggut itu terlepas karenanya. Dari semula Kiki sudah tidak mengerti, apa sebabnya Bill tiba-tiba muncul dengan gumpalan rambut yang aneh menutupi dagu dan rahangnya. Setelah berhasil mencabut beberapa lembar dari rambut aneh itu, Kiki pindah ke bawah meja. Di situ ia sibuk menarik gumpalan itu sehingga terlepas selembar demi selembar sambil menggumam dengan lirih pada dirinya sendiri. "Biarkan saja." kata Bill. "Sekarang ia pasti puas, bisa menarik-narik gumpalan janggutku sampai terlepas semua." Digosok-gosoknya dagunya. "Uhh -— sakit juga rasanya tadi! Bagaimana — tampangku tidak kelihatan aneh sekarang?" "Ah, tidak — tidak begitu kelihatan bedanya," kata Jack menenangkan. "Kiki selalu membuat ribut dalam perjalanan seperti sekarang ini. Misalnya, saat ia ikut pulang dengan aku dari sekolah — bersuit-suit menirukan peluit kondektur, menyuruh para penumpang membersihkan hidung dan kaki, serta menjerit dalam terowongan sampai semua nyaris tuli dibuatnya." "Tapi Kiki sebenarnya burung yang manis," kata Lucy-Ann. Ia sama sekali tidak mengatakan bahwa tepat pada saat itu Kiki sedang sibuk melepaskan tali sepatunya di bawah meja! Perjalanan itu lama sekali. Mereka harus berganti kereta di sebuah stasiun yang sangat besar dan berisik. Kereta yang saat itu dinaiki tidak sepanjang kereta yang pertama. Jalannya juga kalah laju. Dengan kereta itu mereka menuju ke suatu tempat di pesisir. Anak-anak bergairah sekali ketika melihat laut yang biru nampak berupa garis yang terang di kejauhan. Sore! Semuanya sangat senang pada laut. "Sekarang aku merasa liburan kita benar-benar sudah dimulai," kata Lucy-Ann. "Maksudku, karena laut sudah kelihatan. Laut menimbulkan perasaan berlibur yang sesungguhnya bagiku." Anak-anak yang lain berperasaan sama seperti Lucy-Ann. Bahkan Kiki pun meloncat-loncat seperti Indian yang sedang melakukan tari perang di tempat barang yang terdapat di atas kepala anak-anak. Akhirnya kereta mereka berhenti di stasiun sebuah kota besar di tepi laut. Dengan segera Kiki terbang ke bahu Jack ketika mereka turun dari kereta. Angin laut terasa menghembus, membelai muka. Rambut Dinah dan Lucy-Ann tergerai ke belakang dipermainkan angin. Janggut palsu Bill ikut terdorong ke belakang. Kiki langsung bertengger dengan paruh dihadapkan ke arah angin. Ia paling tidak suka jika bulu tubuhnya kusut. Rombongan itu makan siang dengan nikmat di sebuah hotel. Sehabis makan Bill pergi ke pelabuhan. ia hendak memeriksa apakah perahu motornya sudah ada. Ternyata baru saja tiba saat itu. Laki-laki yang membawanya kenal baik dengan Bill. Ia sudah diberi tahu mengenai penyamaran sahabat keempat anak itu. "Selamat pagi, Dr. Walker," sapa pembawa perahu motor itu dengan suara lantang. "Cuaca hari ini baik sekali — cocok untuk mengawali ekspedisi Anda. Semua sudah dipersiapkan, Pak." "Bagaimana dengan perbekalan, Henty?" tanya "Dr. Walker" sambil mengejap-ngejapkan mata di balik lensa tebal. "Wah - bukan cukup lagi, Pak! Untuk dipakai bertahan terhadap pengepungan musuh pun pasti cukup," kata orang yang bernama Henty. "Saya ditugaskan menjadi pemandu Anda keluar dari pelabuhan, Pak. Saya membaca sekoci. Saya ikatkan di buritan perahu motor ini. Semua bergegas naik. Perahu motor itu bagus, dengan kabin kecil di sebelah haluannya. Jack bersinar gembira matanya ketika melihat persediaan makanan yang berkaleng-kaleng banyaknya! Lemari pendingin kecil yang ada di situ juga penuh dengan makanan persediaan. Bagus! Jadi soal makanan tidak perlu dicemaskan. Menurut Jack, itu salah satu hal pokok yang perlu direncanakan dengan baik. Soalnya, waktu berlibur sudah biasa juga perut terasa lapar terus. Henty mengemudikan perahu motor itu keluar dari perairan pelabuhan, sementara sekocinya yang ditambatkan ke buritan terangguk—angguk kena ombak. Setelah keluar dari pelabuhan, Henty pindah ke sekocinya. Ia memberi hormat pada Bill. "Selamat jalan, Pak," katanya. "Pesawat pemancar beres! Kami menunggu kabar dari Anda. Secara teratur, agar kami tahu bahwa Anda tidak kekurangan suatu apa pun. Baterai-baterai cadangan sudah disediakan, begitu pula perlengkapan untuk memperbaiki kalau ada kerusakan. Nah — semoga semuanya berjalan dengan baik, Pak. Dua minggu lagi saya akan ke sini lagi untuk menjemput anak-anak pulang." Henty meninggalkan mereka dengan sekocinya. Gerakan dayungnya teratur menimbulkan bunyi percikkan lembut di air. Tidak lama kemudian ia sudah nampak kecil di kejauhan, sementara Bill mengarahkan perahu motor ke tengah laut. "Nah — kita berangkat!" kata Bill dengan nada puas. "Janggutku sekarang sudah bisa kulepaskan, begitu pula kaca mataku. Uh — tidak enak rasanya harus memandang dari balik lensa tebal. Dan mantel panjangku sebaiknya kubuka pula sekaligus. Philip! — kau kan tahu caranya mengemudikan perahu motor! Tolong pegangkan roda kemudi sebentar sementara aku melepaskan samaranku ini. Saat ini rasanya takkan ada orang lain melihat kita. Pegang haluan utara barat laut." Dengan bangga Philip mengambil alih tugas memegang roda kemudi. Mesin perahu terdengar mendengung dengan mulus, sementara haluan dengan laju mengiris permukaan air laut yang biru. Hari itu indah sekali, hampir sehangat hari-hari musim panas. Matahari bersinar terang di langit bersih yang dihiasi awan-awan kecil seperti gumpalan-gumpalan kapas. Ombak kecil-kecil bergerak seperti menari-nari. Ujungnya berkilat-kilat memantulkan sinar matahari. "Indah sekali!" kata Jack. Sambil mendengus senang, ia duduk dekat Philip. "Sungguh-sungguh indah sekali!" "Perasaanku saat ini sangat indah," kata Lucy-Ann sambil menatap pemandangan yang membahagiakan itu. "Itu — perasaan yang timbul pada saat awal liburan yang indah — menjelang hari-hari cerah dan santai, seolah-olah mempesona." "Awas — kalau kau begitu terus, tahu-tahu kau nanti menjelma jadi penyair," kata Philip yang memegang roda kemudi. "Saat ini perasaanku memang seperti penyair," kata Lucy-Ann. "Aku juga tidak keberatan menjadi penyair nanti kalau sudah besar, walau itu berarti aku harus mengarang syair." "Tiga tikus buta, mereka lari meraba-raba," oceh Kiki saat itu. Sesaat semua menyangka burung kakaktua itu ikut berbicara tentang syair dan mengucapkan suatu contoh; Padahal Kiki mengoceh tentang ketiga tikus putih yang dilihatnya tiba-tiba muncul di bahu Philip. Ketiga binatang mungil itu duduk di situ dengan rapi, dengan hidung kemerah-merahan terangkat tinggi, mengendus—endus bau hawa laut yang asin. Dinah yang duduk dekat Philip langsung mengumpat-umpat, "Aku sudah berharap-harap mulanya bahwa kau tidak membawa binatang-binatang kecil menjijikkan itu. Mudah-mudahan saja mereka nanti disambar burung camar." Tapi saat itu bahkan Dinah pun tidak bisa lama-lama merasa jengkel, sementara perahu motor mereka meluncur di atas ombak berwarna hijau, meninggalkan alur buih di belakang buritan yang nampaknya seperti ekor yang panjang sekali. Ketika kemudian Bill muncul dari dalam kabin, anak-anak menyapanya dengan gembira. "He, Bill! Wah — sekarang Anda kelihatan seperti Bill yang asli lagi!" "Anda jangan memakai janggut lagi, Bill! Kegantengan Anda rusak kalau memakai janggut!" "Hore! Dr. Walker sudah hilang untuk selama-lamanya. Orang konyol — aku tidak suka padanya." "Nah, begitu dong, Bill — Anda kelihatan menarik lagi sekarang. Mulut Anda kelihatan kalau tersenyum." "Jangan diambil, jangan diambil!" oceh Kiki, karena mendengar anak-anak menyebutkan kata bill berulang-ulang. "Diam, Kiki! Kalau tidak, disambar camar kau nanti!" "Ahh — begini baru nikmat namanya," kata Bill dengan puas. Diambilnya roda kemudi dari tangan Philip. "Wah, jika udara cerah seperti sekarang ini terus-menerus, dengan cepat kita akan sudah menjadi hitam. Jack, Philip — sebaiknya kalian jangan membuka baju dulu — nanti kalian tersengat sinar matahari." Dengan segera anak-anak membuka mantel dan jas mereka. Hembusan angin terasa sejuk, tapi sinar matahari benar-benar panas sekali. Laut di kejauhan kelihatan biru sekali. "Nah, Kawan-kawan — harap ingat, ini liburan dan bukan petualangan yang menegangkan," kata Bill, sementara punggung kemejanya yang putih menggembung ditiup angin. "Kalian sudah cukup mengalami petualangan. Kita bersama-sama sudah tiga kali mengalaminya — dan sekali ini aku ingin berlibur." "Betul!" sambut Jack. "Jadi kita akan berlibur. Petualangan —jangan berani-berani mengganggu liburan kami!" "Aku juga tidak ingin mengalami petualangan," kata Lucy-Ann. "Bagiku, begini saja sudah merupakan petualangan. Jenis beginilah yang paling kusukai — bukan petualangan yang memaksa kita bersembunyi dan merangkak-rangkak dalam terowongan-terowongan rahasia, dan hidup dalam liang-liang gua. Aku hanya ingin menikmati hari—hari cerah dan santai bersama teman-teman yang paling kusenangi. Lebih asyik lagi jika Bibi Allie juga ada di sini —walau mungkin ia tidak akan bisa menikmatinya betul-betul." "Mudah-mudahan keadaannya sekarang sudah agak lumayan," kata Dinah. "He — di mana letak daratan, ya? Aku tidak melihat apa-apa! Bahkan sebuah pulau saja pun tidak!" "Besok akan banyak yang dapat kaulihat," kata Bill. "Tinggal pilih saja mana yang kauingini." Sore dan malam itu berlangsung dengan menyenangkan. Mereka minum teh di atas kapal. Dinah dan Lucy-Ann yang memasak. Kedua anak perempuan itu juga menemukan roti segar, selai arbei, dan sebuah kue coklat yang besar dalam lemari tempat penyimpanan makanan di kabin. "Pakai kesempatan ini sebaik-baiknya," kata Bill. "Mulai sekarang kalian takkan bisa sering-sering makan roti segar. Kurasa kita nanti takkan menemukan tempat-tempat pertanian di pulau-pulau yang akan kita datangi. Tapi aku membawa bekal roti kering berkaleng-kaleng. Sedang kue coklat yang sedap ini kalian nikmati saja sampai habis — karena kurasa selama dua minggu mendatang ini kalian takkan pernah merasakannya lagi." "Aku tidak peduli," kata Dinah sambil sibuk mengunyah. "Kalau aku sedang lapar, masa bodoh apa yang kumakan! Dan aku tahu pasti, selama liburan ini aku akan terus-menerus merasa lapar." Saat senja, matahari yang terbenam diiringi sinar kemilau keemasan. Awan-awan kecil yang berarak berubah warna menjadi kemerah-merahan. Perahu motor mereka meluncur terus, mengarungi permukaan laut yang juga kemilau kuning dan merah keemasan. "Matahari tenggelam dalam laut," kata Lucy-Ann kemudian, ketika matahari sudah tidak nampak lagi. "Aku memperhatikan bagiannya yang paling akhir lenyap ditelan alun." "Di mana kita tidur malam ini?" tanya Jack. "Bukan apa-apa, tapi aku ingin tahu saja.” "Di haluan mestinya ada dua buah tenda," kata Bill. "Menurut rencanaku, jika kita sampai di sebuah pulau yang kelihatannya menyenangkan, kita mendarat lalu berkemah di situ malam ini. Bagaimana - setuju atau tidak?" . "Setuju! Setuju!" seru anak—anak. "Yuk, sekarang kita mencari pulau — tapi harus yang betul-betul menyenangkan!" Tapi saat itu daratan sama sekali tidak kelihatan. Bahkan beting karang sempit saja pun tidak nampak. Bill meminta Jack mengambil alih roda kemudi sebentar, lalu mempelajari peta. Ia menuding ke suatu tempat yang tertera di situ. "Arah haluan perahu kita selama ini kemari. Jadi tidak lama lagi mestinya kita akan sampai di dua pulau ini. Pulau yang satu ada penghuninya beberapa orang. Dan kelihatannya di sana juga ada dermaga, walau hanya kecil saja. Sebaiknya kita ke sana saja dulu malam ini, lalu besok baru berangkat menuju wilayah tak dikenal. Untuk mencari pulau-pulau yang lebih jauh letaknya, rasanya saat ini sudah terlalu petang. Sebelum sampai di sana, hari pasti sudah gelap." "Tapi langit masih terang," kata Philip. Ia memandang arlojinya. "Kalau di rumah, pukul begini pasti sudah mulai remang-remang." "Semakin jauh kita ke utara, semakin lama pula masa senja," kata Bill. "Tapi jangan tanyakan sebabnya padaku saat ini. Sekarang aku sedang tidak sanggup memberikan ceramah." "Anda sama sekali tidak perlu menjelaskan, karena kami sudah mempelajarinya semester yang lalu," kata Philip dengan sikap angkuh. "Keterangannya begini: karena matahari .... " "Ampun, ampun," kata Bill pura-pura bingung sambil mengambil alih roda kemudi lagi. "Lihatlah — seekor tikus putihmu yang melit mengendus-endus ekor Kiki. Jika kau tidak lekas-lekas menyingkirkannya, ada kemungkinan sebentar lagi terjadi peristiwa berdarah." Tapi Kiki takkan mau menyakiti binatang piaraan Philip yang mana pun juga. Ia sudah cukup puas menggertakkan paruhnya keras-keras dekat telinga Pencicit. Tikus putih itu ketakutan, lalu lari terbirit-birit kembali ke Philip, memanjat betisnya, dan menghilang masuk ke dalam celana pendek anak itu. Lambat-laun air laut sudah tidak biru lagi warnanya, berganti menjadi kelabu kusam kehijauan. Hembusan angin terasa dingin. Semua cepat-cepat memakai baju hangat. Kemudian di kejauhan nampak bayangan yang gelap di atas air. Daratan! "Itulah dia - satu dari kedua pulau yang kita tuju untuk tempat kita tidur malam ini," kata Bill dengan puas. "Hebat juga keahlianku mengemudi — ternyata haluan perahu kita lurus menuju ke sana. Sebentar lagi kita akan sudah sampai." Memang — beberapa saat kemudian perahu motor itu sudah bergerak menepi, merapat ke sisi sebuah dermaga batu yang sederhana buatannya. Seorang nelayan yang ada di situ melongo melihat kedatangan mereka. Dengan ringkas, Bill memberikan penjelasan. "Ah, kalian mencari burung-burung rupanya," kata nelayan itu dengan logat skot yang mantap. "Yah — di luar sana banyak yang bisa kalian temui," sambungnya sambil menganggukkan kepala ke arah laut. "Mau tidur di mana kalian malam ini? Pondok kecilku tidak bisa menampung orang begini banyak." Lucy-Ann tidak memahami kata—kata orang itu. Tapi yang lain-lain masih mampu menebak-nebak. "Bawa tenda-tenda kita," kata Bill. "Sebentar lagi akan kita pasang. Nanti kita minta pada istri nelayan ini agar memasakkan makanan untuk kita. Dengan begitu kita bisa menghemat bekal. Mungkin kita juga bisa memperoleh kepala susu dan mentega." Ketika hari sudah benar-benar gelap, semuanya sudah selesai makan malam. Mereka masuk ke dalam kedua tenda yang telah dipasang, lalu berbaring dengan nyaman di atas selimut-selimut yang dihamparkan di atas alas penutup tanah. Udara segar situ menyebabkan mereka cepat sekali mengantuk. Dinah dan Lucy-Ann bahkan langsung pulas tanpa mengucapkan selamat tidur lagi. "Mereka itu sinting," kata nelayan pada istrinya. "Sayang perahu sebagus itu dipakai untuk mencari burung. Bayangkan — mencari burung-burung, padahal di sini banyak sekali ikan yang tinggal ditangkap saja. Yah — tak lama lagi mereka akan bisa melihat burung-burung. Huhh —— mereka itu memang edan!" Bab 8 PULAU BURUNG Keesokan harinya, setelah sarapan bubur gandum dengan ikan bakar, mereka bersiap-siap untuk melanjutkan pelayaran. Kedua tenda dikemaskan, lalu berlima mereka naik ke atas perahu motor. Perahu itu diberi nama Lucky Star. Menurut anak-anak, nama itu bagus sekali. Artinya 'Bintang Mujur’. Kiki tidak disukai nelayan tua yang menjadi tuan rumah mereka malam itu, begitu pula istrinya. Keduanya seumur hidup belum pernah melihat burung kakaktua. Mereka tidak habis heran, melihat ada burung bisa berbicara. Keduanya memperhatikan Kiki dengan perasaan kagum bercampur takut. Kelihatannya mereka takut melihat paruh Kiki yang bangkok dan runcing itu. "Hidup Raja," oceh Kiki, yang berdasarkan pengalaman tahu bahwa kebanyakan orang senang mendengar kata-kata itu. Tapi ia langsung menambahkan dengan, "Tus — raja meletus, tus-tus—tus!" Kini burung iseng itu sudah berada kembali di atas perahu motor yang saat itu meluncur di atas permukaan air yang biru. Hari itu langit kembali nampak biru cerah, sementara matahari memancarkan Sinarnya yang panas. Cuaca saat itu benar-benar merupakan cuaca bulan Mei — cuaca yang membuat laut nampak biru bening dan berkilau-kilauan. "Aku masih selalu berperasaan indah seperti kemarin," kata Lucy-Ann senang. Ia menjulurkan tangannya ke sisi perahu, masuk ke dalam laut. Dirasakannya air yang sejuk dan lembut seperti sutra membelai jari-jarinya dan menarik ke belakang. "Sekarang kita mencari pulau-pulau tempat kediaman burung. Hari ini kita akan menjumpai beberapa di antaranya — ya kan, Bill?" "Pasti," kata Bill. Ia menambah laju perahu motor itu sedikit. Ombak memercik, membasahi semua yang ada di atas perahu. "Uuuh, sedap!" seru Dinah. "Aku memang sedang kepanasan. Percikkan tadi menyegarkan tubuhku. Ayo, Bill —— kencangkan lagi lari perahu ini! Aku tidak keberatan tersiram percikkan air seperti tadi." Selama lima jam mereka meluncur di atas air. Tiba-tiba Jack berseru dengan girang. "Itu dia - pulau-pulaunya!" seru Jack. "Lihatlah! Itu — nampak jauh di garis horizon – kelihatannya seperti gumpalan—gumpalan kecil! Pasti itu dia pulau-pulau yang kita cari!" Saat itu anak-anak mulai melihat burung-burung yang beraneka ragam jenisnya, terbang di udara dan sebagian mengapung-apung di permukaan air. Jack menyerukan nama jenis-jenis burung itu dengan bersemangat. Philip tidak mau ketinggalan. Begitu senang mereka melihat burung-burung laut yang hidup di alam liar itu sehingga nyaris saja terjatuh ke air karena tidak hati-hati. Banyak di antara burung-burung itu kelihatannya sama sekali tidak takut pada perahu yang berbunyi berisik. Mereka tetap saja terapung-apung di air - seolah-olah hanya dengan segan saja agak menyingkir saat perahu lewat di tempat mereka. "Itu ada burung shag sedang menyelam," seru Jack. "Lihatlah — nampak dari sini, bagaimana ia berenang dalam air. Nah — ia berhasil menangkap ikan. Ya — sekarang ia timbul lagi ke permukaan. Kikuk sekali kelihatannya bergerak hendak terbang. Aduh — sayang kamera fotoku belum kusiapkan." Kiki memperhatikan burung-burung sebanyak itu dengan pandangan marah. Burung kakaktua itu tidak senang melihat Jack tiba-tiba begitu tertarik perhatiannya pada burung—burung lain. Ketika seekor burung camar yang besar melayang dengan santai tepat di atas perahu motor, dengan cepat Kiki melesat terbang ke bawah burung itu. Kiki menjerit keras-keras, lalu berjungkir balik di udara. Camar besar itu kaget. Ia mengepakkan sayapnya yang kuat sehingga tubuhnya membubung tegak lurus ke atas. Ia berteriak untuk menyatakan kekagetannya. Kiki menirukan teriakan camar itu. Bunyinya persis sama. Camar yang menyangka Kiki pasti masih kerabatnya — walau dari jenis yang tak dikenal — terbang memutar. Setelah itu ia menghunjam, hendak menyambar Kiki. Tapi burung kakaktua itu tidak kalah gesit. Ia memutar tubuh, lalu turun dan hinggap di atas bahu Jack. Dari tempat yang aman itu ia berteriak, seolah-olah menantang, sambil menirukan bunyi camar tadi. Camar yang diejek melirik dengan sikap sangsi. Setelah itu ia terbang menjauh. Pasti ia merasa heran — camar jenis apa itu, yang tingkah lakunya begitu aneh. "Kau ini memang burung goblok, Kiki," tukas Jack. "Awas, kapan-kapan kau akan disambar camar dan dimakan habis olehnya." "Kiki malang," kata kakaktua itu, lalu menirukan suara orang mengerang. Bill tertawa. "Tak bisa kubayangkan apa yang akan dilakukan Kiki nanti apabila kita melihat burung-burung puffin yang berkeliaran dengan langkah sempoyongan di antara semak-semak dan rerumputan pantai," katanya. "Kurasa, mereka pasti akan kerepotan dirongrong terus 0Ieh burung konyol ini.” Semakin banyak burung-burung nampak di sekeliling, sementara perahu semakin mendekati pulau yang paling dekat. Ada yang melayang dengan anggun mengikuti arus angin, ada yang menukik untuk menyambar ikan, dan ada pula yang terangguk-angguk di atas permukaan air seperti bebek mainan. Bermacam ragam suara terdengar, campur aduk. Ada yang melengking, ada yang parau, ada yang seperti sedih dan pilu. Semuanya menimbulkan perasaan menggelora dalam sanubari anak-anak. Tapi kemudian mereka terdiam ketika pulau itu dihampiri. Suatu tebing yang tinggi dan terjal menjulang di depan mata. Tebing itu penuh dengan burung—burung, dari dasar sampai ke puncaknya! Anak-anak memandang dengan asyik. Burung — ke mana saja mereka memandang, hanya burung saja yang nampak. Di setiap bagian yang agak menonjol pasti ada burung hinggap. Begitu banyak jenisnya sampai anak-anak tidak mampu membedakan satu dari yang lainnya, walau sampai bermenit-menit mereka memperhatikan dengan teropong. "Bukan main sibuknya mereka, pergi dan datang!" kata Bill yang ikut memandang dengan kagum. Memang, suasana di tebing itu luar biasa sibuknya. Di samping burung-burung yang berdiri di bagian-bagian yang menonjol, selalu ada saja lain-lainnya yang datang dan pergi. Semua serba sibuk sambil berteriak hingar-bingar. "Mereka kelihatannya tidak terlalu hati-hati dengan telur-telur mereka," kata Lucy-Ann dengan cemas ketika ia mendapat giliran memperhatikan dengan teropong milik Jack. Burung-burung sembrono itu terbang dan pergi dengan seenaknya saja, sehingga kadang-kadang ada telur yang tersenggol lalu jatuh terbanting di atas karang yang terdapat di dasar tebing. "Tidak apa, karena mereka masih bisa bertelur lagi," kata Jack. "Ayo, Lucy-Ann — kembalikan teropongku itu! Aduh, bukan main hebatnya pemandangan ini! Nanti malam akan kutuliskan segala-galanya dalam buku catatanku." Perahu motor itu bergerak dengan hati-hati mengitari tebing berbatu-batu. Bill tidak lagi memperhatikan burung-burung. Perhatiannya beralih pada batu-batu karang yang runcing-runcing itu. Setelah tebing terjal dilewati, nampak garis pantai lebih melandai. Bill melihat suatu tempat yang kelihatannya cocok untuk berlabuh. Tempat itu sebuah teluk kecil yang terlindung dan berpantai pasir. Bill mengarahkan haluan perahu ke tepi lalu mencecahkannya dengan pelan ke pasir. la melompat turun bersama Jack dan Philip lalu mengamankan perahu dengan jalan menarik tali jangkar ke atas pantai lalu menancapkan jangkar ke dalam pasir. "Inikah tempat yang akan kita jadikan pangkalan kita?" tanya Dinah sambil memandang berkeliling. "Wah, jangan," kata Jack dengan segera. "Kita kan masih hendak menjelajah perairan sini dulu untuk mencari pulau tempat kediaman burung-burung puffin. Ya kan, Bill? Aku kepingin berada di tengah-tengah kepulauan burung ini supaya bisa dengan seenaknya pergi dari pulau yang satu ke pulau berikutnya. Tapi kita bisa saja tinggal malam ini di sini. Ya, kan?" Bagi Jack, Philip, Dinah, dan Lucy-Ann hari itu sangat menyenangkan. Begitu pula halnya bagi Bill. Diiringi beribu-ribu burung yang beterbangan sambil berteriak-teriak di atas kepala, tapi kelihatannya tanpa rasa takut sama sekali, anak-anak pergi mendaki tebing terjal yang mereka lihat dari sisi lain pulau itu. Di mana-mana burung bersarang dengan begitu saja di tanah. Kadang-kadang sulit sekali rasanya melangkah tanpa mengganggu burung yang sedang duduk atau menginjak telur yang terletak di tanah. Beberapa ekor burung melakukan gerakan seolah-olah hendak mematuk kaki anak-anak. Tapi tidak seorang pun benar-benar kena patukan. Burung-burung itu ternyata hanya menggertak elaka. Kiki tidak terdengar ocehannya. Burung itu bertengger di bahu Jack dengan kepala tertarik ke bawah. Burung sebanyak itu rupanya membingungkan dirinya. Tapi Jack tahu, Kiki pasti sebentar lagi sudah pulih dari kebingungannya, lalu mengejutkan burung-burung di sekitarnya dengan suruhan agar membersihkan kaki dan menutup pintu. Akhirnya anak-anak sampai di puncak tebing. Nyaris tuli mereka rasanya, karena bising mendengar jerit dan teriakan yang membahana di sekeliling mereka. Burung-burung terbang membubung dan hinggap di tanah, melayang-layang membuat berbagai pola yang tak kenal habis di langit yang biru. "Ajaib — tak sekali pun terjadi benturan sesama mereka," kata Lucy-Ann kagum. "Sedari tadi kuperhatikan, tapi belum kulihat ada dua ekor burung bertubrukan." "Mungkin di antara mereka ada polisi lalu lintas," kata Philip dengan serius. "Siapa tahu, mungkin di antara burung-burung itu ada yang memiliki surat izin terbang di bawah sayap." "Tidak lucu, ah," tukas Lucy-Ann. "Tapi walau begitu mereka hebat — tidak pernah saling bertubrukan, walau jumlahnya di sini pasti ribuan ekor. Huhh — bisingnya! Aku nyaris tidak bisa mendengar kata-kataku sendiri." Mereka sampai di tubir tebing. Bill memegang lengan Lucy-Ann. "Jangan terlalu dekat ke tepi," kata Bill memperingatkan. "Sisi tebing di sini nyaris tegak lurus ke bawah." Memang begitulah keadaannya. Anak-anak merebahkan diri, berbaring menelungkup. Setelah itu dengan hati-hati mereka memandang ke bawah tebing. Hihh — seram rasanya melihat laut berada begitu jauh di bawah, melihat ombak bergerak pelan ke tepi lalu mundur lagi ke tengah. Ombak memecah diiringi bunyi gemuruh yang hanya terdengar samar-samar saja. Tanpa sadar, Lucy-Ann mencengkeram gumpalan rumput pantai yang tumbuh di dekatnya. "Aku rasanya seperti goyah," katanya sambil tertawa. "Aku merasa harus berpegangan kuat-kuat. Aku seperti terjungkir balik saat ini." Mendengar kata-katanya itu, Bill cepat-cepat memegangnya erat-erat. Ia tahu bahwa Lucy-Ann merasa gamang. Bill tidak ingin terjadi sesuatu dengan anak itu. Anak-anak semua disayangi olehnya, tapi kesayangannya yang utama adalah pada Lucy-Ann. Anak-anak mengamat-amati tingkah laku burung-burung di bawah mereka, yang tidak henti-hentinya terbang pergi dan datang dari dan ke tonjolan-tonjolan sempit yang terdapat pada sisi tebing terjal. Pemandangan yang mereka saksikan benar-benar menyenangkan. Sambil memperhatikan dengan teropong, Jack tertawa geli melihat ulah burung-burung yang saling bertengkar dan mendorong pada tonjolan-tonjolan tebing yang sangat sempit. "Persis anak-anak nakal," katanya. "Saling menyuruh teman agar bergeser sedikit apabila tidak ingin didorong sampai jatuh — dan kemudian benar-benar ada yang terdorong dari tempatnya. Tapi tak apa — dengan segera yang terdorong itu mengembangkan sayap, dan meluncurlah ia dengan anggun dibawa angin. Wah — aku mau menjadi burung laut. Kan enak, bisa berjalan menyusur pantai, atau terapung-apung di atas ombak, atau menyelam menangkap ikan, atau melayang jauh sekali di atas angin yang bertiup. “Aku mau menjadi..." "Apa itu?" kata Philip dengan tiba-tiba. Ia mendengar bunyi yang bukan ditimbulkan oleh burung—burung yang banyak itu. "Coba dengar! Itu kan suara pesawat terbang!" Sambil memasang telinga, semua memicingkan mata — berusaha melihat. Langit cerah menyilaukan. Tapi akhirnya mereka berhasil melihat sesuatu. Jauh sekali di angkasa nampak sebuah bintik kecil yang bergerak dengan kecepatan tetap. Mereka mendengar bunyi dengung mesin pesawat. "Pesawat terbang! Aku sama sekali tak menduga akan ada yang melintas di sini, karena ini tidak termasuk jalur penerbangan tetap," kata Bill. Bab 9 TIBA DI PULAU PUFFIN Bill nampaknya heran melihat anak-anak memandangnya dengan tercengang. Apa anehnya melihat pesawat di situ, walau pulau-pulau burung itu terpencil letaknya? Bill meminjam teropong Jack. Tapi sudah terlambat — ia tidak bisa mengenali apa-apa lagi, walau mengamat-amati dengan bantuan alat pembesar itu. "Tadi itu pesawat amfibi atau pesawat biasa, ya?" katanya setengah pada diri sendiri. "Aneh!" "Apanya yang aneh?" tanya Dinah. "Dewasa ini, pesawat terbang kan sudah biasa terbang ke mana saja." Bill tidak mengatakan apa-apa lagi. Dikembalikannya teropong yang dipinjamnya dari Jack. "Kurasa sebaiknya kita makan saja dulu — lalu setelah itu memasang tenda," kata Bill. "Bagaimana jika memasangnya dekat sungai kecil tadi yang kita lihat sewaktu berangkat kemari? Letaknya sekitar seperempat mil dari pantai. Jarak itu tidak terlalu jauh apabila kita semua. gotong-royong mengangkut barang-barang kita." Akhirnya mereka memasang tenda-tenda dulu. Alas dihamparkan di tanah, dan setelah itu dilapisi dengan selimut-selimut tebal. Setelah pekerjaan itu selesai, berlima mereka makan sambil duduk-duduk di suatu lereng yang agak landai, menghadap ke laut biru. "Aku selalu merasa," kata Lucy-Ann sambil mengunyah makanan yang terdiri dari roti kering rangkap dua dan diisi dengan mentega dan keju lunak, "aku selalu merasa..." "Sudah, tidak perlu kaukatakan lebih lanjut," kata Jack. "Kami tahu apa yang hendak kaukatakan, dan kami memang sependapat denganmu." "Mana mungkin kau tahu apa yang hendak kukatakan," kata Lucy-Ann tersinggung. "Tahu saja," kata Philip. "Kau selalu mengatakannya saban kali kita makan-makan di luar pada waktu berlibur." "Kau tadi hendak mengatakan, 'Aku selalu merasa makanan rasanya lebih enak jika dimakan di luar rumah,` — ya, kan?" kata Dinah. "Ya, betul," kata Lucy-Ann mengaku. "Masa aku selalu berkata begitu? Tapi kataku itu benar, kan? Aku memang merasa..." "Ya, ya -- kita semua sudah tahu," kata Jack. "Kau ini gemar sekali mengulang-ulang, Lucy-Ann. Selalu yang itu-itu saja kaukatakan pada kami. Tapi tidak apa, kami pun berpendapat begitu — walau tidak mengatakannya berulang kali. Heh, Kiki! Jangan kau udap keju lunak itu! Lihatlah, paruhmu berlumur keju." "Kiki memang keterlaluan," tukas Dinah. "Sudah tiga potong biskuit dicopetnya. Kau kurang banyak memberinya biji bunga matahari, Jack!" "Siapa bilang?!" balas Jack. "Tapi kalau ada hidangan seperti begini, mana mau Kiki makan biji bunga matahari. Bahkan melihatnya saja pun sudah enggan! Tapi tikus-tikus putihmu masih ada, Philip. Biar mereka saja yang memakan. Tadi aku menemukan Pencicit dalam kantongku sedang asyik memakan sebuah biji bunga matahari." "Asal ia jangan sakit saja karenanya," kata Philip dengan agak cemas. "Ha! Lihatlah — ada burung camar datang. Wah, jinak sekali! Kurasa ia juga ingin diberi biskuit." Ternyata memang demikian. Burung itu melihat Kiki mematuk-matuk sekeping biskuit. Kelihatannya enak sekali. Karena itu ia pun minta bagian. Kiki melihat camar itu datang dari sudut matanya, lalu beringsut menjauh. Tapi dengan sekali sambar saja camar berhasil merebut biskuit. Burung nakal itu langsung terbang membubung sambil memperdengarkan suara seperti tertawa. Kedengarannya seperti mengejek. Kiki marah lalu terbang mengejar sambil mengata-ngatai camar yang menyambar biskuitnya. Kata-kata yang dilontarkannya kasar sekali. Tapi sial baginya, camar yang dikata-katai tidak memahami bahasa manusia. Kiki tidak berhasil mengejar camar yang bersayap kuat itu. Akhirnya ia kembali dengan lesu ke tempat anak-anak duduk. "Jangan mengomel, Kiki!" kata Jack. "Kau tadi memang tidak boleh mencopet biskuit dari kaleng - sedang camar itu juga tidak boleh merampasnya dari mu. Jadi kalian berdua sama-sama salah!" "Sayang, sayang!" oceh Kiki. Tapi sementara itu ia sudah beringsut-ingsut lagi menghampiri kaleng biskuit. "Kiki ini benar-benar badut," kata Bill sambil mengibas-ngibaskan baju hangatnya yang kotor karena remah-remah makanan. "Nah — sekarang siapa mau ikut kembali ke perahu motor untuk mendengarkan kabar terbaru lewat radio? Kecuali itu aku juga harus mengirim kabar — terutama untuk ibu kalian, Philip. Ia pasti ingin tahu, apakah kita sudah sampai dengan selamat di sini." Anak-anak semuanya ingin jalan-jalan sebentar setelah kenyang makan. Karenanya mereka beramai-ramai berjalan ke pantai, melalui hamparan rumput pantai yang empuk seperti permadani, dengan bunga-bunganya yang merah muda terangguk-angguk ditiup angin. Sesampai di perahu mereka memperhatikan Bill menegakkan antena pesawat radionya lalu memutar-mutar tombol. Pesawat itu di samping menerima siaran juga bekerja sebagai pemancar. "Kurasa jika Anda mengirim kabar setiap malam ke rumah, kami tidak perlu lagi berkirim surat pada Bibi Allie," kata Lucy-Ann. Semua yang mendengar kata-katanya itu langsung tertawa terbahak-bahak. "Mengirim surat? Kau mau mengeposkannya di mana, he?" tanya Jack. "Di sekitar sini aku sama sekali tidak melihat kotak pos. Aduh, Lucy-Ann — kau ini benar-benar anak goblok!" "Ya, memang," kata Lucy-Ann. Mukanya merah padam karena malu. "Tentu saja kita tidak bisa berkirim surat di sini! Untung Anda dapat mengirim berita lewat pesawat radio Anda, Bill! Dengan begitu jika salah seorang dari kita memerlukan bantuan, Anda dapat mengusahakannya." "Betul," kata Bill. "Tapi jika ada di antara kalian yang perlu bantuan, mudah-mudahan aku bisa mengantarkan dengan perahu motor. Pokoknya, aku takkan mau mengajak kalian pergi ke tempat terasing seperti di sini jika aku tidak mendapat perlengkapan pemancar, supaya aku bisa mengirim kabar setiap malam. Aku mengirimkannya ke markas besar, dan dari situ kabar itu diteruskan lewat telepon pada Bibi Allie. Dengan begitu setiap malam ia bisa mendengar berita terbaru tantang perjalanan dan pengalaman kita." Anak-anak memandang kesibukan Bill, lalu mendengarkan sebagian dari suatu acara siaran. Tahu—tahu Lucy-Ann menguap, dan langsung ditirukan olah Kiki. "Sialan! Kau ini membuat aku ikut-ikutan mengantuk," kata Dinah sambil mengusap-usap matanya. "Wah — hari sudah mulai gelap." Beramai-ramai mereka kembali ke tempat berkemah. Tidak lama kemudian semua sudah berbaring di bawah selimut. Dari arah tebing dan laut tak henti-hentinya terdengar suara bising burung-burung. "Kurasa sepanjang malam mereka tidak ada yang tidur," pikir Dinah. Tapi dugaannya itu meleset. Burung-burung itu diam ketika hari sudah benar-benar gelap. Rupanya mereka tidur juga. Keesokan harinya hawa terasa panas dan pengap. "Kelihatannya tidak lama lagi akan datang hujan badai," kata Bill. Ia memicingkan mata, menatap langit yang nampak masih cerah. "Kurasa kita perlu mencari tempat untuk dijadikan pangkalan hari ini juga, supaya ada tempat berlindung apabila benar-benar ada badai nanti. Liburan macam begini seharusnya disertai cuaca yang bagus. Badai sama sekali tidak menyenangkan apabila tempat berteduh hanya berupa tenda. Pasti segala-galanya akan diterbangkan angin." "Aku masih ingin membuat beberapa foto dari tebing-tebing sini serta burung-burung yang ada di situ," kata Jack. "Aku akan cepat-cepat membuatnya sementara kalian membongkar tenda. Kalian tidak keberatan kan jika sekali ini aku tidak membantu?" Tidak ada yang merasa keberatan. Karena itu bersama Kiki, Jack pergi ke atas tebing yang terjal. Bill berseru untuk memperingatkan agar jangan mencoba-coba menuruni dinding tebing. Sambil berjalan terus, Jack menjawab bahwa hal itu takkan dilakukan olehnya. Dengan segera barang-barang sudah dikemaskan dan diangkut kembali ke perahu motor yang sementara itu sudah terapung—apung di air. Saat itu air laut sedang pasang baik. Selesai memuat barang-barang ke perahu, Bill serta anak-anak menunggu Jack kembali. Tidak lama kemudian anak itu muncul. Wajahnya bersari-seri. "Aku berhasil membuat beberapa foto yang bagus," katanya. "Tadi Kiki besar sekali bantuannya. Aku menyuruhnya mondar-mandir di depan burung-burung itu. Semua terdiam, karena heran melihat burung yang bagi mereka asing itu. Tepat pada saat itu aku menjepretkan kameraku. Burung-burung itu kupotret dalam keadaan tidak bergerak sama sekali. Pasti ada beberapa yang berhasil baik." ”Bagus!" kata Bill. Ia tersenyum melihat Jack begitu bersemangat. "Nanti kau harus menerbitkan buku foto-foto burung. Judulnya, Karya-karya Besar oleh Jack Trent, harga tiga puluh shilling." "Boleh juga," kata Jack dengan mata bersinar-sinar. "Bukan harga tiga puluh shilling itu maksudku, tapi menerbitkan buku mengenai burung dengan namaku sebagai penyusun." "Ayo, sudahlah — cepat naik,” kata Philip tidak sabar lagi, karena Jack masih saja berdiri di tapi perahu. "Kita harus cepat-cepat berangkat. Panas sekali hawa sekarang! Aku kepingin cepat-cepat berada di tengah laut lagi, supaya bisa kurasakan hembusan angin di mukaku sementara perahu kita melaju terus.” Tidak lama kemudian semua bisa menarik napas lega, karena angin laut sudah terasa lagi membelai wajah. Hawa hari itu memang panas sekali mengingat waktu itu masih musim semi. Kapal meluncur laju di atas air terlambung-lambung sedikit saat melanda ombak Lucy-Ann merendamkan tangannya lagi ke dalam air. Sejuk sekali rasanya. Enak! "Aku kepingin sekali bisa mandi sekarang," kata Philip. Nampak keringat berbintik-bintik di sekeliling hidungnya. "Bagaimana jika Anda hentikan perahu, Bill — supaya kita bisa berenang?" "Tunggu saja dulu sampai kita sudah tiba di suatu pulau," kata Bill. "Aku enggan menghentikan perahu kita ini di tengah laut. karena kelihatannya tidak lama lagi akan ada badai. Hawa begini panas — kurasa pasti akan terjadi badai disertai kilat sambar-menyambar. Sebelumnya, aku ingin sudah menemukan tempat berteduh. Nah — di depan sana sudah nampak pulau-pulau lagi. Coba kita teliti, barangkali ada pulau yang didiami burung-burung puffin. Itu yang kalian cari, kan?" Lucy-Ann masih membiarkan tangannya terjulur , ke dalam air. Tiba-tiba ia merasa ada sesuatu menyentuh jari-jarinya. Dengan heran ia memandang ke air sementara tangannya cepat-cepat ditarik ke atas. Ia takut kalau-kalau yang tersentuh itu ubur-ubur. Ia semakin heran ketika melihat bahwa benda itu kulit jeruk yang sementara itu sudah menjauh lagi dibawa air. Ia memanggil Bill, "Lihat Bill — itu ada sepotong kulit jeruk. Siapa yang memakan jeruk di pulau-pulau sini? Tempat ini kan jauh dari mana-mana! Mungkinkah di sekitar sini ada lagi pengamat burung selain kita?" Semua memandang potongan kulit jeruk yang sementara itu sudah hanyut semakin jauh ke belakang. Memang — aneh sekali rasanya melihat ada kulit jeruk di tempat itu. Bill memandang dengan kening berkerut. Katakanlah ada nelayan di pulau-pulau yang hendak mereka datangi — tapi kecil sekali di tempat mereka ada jeruk. Sedang pengamat alam, kecil sekali kemungkinannya membawa bekal jeruk. Kalau begitu — kenapa ada kulit jeruk di tempat itu? Tidak ada kapal yang melintas dekat pulau-pulau itu. Perairan situ jarang didatangi orang, karena kecuali letaknya yang terpencil, keadaannya juga sangat liar. Sering dengan tiba-tiba terjadi badai di situ, yang menimbulkan ombak setinggi rumah. "Ah, entahlah!" kata Bill setelah berpikir-pikir agak lama. "Mungkin saja sesudah ini kita akan melihat nenas terapung-apung di air! Tapi lihatlah — itu ada sebuah pulau. Kelihatannya agak datar — jadi mungkin saja di situ ada burung puffin. Bagaimana jika kita ke sana saja?" "Jangan dulu — sebelumnya kita melihat-lihat pulau lain—lainnya dulu," kata Jack meminta. "Lumayan juga banyaknya di perairan sini." Mereka masih pesiar sebentar, melihat-lihat pulau demi pulau. Akhirnya mereka menghampiri sebuah pulau yang bertebing terjal sisi timurnya. Tanah menurun dari tempat itu sampai ke semacam lembah. Dari situ tanah menanjak lagi dan berakhir di tebing kembali. Jack mengamat-amati pulau itu dengan teropongnya. Ia berseru dengan bersemangat ketika melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. "Burung puffin! Banyak sekali! Kau bisa melihat mereka, Philip? Kurasa pulau itu penuh dengan sarang mereka di tanah. Di sini saja kita mendarat, Bill. Di tebing banyak burung-burung lain, sedang di pedalaman ada beratus-ratus burung puffin. Pulau ini lumayan besarnya. Mungkin di situ kita dapat menamukan tempat berteduh yang baik, dan juga air. Di sisi timur dan barat ada tebing yang melindungi kita dari serangan badai. Hore, untuk Pulau Puffin!" "Setuju," kata Bill. Sambil mengemudikan perahu menuju pulau yang dipilih itu, ia memandang berkeliling dengan cermat. Tidak jauh dari situ ada pulau-pulau lain. Tapi dari hasil pengamatannya ia menarik kesimpulan bahwa penghuni pulau-pulau itu hanya burung saja. Perairan di antara pulau-pulau berombak kecil. Perahu motor dikemudikan oleh Bill mengitari pulau yang oleh Jack diberi nama Pulau Puffin. "Ini ada tempat bagus untuk berlabuh, Bill," seru Philip pada suatu saat. "Lihatlah — lewat celah itu kita bisa masuk ke dalam sampai ke dekat tebing. Air di situ pasti dalam. Perahu bisa kita tambatkan ke batu. Kita pasang saja bantalan supaya sisi perahu tidak rusak kena batu." Perahu motor diarahkan masuk ke celah yang dimaksudkan oleh Philip. Tempat itu ternyata memang dalam. Suatu pelabuhan alam yang kecil. Di situ juga ada bagian tebing yang datar dan rendah, di mana perahu bisa disandarkan. Apa lagi yang kurang? Hidup Pulau Puffin! Bab 10 MEMERIKSA LOKASI "Bagus kan tempat ini?" kata Jack, sementara perahu dengan perlahan-lahan memasuki pelabuhan kecil buatan alam itu. Tidak banyak ruang tersisa antara sisi perahu dan dinding tebing yang membatasi terusan yang dilalui. "Seakan—akan ini tempat berlabuh khusus untuk Lucky Star." Bill meloncat dari perahu ke batu datar yang ternyata cocok sekali dijadikan tempat pendaratan. Tebing batu menjulang lurus di atas kepala, pada kedua tepi air. Pada t0nj0lan-tonjolan sempit yang terdapat pada permukaan kedua tebing nampak banyak sekali burung-burung bertengger berjejer-jejer. Saban kali ada saja telur jatuh, terdorong burung-burung sembrono itu. Sebutir telur jatuh dekat Bill. Kakinya kena kuning telur. "Bidikan kalian hebat!" seru Bill pada burung-burung yang terbang berputar-putar di atas. Anak—anak tertawa mendengar kelakarnya itu. Perahu ditambatkan ke sebuah batu besar yang ada di dekat situ. Ombak bergerak keluar masuk celah sempit, menyebabkan perahu terangguk-angguk. "Saat ini laut sedang pasang naik," kata Bill. "Nanti kalau surut lagi, dalam celah ini air masih akan cukup dalam. Tapi letak perahu akan sangat menurun. Nah — adakah jalan naik ke atas tebing dari sini? Jangan sampai kita harus menyusur kakinya dan memanjat-manjat untuk melewati beratus-ratus batu besar sebelum bisa benar-benar sampai di pulau." Semuanya memandang berkeliling. Jack lari ke bagian yang tinggi dari batu besar tempat mereka berada saat itu. Sesampai di situ ia langsung berpaling. "He!" serunya. "Kita bisa naik lewat sini! Di sebelah sini permukaan tebing lebih kasar, ada bagian-bagian menonjol membentuk anak tangga menuju ke atas. Sedang di atas sana tebing bercelah. Kurasa kita bisa memanjat sampai ke atas!" "Kalian berempat sajalah yang pergi dulu," kata Bill. "Aku tinggal di sini. Sisi perahu perlu diberi bantaian supaya jangan sampai rusak terbentur ke batu. Kalian periksa saja keadaan pulau. Cari kalau ada teluk yang terlindung tempatnya. Nanti kubawa perahu kita ke sana." Philip, Dinah, dan Lucy-Ann turun dari perahu lalu menyusui Jack Kiki terbang mendului sambil berteriak-teriak seperti burung camar. Sementara itu Jack mendaki paling depan, bergerak naik dari tonjolan batu yang satu ke tonjolan berikut. Tonjolan-tonjolan itu kelihatannya seperti jenjang raksasa yang ditatah oleh ombak laut yang mengganas saat musim dingin dari abad ke abad. Dugaan Jack tadi ternyata benar. Di sebelah atas, pada permukaan tebing ada celah yang ditimbulkan oleh bagian tebing yang gugur. Celah itu seperti lembah, walau masih cukup terjal. Dengan susah payah anak-anak berjalan melewati bagian itu. Mereka kehabisan napas ketika sampai di puncak tebing. Tapi pemandangan yang nampak dari situ menyebabkan mereka lupa akan segala jerih payah. Di sekeliling pulau nampak laut terbentang biru cerah. Langit di atas kepala kelihatan tak berbatas. Ke mana pun mata memandang, selalu nampak pulau-pulau samar kebiruan karena jauhnya. Kelihatannya di situ terdapat semacam kepulauan — dan pulau mereka terletak di tengah-tengahnya. Tiba-tiba anak-anak dikejutkan teriakan Jack. "Burung-burung puffin!" serunya. "Lihatlah — beratus-ratus!" Anak-anak yang lain memandang ke arah tudingan Jack. Benarlah — di sela rerumputan pantai nampak burung-burung yang aneh sekali tampangnya. Burung-burung itu berbulu belang hitam dan putih. Sedang kaki mereka berwarna oranye. Tapi paruh mereka yang luar biasalah yang menarik perhatian anak-anak. "Coba lihat warna paruh mereka!" kata Dinah sambil tertawa. "Pangkalnya biru — lalu bersetrip-setrip merah dan kuning!" "Dan besarnya bukan main!" seru Lucy-Ann. "Aku jadi teringat pada paruh Kiki." "Burung-burung puffin juga dinamakan nuri laut," kata Jack. Ia geli melihat gerombolan puffin yang bersikap seperti serius sekali. "Cocok kalau begitu, karena kakaktua pun termasuk keluarga nuri," kata Lucy-Ann lagi. "Mata mereka jenaka sekali," kata Philip. "Lihatlah — mereka menatap kita tanpa berkedip! Dan lihat cara mereka berjalan — begitu tegak!" Memperhatikan burung-burung puffin sama asyiknya seperti menonton pertunjukan pantomim. Ada beratus-ratus, bahkan beribu-ribu burung di situ. Sejumlah di antaranya hanya berdiri saja, sambil memperhatikan burung yang bersebelahan dengan serius. Ada pula yang berkeliaran, berjalan terhuyung-huyung seperti pelaut. Ada pula yang terbang — kelihatannya seperti pesawat terbang mini, bergegas hendak turun ke laut. "Lihat! - burung yang satu itu, apa yang sedang dikerjakannya?" tanya Lucy-Ann. la melihat seekor puffin sibuk mengais-ngais tanah. "Kurasa sedang menggali lubang untuk dijadikan sarang," kata Dinah. "Burung-burung ini bersarang dalam tanah kan, Jack?" "Betul! Pulau ini pasti sudah penuh dengan liang sarang burung puffin, " kata Jack. Ia menghampiri gerombolan burung yang sedang sibuk. "Yuk, kita dekati mereka. Kiki, kau tetap di bahuku, ya! Aku tidak mau kau nanti menjerit-jerit seperti lokomotif. Nanti burung-burung itu takut, lalu lari." Kiki tertarik sekali melihat burung-burung puffin yang nampak jenaka itu. Dengan segera ia sudah dapat menirukan bunyi mereka dengan tepat. "Rrrrr!" bunyi suara burung-burung itu. Dan, "rrrr," oceh Kiki menirukan mereka. Beberapa ekor puffin menoleh ke arahnya dengan pandangan seolah-olah hendak bertanya. Anak-anak gembira sekali melihat burung-burung puffin itu, tidak sedikit pun kelihatan takut. Mereka bahkan tidak menyingkir ketika anak-anak datang mendekat. Mereka biarkan saja keempat anak itu berjalan di antara mereka. Memang, seekor di antara. mereka berlagak hendak mematuk kaki Philip ketika anak itu tersandung dan hampir saja terjatuh menimpanya. Tapi sama sekali tidak ada yang benar-benar menyerang dengan paruh mereka yang nampak kokoh. "Asyik!" kata Lucy-Ann sambil mengamat-amati burung-burung aneh itu dari dekat. "Benar-benar asyik. Tak kusangka burung-burung yang hidup di alam bebas bisa begini jinak." "Mereka tidak jinak," kata Jack. "Burung-burung ini liar. Tapi karena tidak biasa melihat manusia, mereka sama sekali tidak takut pada kita." Anak—anak meneruskan langkah. Sambil berjalan, sekali-sekali kaki mereka terbenam ke dalam tanah. Rupanya di bawah ada liang sarang, dan injakan kaki mereka menyebabkan tanah gugur ke dalam lubang itu. "Tempat ini benar—benar penuh dengan liang sarang mereka," kata Philip. "Baunya di sini tidak enak, ya?" Memang — tempat itu tidak enak baunya. Jack dan Philip dengan cepat sudah terbiasa dengannya. Tapi Dinah dan Lucy-Ann tidak. "Huh!" kata Lucy-Ann sambil mengernyitkan hidung. "Baunya makin lama makin payah. Lebih baik tenda kita nanti tidak kita pasang terlalu dekat pada burung—burung ini- bau di sini sama tidak enaknya seperti di kandang babi!" "Jangan rewel," tukas Jack. "He, Kiki! Ayo — ke sini!" Tapi Kiki sudah terbang dari bahunya. Ia hinggap di tanah, dekat burung-burung puffin. Burung-burung itu menatapnya dengan serius. "Rrrrr!" sapa Kiki dengan hormat. "Rrrrr! Hidup Raja!" "Rrrr!" jawab seekor puffin. Burung itu berjalan terhuyung-huyung menghampiri Kiki. Kedua burung itu saling berpandang-pandangan. "Kurasa sebentar lagi Kiki pasti mengatakan, Apa kabar?` pada teman barunya," kata Dinah sambil tercekikik geli. "Keduanya kelihatan begitu serius." "Jerangkan air!" kata Kiki. "Rrrr," sahut burung puffin lalu terhuyung-huyung kembali ke liangnya. Kiki mengikutinya. Tapi ternyata dalam liang itu ada puffin lain yang tidak menghendaki kedatangan Kiki. Sesaat kemudian terdengar Kiki menjerit kesakitan. Detik itu juga burung kakaktua iseng itu melesat ke luar lubang, jauh lebih cepat dari pada masuknya tadi. Dengan segera ia terbang kembali ke bahu Jack. "Kasihan Kiki, sayang, sayang!" keluhnya. "Salahmu sendiri — siapa yang menyuruhmu terlalu ingin tahu!" tukas Jack sambil melangkah maju. Ia menginjak segumpal rumput pantai. Rumput itu langsung amblas, dan tahu-tahu kaki Jack terperosok ke dalam lubang yang dalam. Puffin yang tinggal di situ rupanya tidak suka pada kaki Jack. Kaki itu dipatuknya keras-keras. "Aduh!" Jack terduduk, lalu menggosok-gosok kakinya yang sakit. "Lihatlah — nyaris saja daging betisku sobek dipatuknya!" Anak-anak berjalan lagi di tengah-tengah kawanan puffin yang menakjubkan. Di mana-mana nampak burung-burung itu; di tanah, di udara — dan bahkan juga di atas air! Di mana-mana terdengar saruan mereka, "rrrrr", "rrrrr". "Wah — aku akan bisa membuat foto-foto yang indah nanti," kata Jack senang. "Sayang saat ini belum masanya telur-telur ditetaskan. Bahkan kurasa telur puffin pun saat ini belum banyak." Kebanyakan burung nuri laut itu tinggal di lembah kecil yang hijau di sela kedua tebing yang menjulang tinggi. Philip mencari-cari tempat yang baik di mana mereka bisa memasang tenda. "Kita semua kan ingin membuat pangkalan kita di Pulau Puffin ini?" katanya. "Kurasa Jack takkan bisa lagi kita ajak pindah dari sini. Di tebing ada beraneka ragam burung laut yang lain, sedang di lembah sini terdapat ribuan burung puffin jadi pasti ia sudah puas sekarang." "Memang," kata Jack. "Di sini saja kita berkemah. Pulau ini kita jadikan pulau kita — bersama—sama dengan puffin-puffin ini." "Yah — kalau begitu kita cari saja tempat yang baik untuk perkemahan," kata Philip. "Tapi sebaiknya dipilih tempat yang di dekatnya ada air yang mengalir — itu kalau di sini ada air mengalir. Kita memerlukan air bersih untuk minum. O ya, kita juga masih harus mencari teluk kecil di mana perahu motor kita dapat berlabuh, Kita tidak bisa meninggalkannya dalam celah tebing yang sempit tadi." "Lihatlah — di bawah sana ada teluk kecil yang bagus!" kata Dinah dengan tiba-tiba sambil menunjuk ke arah laut. "Di situ kita bisa mandi — dan perahu kita pun akan aman di tempat itu. Yuk, kita bilang pada Bill." "Biar aku sendiri saja yang pergi." kata Philip. "Jack pasti masih ingin memperhatikan burung-burung ini. Jadi biar aku saja yang menemani Bill membawa perahu motor kita ke teluk kecil itu, Dinah — kau dan Lucy-Ann sementara itu mencari tempat yang baik untuk tenda-tenda kita. Kalau sudah kalian temukan, kemudian kita bersama-sama mengangkut barang-barang dari perahu ke tempat itu."` Philip bergegas untuk memberitahukan pada Bill bahwa tempat yang baik untuk perahu. Mereka sudah ditemukan. Jack duduk di tanah bersama Kiki, memperhatikan tingkah laku burung-burung puffin. Sedang Dinah dan Lucy-Ann pergi mencari tempat yang baik untuk perkemahan. Kedua anak itu berkeliaran sekeliling pulau. Di ujung sebelah sana dari tempat burung-burung puffin, sebelum sampai ke tebing terjal yang terdapat di sisi satu lagi dari pulau itu, terdapat semacam lembah kecil. Di tempat itu tumbuh beberapa batang pohon yang kerdil serta semak padang. "Ini tempat yang cocok sekali," kata Dinah senang. "Di sini kita bisa memasang tenda dengan aman, terlindung dari gangguan angin. Dari sini kita juga bisa memperhatikan kehidupan burung-burung puffin, mandi ke laut kapan saja kita mau — lalu semuanya sudah bosan, kita juga bisa mendatangi pulau-pulau lain dengan perahu motor." "Memang — hidup yang serba nikmat," kata Lucy-Ann sambil tertawa. "Tapi sekarang —ada air atau tidak di sini?" Di pulau itu sama sekali tidak ada sungai. Tapi kemudian Dinah menemukan sesuatu sebagai penggantinya. Setidak-tidaknya begitulah diharapkan olehnya. "Coba lihat ini!" serunya pada Lucy-Ann. "Di tengah batu besar ini ada cekungan yang penuh berisi air. Aku sudah mencicipnya. Sama sekali tidak asin rasanya." Lucy-Ann datang bersama Jack. Dinah meraup air dalam cekungan itu lalu meminumnya. Rasanya tawar. "Air hujan," katanya puas. "Sekarang semua sudah terjamin. Asal saja cekungan ini tidak kering apabila hawa panas terus seperti sekarang. Yuk — kita kembali saja dulu ke perahu dan mengambil barang-barang kita. Sekarang kita harus kerja keras sebentar." "Kita tunggu saja dulu di sini," kata Jack yang saat itu tiba bersama Kiki. "Kurasa saat ini Bill dan Philip sedang membawa perahu kita ke teluk yang di sana itu. Kalau mereka sudah tiba, kita datangi mereka untuk mengatakan bahwa kita sudah menemukan tempat yang baik untuk berkemah. Setelah itu kita bantu mereka mengangkut barang—barang kemari." Tidak lama kemudian perahu motor masuk ke teluk dengan Bill dan Philip di atasnya. Sesampai di tepi, Bill meloncat turun lalu membenamkan jangkar jauh ke atas pantai. Ia melihat Jack dan kedua anak perempuan di atas dan melambai ke arah mereka. "Kami baru saja tiba!" serunya. "Kalian sudah menemukan tempat yang baik untuk perkemahan kita?" Beberapa saat kemudian ia sudah naik ke atas bersama Philip. Ia senang melihat lembah kecil yang ditemukan Dinah. "Ini benar-benar cocok!" kata Bill. "Yah — kalau begitu sekarang saja kita ambil barang-barang yang kita perlukan dari perahu." Selama beberapa waktu mereka sibuk mondar-mandir dari teluk ke lembah, mengangkut barang—barang. Ternyata mereka tidak memerlukan waktu selama yang mereka duga untuk itu. Itu disebabkan karena mereka berlima. Kiki juga ikut membantu. Burung itu mengangkut pasak pengokoh tali tenda. Kiki sebenarnya melakukan hal itu untuk pamer terhadap burung-burung puffin. Burung-burung itu memperhatikannya dengan serius sementara Kiki terbang di depan mereka dengan pasak tenda di paruhnya yang besar dan melengkung. "Rrrrr," seru Kiki dengan suara burung puffin. "Kau ini cuma mau pamer saja sebenarnya, Kiki," kata Jack memarahi. "Dasar burung sok aksi!" "Rrrrr," kata Kiki. Dijatuhkannya pasak tenda yang sedang diangkutnya ke atas kepala Jack. Asyik sekali mereka berlima mengatur tempat kediaman yang baru. Bill berbagi tenda dengan Jack dan Philip. Sedang Dinah setenda dengan Lucy-Ann. Anak itu menemukan batu yang menonjol di belakang tenda-tenda. Di bawah bagian yang menonjol terdapat rongga yang cukup lapang dan kering. "Cocok sekali sebagai tempat penyimpanan barang," kata Lucy-Ann dengan bangga. "Jack! Kemarikan kaleng-kaleng makanan itu — serta pakaian kita — di sini cukup banyak tempat untuk apa saja. Wah — akan asyik kediaman kita di sini!" Bab 11 ENGGAS DAN ENGGOS "Bukankah ini sudah waktunya kita makan?" keluh Jack sambil berjalan terhuyung-huyung membawa setumpuk kaleng makanan dalam pelukannya. "Terbit liurku membaca nama-nama makanan yang serba enak pada kaleng-kaleng ini." Bill memandang arlojinya, lalu menengadah ke arah matahari. "Astaga!" katanya kaget. "Betul, memang sudah waktunya kita makan. Lihatlah, matahari sudah mulai terbenam. Bukan main — cepat sekali waktu berlalu!" Tidak lama kemudian mereka sudah duduk-duduk di atas rumput sambil makan biskuit dengan daging yang diawetkan. Setelah itu masih ada pula buah persik dalam kaleng. Bill membawa beberapa botol limun jahe dari perahu. Anak-anak lebih suka minum limun saja daripada repot-repot memasak air untuk membuat teh atau coklat, Hal itu tidak mengherankan, karena hawa saat itu sangat panas. "Aku senang sekali di sini," kata Lucy-Ann. Matanya menerawang, memandang ke arah laut yang berwarna biru tua di kejauhan. "Aku merasa jauh sekali dari mana-mana — sungguh, saat ini tak terbayang olehku bahwa sekolah itu ada. Dan daging ini enak sekali rasanya." Tikus-tikus putih piaraan Philip sependapat dengan Lucy-Ann. Begitu tercium bau makanan, dengan segera mereka muncul dari balik baju anak laki-laki itu. Seekor di antaranya duduk tegak sambil makan di atas lutut Philip. Seekor lagi membawa pergi makanan yang diberikan padanya, masuk ke dalam salah satu kantong yang gelap. Sedang tikus yang ketiga duduk di atas bahu Philip. "Kau menggelitik cuping telingaku," kata Philip. Dinah cepat-cepat menggeser duduknya, menjauhi abangnya. Tapi seperti Lucy-Ann, saat itu Dinah sedang bahagia sekali perasaannya. Karena itu ia sama sekali tidak mengomel. Anak-anak makan dengan lahap, seperti Bill. Sambil mengunyah, mereka memandang ke arah matahari yang akan terbenam di tengah laut yang berwarna keemasan bercampur merah. Lucy-Ann memandang sekilas ke arah Bill. "Anda senang menghilang, Bill?" tanya anak itu. "Asyik, kan?" "Kalau untuk dua minggu saja, bolehlah," kata Bill. "Tapi tidak senang perasaanku. membayangkan kehidupanku seorang diri di pulau-pulau terpencil ini nanti jika kalian berempat sudah pulang. Bagiku, bersenang-senang bukan begitu macamnya. Aku lebih suka hidup menyerempet-nyerempet bahaya daripada hidup menyendiri seperti puffin-puffin itu." "Bill yang malang," kata Dinah. Dibayangkannya sahabat mereka itu tinggal di situ seorang diri, hanya ditemani buku-buku dan pesawat radio, tapi tanpa teman yang bisa diajak bicara. "Kalau Anda mau, kutinggal tikus-tikusku di sini sebagai teman," kata Philip bermurah hati. "`Wah — lebih baik jangan!" kata Bill dengan segera. "Aku kan kenal tikus-tikusmu! Nanti mereka beranak-pinak, dan pada saat aku pergi lagi dari sini, tempat ini akan sudah harus diganti namanya. Pulau Tikus, dan tidak lagi Pulau Puffin. Di samping itu, aku juga tidak sebegitu senang pada bangsa tikus, tidak seperti kau, Philip!" "Aduh — coba lihat itu! Cepat lihatlah!” kata Dinah tiba-tiba. Semua ikut memandang. Seekor puffin pergi meninggalkan liangnya dan berjalan terhuyung-huyung ke arah mereka. "Rupanya ia datang minta makan!" "Kalau begitu kau harus bernyanyi, Puffin! " kata Jack. "Ayo nyanyi, kalau ingin minta makanan!" "Rrrrr!" Puffin itu memperdengarkan suaranya yang berat. Semua tertawa mendengarnya. Burung nuri laut itu langsung menghampiri Philip, lalu berhenti ketika sudah sampai dekat lutut anak itu. Ditatapnya Philip tanpa berkedip. "Nah — daya penarik Philip sudah bekerja lagi," kata Lucy-Ann dengan nada iri. "Apa yang menyebabkan segala jenis binatang ingin berteman denganmu, Philip? Coba lihat puffin itu begitu kagum ia memandangmu." "Entahlah, aku juga tidak tahu sebabnya," jawab Philip. Ia senang pada teman barunya yang aneh itu. Diusap-usapnya kepala burung itu, yang mengeluarkan suara-suara lembut sebagai tanda senang. Kemudian Philip mengambilkan secuil roti berisi daging asap dan menyodorkannya pada puffin itu, yang langsung menelannya lalu meminta tambahan. "Sekarang kau pasti akan terus-menerus dibuntuti seekor puffin yang setia," kata"Dinah. "Yah, puffin lebih mendingan daripada tiga ekor tikus putih, atau tikus rumah, atau landak jelek berkutu yang pernah kaupelihara — atau sepasang kumbang tanduk itu — atau..” "Sudah, sudah, Dinah — jangan kauteruskan lagi," pinta Bill. "Kita semua sudah tahu, Philip ini memang seperti kebun binatang berjalan. Aku sendiri sama sekali tidak keberatan jika ia menyukai burung puffin goblok seperti itu. Sayang kita tidak membawa kalung dan rantai untuk menuntunnya.” Puffin itu berbunyi "rrr" lagi, sekali ini sedikit lebih nyaring dari tadi, lalu pergi lagi dengan sikap tegak. Paruhnya yang berwarna-warni berkilat-kilat kena sinar matahari sore. "Wah — kenapa sebentar saja kau bertamu, sobat," kata Philip kecewa. Puffin itu masuk ke dalam liangnya. Tapi langsung muncul lagi dengan seekor puffin lain. Puffin yang kedua agak lebih kecil ukuran tubuhnya. Tapi paruhnya lebih semarak warna-warnanya. "Darby dan Joan!" kata Jack sambil tertawa. Melihat kedua burung itu, ia langsung teringat pada tokoh suami istri dalam suatu lagu kuno, yang diceritakan hidup rukun dan damai sampai tua. Sementara itu kedua puffin tadi berjalan berdampingan mendatangi Philip. Anak-anak memandang mereka dengan geli. "Kita beri nama apa ya, kedua burung ini?" tanya Dinah. "Jika mereka hendak menggabungkan diri dengan kita, mereka harus diberi nama. Kocak sekali puffin-puffin cilik ini!" "Puffin cilik enggas-enggos," oceh Kiki dengan tiba-tiba. Ia teringat lagi pada kata-kata yang pernah diucapkannya. "Enggas”. "Ya, tentu saja1 Enggas dan Enggos!" seru Lucy-Ann dengan gembira. "Lihat saja cara mereka berjalan, terenggas-enggos seperti sepasang kakek-nenek! Kau ini burung pintar, Kiki! Sejak kita berangkat kau selalu menyebut-nyebutnya — dan sekarang inilah mereka — Enggas dan Enggos!" ' Semua tertawa. Enggas dan Enggos rasanya memang cocok sebagai nama kedua burung kocak itu. Sementara itu Enggas dan Enggos sudah dekat sekali ke tempat Philip duduk, lalu ikut duduk dengan sikap puas di situ. Philip memandang mereka dengan geli. Tapi Kiki sama sekali tidak senang. Ia menelengkan kepala, memandang kedua burung itu. Mereka membalas tatapannya dengan dua pasang mata bertepi merah darah. Akhirnya Kiki membuang muka sambil menguap. "Hah — Kiki kalah beradu tatapan mata!" kata Jack. "Padahal itu tidak gampang!" Ketiga tikus putih piaraan Philip beranggapan sebaiknya jangan dekat-dekat pada Enggas dan Enggos. Dari tempat yang aman dekat leher Philip, mereka memandang kedua burung puffin yang duduk dekat kaki tuan mereka. Ketika Enggas pada suatu saat bergerak, secepat kilat tikus-tikus itu menyusup masuk ke dalam baju Philip. Bill menggeliat. "Aku tidak tahu bagaimana dengan kalian —tapi aku capek," katanya. "Matahari sudah terbenam di barat. Yuk, kita bereskan tempat ini sebentar— lalu sesudah itu kita masuk ke dalam tenda. Besok kita bisa bersenang-senang lagi, mandi-mandi dan berjemur sambil memperhatikan kehidupan burung-burung di sini. Sementara ini aku sudah terbiasa dengan bunyi teriakan mereka yang tidak henti-hentinya. Tapi mulanya nyaris tuli aku karenanya." Dinah dan Lucy-Ann membereskan bekas-bekas makanan mereka. Lucy-Ann memasukkan sebuah pasu besar ke dalam cekungan yang berisi air, lalu menyodorkannya berkeliling pada semuanya untuk mencuci muka dan tangan. "Sebaiknya kita jangan membersihkan badan dalam kolam — ya kan, Bill?" katanya dengan serius. "Astaga! Tentu saja tidak!" kata Bill. "Airnya pasti akan langsung menjadi hitam begitu Jack dan Philip masuk ke dalamnya! Air itu sebaiknya kita sediakan saja untuk minum. Kalau kita memerlukan air untuk memasak atau mencuci badan, kita ambil saja dengan pasu seperti kaulakukan tadi." "Ahh — aku kepingin berendam dalam air sebentar," kata Jack sambil bangkit. "Tidak, bukan dalam kolammu itu, Lucy-Ann! Kau tidak usah memandangku dengan cemas. Aku akan turun ke teluk kecil di mana perahu kita berlabuh. Kau ikut, Philip?" "Terang dong," kata Philip. Didorongnya Enggas dan Enggos yang menempel ke lututnya. "Sana — pergi, aku ini tidak tumbuh di sini, tahu!" "Aku juga ikut," kata Bill. Dipadamkannya pipa yang selama itu diisapnya. "Badanku dekil rasanya. Kalian berdua juga mau ikut?" "Tidak," kata Lucy-Ann. "Biar kubereskan saja tenda kalian. Akan kuhamparkan selimut-selimut supaya kalian nanti tinggal berbaring saja lagi."‘ Dinah juga tidak mau ikut. karena merasa capek sekali. Penyakit campak ternyata banyak sekali menyadap tenaga kedua anak perempuan itu. Mereka tinggal di perkemahan, sementara Bill bersama Jack dan Philip berangkat ke teluk untuk mandi-mandi di sana. Di tempat itu lembah melandai sampai ke tepi laut, dan teluk kecil berpasir itu cocok sekali untuk tempat mandi-mandi. Bill dan kedua anak laki-laki yang menemani membuka pakaian mereka, lalu melompat ke dalam laut. Air laut terasa nikmat dan hangat, membelai tubuh seperti sutra. "Sedaaap!" kata Bill, lalu mulai mengejar Jack dan Philip. Sambil berteriak-teriak dan memukul-mukul air keduanya mengelak. Berisik sekali suara mereka bertiga main kejar-kejaran sampai Enggas dan Enggos, yang dengan setengah berjalan dan setengah terbang tadi ikut menemani Philip ke tepi air, kini mundur sedikit ke atas pasir. Kedua burung itu memandang mereka bertiga yang sedang mandi-mandi dengan sikap merenung. Philip senang melihat mereka masih ada di pantai. Pasti selama itu belum ada orang yang mempunyai piaraan dua ekor puffin! Sementara itu Dinah Dan Lucy-Ann sibuk mengatur alas tenda serta selimut-selimut. Tiba-tiba Dinah berhenti bekerja. Ia memiringkan kepala, seperti mendengarkan. Lucy-Ann mengikuti perbuatannya. "Ada apa?" bisiknya — tapi saat itu ia pun mendengarnya. Pasti itu bunyi pesawat terbang lagi! Keduanya keluar dari tenda Ialu menengadah ke langit, mencari-cari sumber bunyi itu. "Itu — itu, di sana!" seru Lucy-Ann sambil menunjuk ke arah barat. "Masa kau belum melihatnya? Wah, wah — mau apa pesawat itu sekarang?" Dinah masih juga belum berhasil melihat pesawat terbang itu. Matanya sudah dipicing-picingkan, tapi ia masih belum juga melihat pesawat yang hanya nampak berupa titik di langit. "Ada sesuatu jatuh dari pesawat itu," kata Lucy-Ann sambil memicingkan mata. "Aduh, mana sih teropongnya? Cepat ambil, Dinah!" Dinah mencari-cari, tapi teropong Jack dan Philip tidak ditemukan olehnya. Sementara itu Lucy-Ann masih saja tengadah, memandang langit. "Ada sesuatu yang jatuh lambat-lambat dari pesawat." katanya. "Warnanya putih. Aku melihatnya tadi. Barang apa itu, ya? Mudah-mudahan saja pesawat itu tidak dalam kesulitan." "Bill pasti tahu," kata Dinah. "Ia dan kedua abang kita tentu melihatnya pula. Mungkin kedua teropong itu mereka bawa, karena kucari-cari di sini tidak ada." Tidak lama kemudian pesawat itu lenyap dari penglihatan. Bunyinya juga tidak kedengaran lagi. Dinah dan Lucy-Ann meneruskan pekerjaan, membereskan tenda. Hawa saat itu masih tetap panas seperti tadi. Karenanya Dinah menyingkapkan tutup tenda supaya ada angin segar masuk ke dalam. "Rupanya tidak jadi datang badai," katanya sambil memandang ke langit sebelah barat, untuk melihat apakah dari arah sana datang awan bergulung-gulung. "Tapi hawa masih saja pengap, seperti mau hujan." "Mereka sudah kembali," kata Lucy-Ann ketika ia melihat Bill bersama Jack dan Philip datang dari pantai. "Dan Enggas serta Enggos masih saja ikut dengan mereka. Wah, Di- asyik juga ya jika kita mempunyai piaraan dua ekor puffin!" "Kalau puffin, aku tidak keberatan," kata Dinah. "Tikus yang tidak kusukai! Halo, Bill! Anda tadi mendengar bunyi pesawat atau tidak?" "Tidak! Ada pesawatkah tadi?" tanya Bill dengan penuh minat. "Di mana kalian melihatnya? Kenapa kami tidak mendengar apa-apa? "Habis kita tadi berisik sekali sih," kata Jack sambil nyengir. "Biar seratus pesawat lewat, kita masih tetap takkan mendengarnya." "Aneh," kata Lucy-Ann pada Bill. "Ketika aku sedang memperhatikan tadi, tahu-tahu ada sesuatu jatuh dari pesawat itu. Sesuatu yang putih warnanya." Bill memandang dengan kening berkerut. "Payung terjun barangkali?" tebaknya. "Kau bisa melihatnya dengan jelas?" "Tidak, karena jaraknya terlalu jauh," kata Lucy-Ann. "Mungkin saja yang kulihat itu payung terjun. Tapi bisa juga gumpalan asap! Pokoknya, tadi nampaknya seperti ada sesuatu jatuh dengan lambat dari pesawat itu. Kenapa Anda kelihatan begitu serius, Bill?" "Karena aku merasa ada sesuatu — yah, sesuatu yang aneh dengan pesawat-pesawat itu," kata Bill. "Kurasa sebaiknya aku pergi saja sebentar ke perahu kita, lalu mengirim kabar lewat radio. Mungkin saja kejadian itu tidak ada artinya — tapi mungkin juga sangat penting!" Bab 12 BILL BERANGKAT SENDIRI Bill menuruni lembah, menuju ke teluk kecil di mana perahu motor ditambatkan. Saban kali ia melangkah, kakinya terbenam di tanah yang lunak. Anak-anak memperhatikan sahabat mereka itu pergi. Lucy-Ann berwajah serius — seserius Enggas dan Enggos yang saat itu sudah bersandar lagi dengan sikap tegak pada Philip. "Aduh — apa maksud Bill tadi? Kita sekarang kan tidak lagi-lagi terjerumus ke dalam petualangan yang baru? Di sini, di mana yang ada hanya laut, angin, dan burung-burung! Apa ya — yang mungkin terjadi di sini?" "Bill takkan banyak bercerita pada kita," kata Philip. "Jadi jangan ganggu dia dengan bertanya-tanya terus. Aku mau tidur sekarang. Hihh — agak dingin hawanya sekarang. Enak, tidur di bawah tumpukan selimut tebal. Enggas dan Enggos, kalian tidur di luar saja, ya! Tempat dalam tenda takkan mencukupi jika kalian berdua ikut masuk— karena kami sudah bertiga, ditambah dengan Kiki serta ketiga tikus putihku." Enggas dan Enggos berpandang-pandangan. Setelah itu secara serempak mereka mulai mengais-ngais di luar tenda, menyebabkan tanah berhamburan di belakang mereka. Lucy-Ann tertawa geli. "Wah! Mereka hendak membuat liang sedekat mungkin padamu, Philip!" katanya. "Kocak sekali mereka berdua!" Kiki datang mendekat untuk memeriksa kesibukan kedua ekor puffin itu. Sebagai akibatnya seluruh badannya kena tanah yang berhamburan. Kiki marah. "Rrrrrrl" gerutunya. Kedua puffin yang sedang sibuk menggali- berbunyi serempak menyatakan bahwa mereka sependapat dengan Kiki. "Rrrrrrr!" Setengah jam kemudian Bill kembali. Anak—anak sudah meringkuk di bawah selimut, sedang Lucy-Ann malah sudah tidur pulas. Dinah menyapa ketika ia mendengar langkah Bill di luar. "Semua beres, Bill?" "Ya! Aku tadi menerima kabar dari London, katanya keadaan ibumu sudah agak lumayan sekarang," kata Bill. "Tapi rupanya penyakit campaknya cukup berat juga. Untung ia tidak perlu mengurus kalian lagi saat ini!" "Bagaimana dengan berita Anda sendiri, Bill- mengenai pesawat terbang itu?" tanya Dinah yang ingin sekali mengetahui mengapa Bill begitu berminat terhadapnya. "Anda juga sudah mengirimkannya?" "Ya, sudah,"kata Bill singkat. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Nah — tidur saja sekarang, Dinah." Dua menit kemudian semua sudah tidur. Pencicit serta kedua saudaranya hanya nampak berupa onggokan kecil-kecil dalam baju Philip. Kiki bertengger di atas perut Jack, walau anak itu sudah beberapa kali mendorongnya supaya turun dari situ. Enggas dan Enggos duduk dalam liang yang baru mereka buat. Paruh mereka yang besar dan berwarna-warni saling bersentuhan. Suasana tenang dan damai, sementara bulan bergerak pada lintasannya di langit. Bayang-bayangnya nampak berupa jalur terang keperak-perakan di atas air yang tak kenal tenang. Fajar menyingsing membawa hari yang cerah dan indah. Kelihatannya badai tidak jadi datang, karena hawa tidak lagi pengap seperti hari sebelumnya. Anak-anak begitu bangun langsung lari ke pantai untuk mandi-mandi di laut. Lari mereka begitu kencang sehingga Enggas dan Enggos kepayahan mengikuti. Kedua puffin itu terpaksa terbang agar jangan sampai tertinggal jauh. Mereka ikut masuk ke air bersama anak-anak, lalu terapung-apung dipermainkan ombak. Konyol sekali kelihatannya! Setelah itu mereka menyelam, mencari ikan. Mereka berenang dengan sayap digerak-gerakkan dalam air. Ternyata mereka sangat tangkas, karena dengan cepat sudah tersembul lagi di permukaan dengan ikan di paruh mereka yang besar. "Bagaimana jika seekor kalian berikan pada kami untuk sarapan pagi, Enggas?" seru Philip. Ia mencoba mengambil seekor ikan dari paruh puffin yang terdekat. Tapi burung itu tidak mau melepaskan. Ikan yang berada di paruhnya kemudian ditelan bulat—bulat. "Seharusnya kau mengajari mereka menangkap ikan untuk kita," kata Jack sambil tertawa geli. "Dengan begitu kita kan bisa sarapan ikan bakar! He, lepaskan, Enggos — itu kakiku, bukan ikan!" Saat sarapan mereka merembukkan rencana untuk hari itu. "Apa yang akan kita lakukan hari ini? Yuk, kita memeriksa seluruh pulau kita ini, dan memberi nama pada tempat-tempat khusus. Misalnya lembah kecil di mana kita berada sekarang, namanya Lembah Tidur, karena di sinilah tempat kita tidur," kata Lucy-Ann. "Dan pantai tempat kita mandi-mandi namanya Teluk Cebur," kata Dinah. "Sedang di mana kita mula-mula menambatkan perahu kita, enaknya diberi nama Pelabuhan Tersembunyi." Bill tidak banyak berbicara saat itu. Jack menoleh padanya. "Apa yang ingin Anda lakukan hari ini, Bill? Anda mau ikut menjelajahi pulau ini bersama kami?" "Kalian pasti akan sudah sibuk dan asyik sendiri nanti," kata Bill. "Karenanya jika kalian tidak keberatan, aku hendak berkeliling sendiri dengan perahu motor — mendatangi pulau-pulau sekitar sini. "Apa? Tanpa kami?" tanya Dinah tercengang. "Kami ikut saja dengan Anda kalau begitu — itu jika Anda menghendakinya." "Sekali ini aku akan pergi sendiri," kata Bill. "Lain kali saja kalian ikut. Hari ini aku hendak pergi seorang diri." "Ada — ada apa, Bill?" tanya Jack. Ia mendapat perasaan, jangan-jangan ada yang tidak beres. "Ada sesuatu yang terjadi?" "Sepanjang pengetahuanku, tidak," kata Bill dengan riang. "Aku cuma ingin pergi seorang diri saja — lain tidak! Dari jika aku sendiri saja melihat-lihat keadaan di sekeliling perairan sini, nanti aku kan bisa mengetahui tempat-tempat mana saja yang paling baik untuk didatangi beramai-ramai. Ya, kan?" "Baiklah, Bill," kata Jack yang masih tetap merasa heran. "Lakukanlah apa yang Anda kehendaki. Ini juga liburan bagi Anda, meski liburan untuk menghilangkan jejak!" Jadi hari itu Bill pergi seorang diri. Anak-anak mendengar bunyi mesin perahu motornya yang bergerak ke tengah laut. "Ada sesuatu yang hendak dilakukan Bill," kata Philip. "Dan aku berani bertaruh, pasti ada sangkut pautnya dengan kedua pesawat terbang itu. Coba ia mau bercerita pada kita mengenainya. Tapi Bill takkan mau mengatakannya." ”Mudah-mudahan nanti ia kembali dalam keadaan selamat." kata Lucy-Ann cemas. "Gawat kalau kita sampai terdampar di pulau ini tanpa ada seorang pun yang tahu di mana tepatnya kita berada." "Wah, benar juga katamu itu," kata Jack. "Tak terpikir olehku hal itu selama ini. Tapi sudahlah — kau tidak perlu cemas, Lucy-Ann! Kecil sekali kemungkinannya Bill akan menjumpai mara bahaya. Orangnya kan cerdas!" Hari itu berlalu dalam suasana gembira. Anak-anak pergi ke tebing, mengamat-amati kawanan burung yang tinggal di sana. Mereka juga duduk-duduk di tengah kerumunan burung-burung puffin, memperhatikan kehidupan burung-burung aneh berparuh besar itu. Lucy-Ann mengikatkan sapu tangan untuk menutupi hidung. Ia tidak tahan terhadap bau tempat itu. Tapi anak-anak yang lain dengan segera sudah merasa biasa dengan bau yang masam. Lagi pula, saat itu angin bertiup lumayan kencang. Enggas dan Enggos selalu ikut ke mana saja anak-anak pergi. Mereka berjalan atau berlari bersama anak-anak. Keduanya terbang mengitari mereka, serta ikut pula mandi-mandi di laut. Kiki agak cemburu. Tapi setelah sekali mengalami patukan paruh Enggas, kakaktua itu tidak berani terlalu mendekat lagi. Ia melampiaskan kekesalannya dengan jalan mengata-ngatai. "Bersihkan hidungmu! Sudah berapa kali kukatakan, kau harus membersihkan kakimu? Anak nakal! Enggas-Enggos saja terus-terusan. Plak, si puffin meledak!" Sehabis makan sore anak-anak duduk di Lembah Tidur, menunggu Bill kembali. Matahari mulai condong ke barat. Lucy-Ann nampak gelisah. Mukanya pucat. Ke mana Bill? Kenapa belum kembali? "Jangan khawatir — sebentar lagi pasti pulang," kata Philip. "Tak lama lagi pasti akan terdengar suara perahu motornya." Tapi saat matahari terbenam Bill masih belum muncul juga. Kegelapan malam menyelubungi pulau. Anak-anak merasa tidak ada gunanya menunggu lebih lama lagi. Empat anak yang gelisah masuk ke tenda mereka. Keempat-empatnya berbaring di bawah selimut. Tapi tidak satu pun bisa tidur. Akhirnya Dinah dan Lucy-Ann pindah ke tenda yang satu lagi, lalu mengajak Jack dan Philip mengobrol. Tiba-tiba terdengar bunyi yang sejak lama ditunggu-tunggu. Bunyi mesin perahu motor! Semua langsung bangkit dan lari ke luar. "Itu Bill! Pasti Dia! Mana senternya? Yuk, kita turun ke teluk." Anak-anak berjalan tersandung-sandung di tengah kawanan burung puffin yang sedang enak-enak tidur. Tidak sedikit yang terbangun karena terinjak atau kena tendangan tanpa sengaja. Mereka sampai di pantai tepat pada saat Bill melangkah ke luar dari tepi air. Keempat anak itu berhamburan menghampirinya dengan gembira. "Bill! Aduh, Bill! Apa yang selama ini terjadi dengan Anda? Kami sudah mengira, jangan-jangan Anda tersesat!" "Aduh, Bill — takkan kami biarkan Anda pergi sendiri lagi!" "Maaf —jika aku menyebabkan kalian cemas," kata Bill. "Tapi aku tidak ingin kembali selama hari masih terang, karena khawatir kalau kelihatan dari pesawat terbang tak dikenal itu. Jadi aku terpaksa menunggu sampai gelap dulu, walau aku juga tahu bahwa kalian pasti cemas. Tapi — ini aku, sudah ada di sini lagi!" "Tapi Bill — Anda tidak mau menceritakan apa-apa pada kami?" seru Dinah. "Kenapa Anda tidak mau kembali selama masih terang? Anda khawatir kelihatan oleh siapa? Dan kalau kelihatan, lantas mengapa?" ”Yah," kata Bill setelah beberapa saat, "ada sesuatu yang aneh sedang berlangsung di perairan terpencil ini. Aku tidak tahu persis, apa itu. Tapi aku ingin mengetahuinya. Hari ini aku tidak melihat siapa-siapa, walau aku sudah mengelilingi entah berapa pulau saja sepanjang hari. Aku memang tidak memperkirakannya, karena tak ada orang yang begitu goblok — datang kemari untuk sesuatu urusan rahasia, tapi membiarkan ada orang lain melihat atau mengetahuinya. Tapi aku masih merasa, mungkin aku akan berhasil menemukan salah satu petunjuk." "Kurasa kulit jeruk yang kita lihat terapung-apung itu merupakan petunjuk bahwa di salah satu pulau sekitar sini ada orang lagi selain kita — ya kan, Bill?" kata Lucy-Ann. Ia teringat pada kulit jeruk yang dilihatnya terapung-apung lalu menyentuh jari-jarinya yang direndamkan dalam air ketika perahu motor sedang melaju. "Tapi apa yang dilakukannya di sini? Tidak banyak yang bisa dikerjakan di perairan yang begini terpencil. Yang ada cuma pulau-pulau yang dihuni burung-burung saja." "Justru itulah yang membuat aku bingung," kata Bill. “Kalau penyelundupan tidak mungkin, karena pesisir daerah daratan saat ini dijaga ketat. Jadi untuk apa?" "Bill? Anda tadi yakin tidak ada yang melihat Anda?" tanya Dinah agak cemas. "Mungkin saja di salah satu pulau itu ada pengintai yang bersembunyi — dan kalau betul begitu, mungkin saja Anda dilihat olehnya tanpa Anda melihat dirinya." "Betul juga katamu — tapi risiko itu harus kutanggung," kata Bill. "Tapi kemungkinannya kecil sekali. Kurasa takkan ada penjaga ditempatkan di mana pun juga, karena kecil sekali kemungkinannya ada orang datang ke pulau-pulau sini dan mengganggu kegiatan rahasia yang sedang berlangsung." "Walau begitu ada saja kemungkinan Anda dilihat — atau didengar orang lain," kata Dinah berkeras. "Aduh, Bill — padahal Anda kan ditugaskan untuk menghilang sama sekali. Sekarang Anda mungkin terlihat musuh-musuh Anda!" "Kecil sekali kemungkinannya mereka adalah lawan-lawanku, dari pengintaian siapa aku harus melenyapkan diri," kata Bill sambil tertawa. "Kurasa takkan ada orang lain yang mengenali diriku di sini, nampak di kejauhan dalam perahu motor. Paling-paling orang yang melihatku tadi menyangka aku ini pengamat burung atau pengamat alam yang senang hidup menyendiri di perairan sini." Tidak lama kemudian mereka sudah masuk lagi ke dalam tenda masing-masing. Anak-anak merasa senang, karena Bill sudah ada di tengah-tengah mereka lagi dalam keadaan selamat. Bintang-bintang kemerlip di langit malam yang cerah. Enggas dan Enggos masuk ke dalam liang kediaman mereka. Kedua burung itu merasa senang, karena kerabat mereka yang baru akhirnya pergi tidur. Keduanya tidak begitu senang jalan-jalan pada waktu malam. Sambil berbaring di bawah selimutnya, Lucy-Ann masih saja merasa gelisah. "Saat ini terasa olehku bahwa ada petualangan sedang menjelang. Aduh — padahal tempat ini paling tidak enak untuk mengalami petualangan!" Bab 13 APA YANG TERJADI MALAM ITU? Keesokan paginya semua beres, seolah-olah memang tidak ada apa-apa. Anak-anak sudah melupakan lagi rasa takut mereka malam sebelumnya. Sedang Bill asyik berkelakar dan tertawa-tawa bersama anak-anak. Tapi walau begitu, sebenarnya ia masih merasa gelisah. Ketika sebuah pesawat terbang muncul lalu melintas beberapa kali di atas pulau, dengan cepat disuruhnya anak-anak bertiarap. Tepat di tengah pemukiman burung puffin di mana mereka saat itu berada. "Kurasa tenda-tenda kita tidak terlihat dari atas," kata Bill. "Mudah-mudahan saja." "Anda tidak mau ada orang lain tahu kita di sini, Bill?" tanya Jack. "Betul," kata Bill singkat. "Setidak-tidaknya untuk saat ini. Jika kalian mendengar bunyi pesawat terbang, lekas-lekas mengendap. Dan kita jangan menyalakan api untuk memasak air. Kita minum limun saja.” Walau demikian hari itu berlalu dengan cukup menyenangkan. Hawa kembali sangat panas. Anak-anak berulang kali pergi mandi-mandi, dan setelah itu berjemur badan di bawah sinar matahari. Kiki cemburu pada Enggas dan Enggos karena kedua puffin itu bisa ikut masuk ke dalam air bersama anak-anak. Burung kakaktua itu berdiri di pantai dengan cakar terbenam dalam pasir. Ia berteriak-teriak dengan suara lantang. "Pol!y pilek — panggil dokter!" Untuk lebih meyakinkan, Kiki menirukan bunyi orang bersin. "Konyol tidak — si Kiki?" kata Jack. Disemburkannya air ke arah burung itu. Kiki melangkah mundur dengan jengkel. "Kasihan Kiki! Sayang! Sayang malang, bukan main Kiki!" "Betul, bukan main Kiki!" seru Jack, lalu menyelam untuk menarik kaki Bill di dalam air. Berulang kali mereka membuat foto. Enggas dan Enggos ikut berpose. Sikap mereka apik sekali, menatap dengan serius ke arah kamera yang dibidikkan. "Melihat mereka, aku merasa seolah-olah sebentar lagi keduanya akan saling berangkulan," kata Jack sambi! menjepretkan kameranya. "Terima kasih, Enggas dan Enggos. Pose kalian bagus sekali! Tapi lain kali tersenyumlah sedikit. Ayo minggir, Kiki- dan jangan kau sentuh pasak tenda itu. Sudah tiga yang kaucabut!" Petangnya langit tertutup awan tebal. Matahari tidak kelihatan. "Rasa-rasanya sebentar lagi akan datang badai yang waktu itu tidak jadi," kata Bill. "Cukup kokoh atau tidak ya tenda kita?" "Yah — pilihan lain tidak ada," kata Jack. "Lembah Tidur kita merupakan tempat yang paling terlindung di pulau ini. Sepanjang yang kulihat sampai sekarang, di tempat ini sama sekali tidak ada gua atau semacam itu." "Siapa tahu, mungkin saja badai ini pun tidak jadi," kata Philip. "Huh, panasnya! Kurasa aku perlu mandi sekali lagi untuk terakhir kalinya." "Kau sudah delapan kali mandi," kata Dinah, "Aku menghitungnya." Hari itu lekas gelap karena ada awan tebal menyelubungi langit. Malam itu anak-anak cepat masuk ke pembaringan masing-masing sambil menguap karena sudah mengantuk. Bill memandang arlojinya. "Aku hendak ke perahu sebentar untuk mengirim kabar dengan pesawat memancarku,” katanya. "Siapa tahu, mungkin nanti juga ada berita untukku. Kalian tidur saja dulu. Aku takkan lama." "Baiklah," kata Jack dan Philip mengantuk. Bill menyelinap ke luar dari tenda. Dinah dan Lucy-Ann sudah tidur, jadi tidak tahu bahwa Bill pergi. Sementara Philip terlelap begitu Bill keluar, Jack masih bangun selama beberapa waktu lagi. Untuk kelima kalinya ia mendorong Kiki yang hendak bertengger di atas perutnya. Kiki pindah ke atas perut Philip. Ia menunggu suatu tonjolan bergerak mendekati cakarnya. Pasti itu salah satu tikus putih piaraan Philip, pikir Kiki. Ketika selimut dekatnya tiba-tiba terangkat, dengan segera ia mematuk dengan sengit. Terdengar suara Philip berteriak kesakitan, "Kau ini memang setan, Kiki! Ambil dia, Jack! Pinggangku dipatuknya tadi. Coba aku bisa melihatnya saat ini, pasti kutampar paruhnya." Kiki keluar dari tenda, menunggu Jack dan Philip sudah tidur lagi. la terbang ke puncak tenda lalu bertengger di situ. Sementara itu Bill sudah sibuk memutar-mutar tombol pesawat radionya dalam perahu motor. Tapi gangguan cuaca saat itu menyebabkan ia hanya mendengar bunyi gemerisik saja. "Sialan!" kata Bill. "Kalau begini terus, aku takkan bisa mengirim berita sama sekali. Lebih baik jika perahu kubawa saja ke celah sempit waktu itu — apa namanya yang diberikan anak-anak? — ah ya, Pelabuhan Tersembunyi. Mungkin di sana radioku bisa bekerja lebih baik— karena tempat itu lebih terlindung daripada di sini." Bill perlu sekali memakai pesawat radionya malam itu. Karenanya dengan segera ia berangkat ke Pelabuhan Tersembunyi. Dengan hati-hati dikemudikannya perahu memasuki celah. Setelah perahu ditambatkan, dicobanya pesawat radionya sekali lagi. Setelah beberapa saat sibuk, ia seolah-olah mendengar bunyi sesuatu dari arah laut. Bunyinya kian mendekat. Bill mematikan radionya, lalu memasang telinga baik-baik. Tapi tiupan angin yang bertambah kencang saja yang terdengar olahnya. Bill menghidupkan radionya kembali. Ia menyimak dengan tekun, menunggu berita untuknya. Satu diterimanya, disusul olah pemberitahuan agar menunggu pengumuman penting dari markas basar. Bill menunggu dengan sabar, sementara dari radio hanya terdengar bunyi gemerisik dan mencuit-cuit. Tiba-tiba ia menoleh dengan heran. Ia mendengar bunyi yang tidak berasal dari pesawat radio di depannya. Ia mengira Jack atau Philip yang datang. Tapi ternyata bukan. Bill bertatapan muka dengan seorang laki-laki berwajah keras dan berhidung bangkok, yang memandang ke dalam kabin. Orang itu bersaru heran ketika melihat wajah Bill yang menoleh ke arahnya, "Kau?!" saru orang itu. "Cari apa kau di sini? Apa yang kau ketahui tantang....” Bill bangkit dengan cepat. Tapi saat itu juga orang tadi menerjang ke arahnya dengan bersenjatakan pentungan. Bill langsung roboh kena pukul. Kepalanya terbentur pada sudut pesawat radio. Tubuhnya menggeleser ke lantai. Bill jatuh pingsan. Laki-laki berhidung bangkok tadi bersuit dengan nyaring. Seorang laki-laki lagi menghampiri pintu kabin dan memandang ke dalam. "Kaulihat itu?" kata laki-laki yang pertama sambil menuding ke arah tubuh Bill. "Tidak disangka-sangka, ya — menjumpainya di sini? Bagaimana pendapatmu — mungkinkah ia menduga apa-apa?" "Melihat ia ada di sini, mestinya begitu," kata laki-laki yang satu lagi. Potongan mulutnya yang kejam tersembunyi di balik janggut tebal yang dipotong pendek "Ikat dia! Siapa tahu, mungkin ada gunanya nanti. Akan kita paksa dia membuka mulut!" Dengan segera Bill sudah diikat erat-erat. Ia masih belum siuman kembali. Kedua laki-laki tadi memindahkannya ke sebuah perahu kecil yang bersandar di samping Lucky Star. Dengan cepat tali tambatan dilepaskan, siap untuk mendayungnya kembali ke perahu motor mereka yang dilabuhkan di depan pulau. "Mungkinkah ada orang lain ikut dengannya di sini?" tanya laki-laki berhidung bengkok pada temannya. "Kalau di perahu tadi. yang ada cuma ia sendiri." "Tidak, ia seorang diri. Ketika perahunya itu kelihatan kemarin, hanya ada satu orang di dalamnya — dan ternyata memang dia," kata laki-laki berjanggut tebal. "Kalau ada orang lain bersamanya, pasti kelihatan oleh kita. Tidak — ia seorang diri di sini! Hah! Ia tidak tahu bahwa ada yang memperhatikan dirinya ketika ia kembali kemari kemarin malam." "Ya, kurasa memang tidak ada siapa-siapa lagi di sini,” kata laki-laki pertama yang kelihatannya masih enggan pergi. "Apakah perahu motornya tidak perlu kita rusak untuk berjaga-jaga? "Baiklah — dan jangan lupa radionya juga," jawab temannya, laki-laki yang berjanggut. Ia menemukan sebuah palu. Tidak lama kemudian terdengar bunyi hantaman bertubi-tubi dalam kabin Lucky Star. Mesin perahu dan pesawat radio Bill dihancurkan. Setelah itu kedua laki-laki tadi kembali ke perahu mereka dan mulai mendayungnya, membawa Bill yang masih pingsan. Mereka sampai di perahu motor yang menunggu di luar. Tidak lama kemudian terdengar bunyi mesinnya, makin lama makin menjauh. Tapi tidak ada yang mendengarnya di Pulau Puffin, kecuali Kiki. Dan juga burung-burung puffin, tentunya!" Anak-anak sama sekali tidak tahu bahwa Bill tidak kembali malam itu. Mereka berempat tidur pulas, bermimpi tentang burung-burung puffin, ombak besar, serta pasir yang putih keemasan. Jack yang paling dulu bangun keesokan paginya. Itu pun karena Kiki mencubiti kupingnya dengan paruh. . "Kau ini Sialan, Kiki!" kata Jack sambil mendorong kakaktua itu pergi. "Aduh — Enggas dan Enggos pun sudah hadir!" Kedua burung air itu berjalan terenggas-enggos menghampiri Philip, lalu berdiri dengan sabar dekat muka anak yang masih tidur itu. "Rrrrr," sapa Enggas. Philip terbangun. Ia langsung nyengir ketika melihat Enggas dan Enggos ada di dekatnya, lalu duduk sambil menguap lebar-lebar. "Halo, Jack!" katanya. "Bill sudah bangun?" "Kelihatannya begitu," kata Jack. "Mungkin sedang mandi sekarang. Kenapa kita tidak sekaligus dibangunkannya tadi?! Yuk, kita bangunkan Dinah dan Lucy-Ann — lalu menyusulnya ke pantai." Tak lama kemudian nampak keempat anak itu berlari-lari ke tepi air. Mereka mengira akan melihat Bill di sana. Tapi sahabat mereka ternyata tidak ada di tempat itu. "Kalau begitu, di mana dia?" tanya Lucy-Ann dengan nada bingung. "Astaga! — mana perahu motor kita?" Ya, betul — mana perahu motor mereka? Di tempat itu tidak ada, itu sudah jelas. Anak-anak memandang ke arah teluk dengan perasaan heran bercampur kecut. "Pasti Bill membawanya ke Pelabuhan Tersembunyi," kata Jack. "Mungkin saja radionya tidak jalan di sini, terganggu keadaan cuaca yang buruk." "Kalau begitu — yuk, kita ke Pelabuhan Tersembunyi," ajak Philip. "Mungkin sesampai di sana Bill lantas merasa mengantuk, lalu tidur dalam kabin." "Mungkin saja ia ada di sana," kata Dinah. "Dan sekarang masih pulas! Yuk, kita ke sana — lalu mengejutkannya. Kita berseru kuat-kuat ke dalam kabin supaya ia terloncat bangun. Huh — Penidur!" "Mudah-mudahan saja betul ia ada di sana," kata Lucy-Ann. Anak itu menggigil, karena kedinginan bercampur rasa cemas. Keempat anak itu bergegas-gegas mengenakan pakaian mereka. Semua agak menggigil, karena matahari sudah lenyap di balik gumpalan awan yang nampak seram. "Mudah-mudahan saja cuaca kini tidak berubah menjadi buruk— padahal kita baru saja mengawali liburan ini dengan menyenangkan," kata Dinah. "Aduh, maaf Enggas — tapi kau sih, kenapa mendekat-dekat terus. Terinjak tadi, ya?" Burung puffin itu nampaknya tidak peduli, walau terinjak oleh Dinah. Sambil mengibaskan sayap serta mengeluarkan bunyi "rrrr", Enggas bergegas menyusul Enggos yang saat itu berusaha mengikuti kecepatan Philip berjalan. Mereka melintasi tempat pemukiman burung-burung puffin, menuju ke bagian tebing yang runtuh sedikit. Sesampai di sana nampak perahu motor mereka terayun-ayun lembut dipermainkan ombak, di bawah tebing. "Itu dia!" seru Dinah bergembira. "Bill ternyata memang membawanya kemari!" "Bill tidak ada di geladak," kata Jack. "Kalau begitu pasti di kabin. Yuk, kita biarkan saja ia tidur dulu." "Kita panggil saja," kata 'Lucy-Ann tiba-tiba. "Ayolah! Aku ingin tahu, benarkah ia ada di sana." Sebelum anak-anak sempat mencegah, ia sudah berseru senyaring-nyaringnya. "Bill! Bill! ANDA ADA DI SANA?" Tapi tidak nampak Bill muncul dari kabin. Untuk pertama kalinya anak-anak merasa cemas. "BILL!" seru Jack. Kelantangan suaranya menyebabkan anak-anak yang lain terkejut. "BILL! Keluarlah!" Tidak terdengar suara apa-apa dari arah perahu motor. Tahu—tahu keempat anak itu dilanda rasa panik. Tersaruk-saruk mereka menuruni tebing, menuju ke perahu. Sesampai di bawah mereka meloncat ke geladak, lalu memandang ke dalam ruangan kabin. "Tidak ada," kata Dinah ketakutan. "Kalau begitu ke mana, ya?" "Mestinya ada di sekitar tempat ini, karena perahu kita masih di sini," kata Jack. "Sebentar lagi ia pasti datang. Mungkin sedang berkeliaran memeriksa salah satu sudut pulau ini." Mereka berpaling dari kabin. Tiba-tiba Philip tertegun, karena melihat sesuatu. Air mukanya berubah, nampak pucat pasi. Dicengkeramnya lengan Jack. "Ada apa?" tanya Jack ketakutan. Tanpa mengatakan apa-apa, Philip menuding ke arah pesawat radio yang terdapat dalam kabin. "Hancur!" katanya berbisik. "Hancur berantakan! Perbuatan siapa itu?" Lucy-Ann mulai menangis. Jack pergi ke geladak. Ia memeriksa berkeliling dengan perasaan tak menentu. Tiba-tiba terdengar Philip yang masih ada dalam kabin berteriak. Kedengarannya seperti panik. Bergegas-gegas anak-anak yang lain datang menghampiri. "Lihatlah! Mesin perahu pun ikut dirusak! Rusak habis-habisan. Aduh — apakah yang sebenarnya telah terjadi di sini?" "Dan mana Bill?" tanya Dinah dengan bisikan parau. "Lenyap. Diculik orang," kata Philip lambat – lambat. "Ada orang datang menyergapnya malam-malam. Kurasa orang-orang itu tidak tahu kita ada di sini. Mereka mengira Bill seorang diri saja. Mereka menyekapnya — dan kini kita terdampar di Pulau Puffin tanpa ada kemungkinan melarikan diri!" Bab 14 BEBERAPA RENCANA Tiba-tiba semua merasa kecut ketakutan. Lucy-Ann jatuh terduduk, disusul oleh Dinah. Sedang Jack dan Philip terus menatap mesin yang berantakan, seolah-olah tidak bisa mempercayai penglihatan mereka. "Pasti kita sedang bermimpi," kata Dinah setelah beberapa saat. "Tidak mungkin ini benar-benar terjadi. Kemarin semuanya kan masih beres — lalu sekarang...” "Sekarang perahu kita berantakan sehingga kita tidak bisa pergi dari sini. Pemancar hancur, jadi kita tidak bisa mengirimkan berita, sedang Bill lenyap," kata Philip. "Ini bukan mimpi buruk — ini kenyataan." ` "Yuk, kita duduk beramai-ramai dalam kabin,"kata Lucy-Ann sambil mengusap matanya. "Kita duduk dekat-dekat. Jangan ada yang pergi." "Kasihan," kata Philip. Ia merangkul Lucy-Ann ketika anak itu duduk dengan sikap goyah. "Jangan cemas. Kita pernah mengalami kejadian yang lebih gawat daripada ini." "Tidak — ini kejadian terburuk yang pernah kita alami!" kata Dinah. Kiki merasa bahwa saat itu anak-anak sedang dalam keadaan tegang. Ia bertengger dengan tenang di bahu Jack- sambil mengeluarkan bunyi-bunyi pelan yang kedengarannya seperti hendak menghibur. Enggas dan Enggos duduk di geladak. Sikap mereka serius sekali. Mereka menatap lurus ke depan. Kelihatannya kedua puffin itu juga dapat merasakan bahwa telah terjadi sesuatu hal yang gawat. Perasaan anak-anak agak enak ketika mereka sudah berada dalam kabin. Mereka duduk saling berdekatan. Jack membongkar isi sebuah lemari kecil yang terdapat di sisinya. Diambilnya beberapa batang coklat dari situ. Anak-anak belum sempat sarapan pagi itu. Walau kekagetan mereka seolah-olah melenyapkan selera makan, tetapi coklat yang disodorkan oleh Jack diterima juga dan kemudian digigit sedikit-sedikit. "Coba kita reka-reka, apa yang sebetulnya telah terjadi," kata Jack sambil memberikan secuil coklatnya pada Kiki. "Yah — kita tahu, Bill gelisah tentang sesuatu," kata Philip. "Misalnya mengenai pesawat-pesawat terbang itu. Bill merasa pasti, ada sesuatu yang aneh sedang berlangsung di sini. Itu sebabnya ia pergi seorang diri dengan perahu ini. Dan rupanya ada yang melihatnya." "Ya — dan mungkin dengan salah satu cara, musuh-musuhnya kemudian tahu bahwa ia ada di sini," kata Dinah. "Mungkin saja mereka mengikutinya dari jauh, memperhatikan dirinya dengan bantuan teropong. Pokoknya, jelas mereka datang mencarinya kemari." "Dan menemukannya," kata Jack "Coba ia tidak kemari kemarin malam untuk mengutak-utik pemancarnya!" "Kalau itu tidak dilakukan olehnya, musuh-musuhnya itu barangkali akan memeriksa seluruh pulau dengan hasil bahwa kita pun ikut ketahuan," kata Dinah. "Sedang sekarang — mungkin orang-orang itu tidak tahu kita ada di sini." "Kalau ketahuan pun tidak apa-apa bagi mereka," kata Lucy-Ann sambil terisak pelan. “Orang-orang itu pasti tahu bahwa kita takkan berbahaya bagi mereka, karena berada di pulau yang tidak mungkin bisa kita tinggalkan." "Mereka mungkin kemari naik perahu motor," sambung Jack. “Perahu motor itu mereka tinggalkan di luar — lalu masuk kemari dengan sekoci dayung. Mereka mestinya mengenal celah sempit ini — atau melihat cahaya terang dari kabin sini. Bill pasti menyalakan lampu kabin, dan nyalanya kan terang sekali." "Betul! Dan pasti Bill disergap ketika sedang lengah, lalu dipukul sehingga pingsan," kata Philip dengan suara lesu. "Sekarang ia dibawa pergi oleh mereka! Entah bagaimana nasibnya sekarang." "Mereka kan — mereka kan tidak akan menyakiti Bill, ya?" kata Lucy-Ann. Suaranya bergetar. Tidak ada yang memberi jawaban. Anak itu mulai menangis lagi. "Jangan menangis, Lucy-Ann," kata Philip. "Kita pernah mengalami keadaan yang lebih gawat daripada ini, tak peduli apa kata Dinah tadi. Kita pasti bisa keluar dengan selamat dari kesulitan ini." "Tapi bagaimana?" kata Lucy-Ann sambil menangis terus. "Aku sama sekali tidak melihat ada kemungkinan. Dan kau juga tidak!" Ucapan Lucy-Ann memang benar. Philip menggaruk-garuk kepalanya, lalu memandang Jack. "Yah — kita perlu mengatur salah satu rencana dulu," kata Jack. "Maksudku — kita perlu menentukan sikap mengenai apa yang akan kita lakukan untuk berusaha lari dari sini. Begitu pula apa yang kita lakukan sampai kita bisa lari." "Tidakkah kawan-kawan Bill akan datang mencari kita apabila mereka tidak menerima kabar dari dia?" tanya Dinah tiba-tiba. "Huh! Apa gunanya itu untuk kita?" tukas Philip dengan segera. "Di sekitar sini ada beratus-ratus pulau kecil seperti tempat kita ini. Diperlukan waktu bertahun-tahun apabila segala pulau ini didatangi dan diperiksa satu-satu untuk mencari kita!" "Kita bisa membuat api unggun di atas tebing yang harus menyala terus, supaya kalau ada yang mencari kita akan bisa melihat asapnya pada siang hari, atau nyalanya waktu malam," kata Dinah bersemangat "Itu — seperti yang dilakukan para pelaut yang terdampar di pulau terpencil." "Ya, itu bisa kita lakukan," kata Jack. "Tapi payahnya musuh kita mungkin akan melihatnya pula — lalu datang dan menemukan kita di sini sebelum ada orang lain datang." Anak-anak membisu. Tidak ada yang tahu, siapa sebenarnya musuh yang dihadapi. Mereka rasanya begitu misterius, perkasa, dan menyeramkan. "Yah, apa boleh buat — menurutku tidak ada pilihan lain kecuali menyalakan api unggun seperti yang diusulkan oleh Dinah tadi," kata Philip setelah beberapa saat. "Kita harus menerima risiko api unggun itu kelihatan oleh musuh, lalu mereka datang mencari kita. Tapi kita harus berbuat sesuatu untuk memberi isyarat pada orang-orang yang mencari kita. Kita bisa saja berjaga-jaga, lalu cepat-cepat bersembunyi kalau musuh yang datang." "Bersembunyi? Di mana kita bisa bersembunyi?" tanya Dinah dengan nada mencemooh. "Tidak ada satu tempat pun di pulau ini yang bisa dijadikan persembunyian!" "Memang, katamu benar," kata Jack. "Tidak ada gua, tidak ada pohon kecuali beberapa batang yang tumbuh kerdil itu — sedang sisi tebing terlalu curam sehingga tidak bisa kita selidiki. Kita benar-benar dalam keadaan terjepit saat ini!" "Tidak adakah yang bisa kita lakukan untuk menolong Bill?" tanya Lucy-Ann dengan sedih. "Aku selalu saja terkenang padanya." "Aku juga," kata Jack. "Tapi aku saat ini tidak melihat kemungkinan untuk menolong diri kita sendiri. Apalagi menolong Bill! Kalau saja kita bisa minggat dari sini — atau meminta bantuan lewat radio dan memanggil beberapa kawan Bill kemari itu akan sudah lumayan. Tapi kelihatannya kita tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menunggu di sini. "Untung bekal makanan kita banyak," kata Dinah. "Makanan kalengan, biskuit dan daging asin, susu dan sarden...” "Sebaiknya kita angkut saja semuanya dari sini," kata Jack. "Aku heran, apa sebabnya musuh tidak membawa sebanyak mungkin tadi malam. Tapi mungkin juga mereka bermaksud akan kembali lagi untuk itu! Jadi kita dului saja mereka. Sebagian bisa kita sembunyikan dalam liang-liang burung puffin." "Kita sarapan dulu sekarang, yuk!" ajak Philip. Perasaannya sudah agak enak karena masalah yang dihadapi sudah dibicarakan, dan di samping itu sudah disusun pula beberapa rencana. "Kita buka beberapa kaleng makanan dan minum limun jahe beberapa botol. Ayo!" Perasaan anak-anak menjadi bertambah enak setelah perut mereka terisi makanan dan minuman. Pesawat pemancar yang berantakan mereka selubungi, karena tidak enak perasaan melihat keadaannya begitu. Selesai sarapan Jack naik ke geladak. Hawa sudah mulai pengap kembali. Bahkan angin yang bertiup pun terasa menyesakkan. Matahari yang bersinar di balik cadar awan tipis nampak kemerah-merahan. "Kemungkinan badai masih tetap ada," kata Jack. "Yuk, kita mulai saja sebelum badai datang." Mereka memutuskan bahwa Philip dan Dinah mencari kayu hanyut untuk dijadikan bahan api unggun di atas tebing. "Kita tidak tahu, apakah pesawat-pesawat terbang yang kadang-kadang kelihatan itu musuh kita atau bukan," kata Philip. "Kalau bukan, ada kemungkinan mereka datang dan terbang berputar di atas kita jika mereka melihat ada api di sini. Setelah itu mereka pasti akan memanggilkan bantuan. Mungkin saja akan ada lagi pesawat muncul hari ini. Jadi kita nyalakan saja api, lalu kita tumpukkan rumput laut kering di atasnya. Dengan begitu api kita akan banyak asapnya."‘ Jack dan Lucy-Ann bertugas mengangkut barang-barang dari perahu ke perkemahan di Lembah Tidur. "Bawa semua bekal yang bisa kalian angkut," kata Philip. "Kalau tidak, dan musuh datang lagi malam-malam lalu mengangkut segala-galanya, tamatlah riwayat kita. Kita akan kelaparan! Sedang jika kita angkut sekarang juga, akan cukup bekal untuk berminggu-minggu!" Keempat anak itu bekerja keras. Jack dan Lucy-Ann membawa makanan kaleng berkarung-karung dari perahu motor yang rusak ke Lembah Tidur. Untuk sementara bekal itu ditumpukkan saja dekat tenda-tenda. Kiki memeriksa kaleng-kaleng itu dengan penuh minat. Beberapa di antaranya dipatuk olehnya. "Untung paruhmu itu bukan alat pembuka kaleng, Kiki," kata Jack. Ia berkelakar untuk memancing Lucy-Ann agar mau tersenyum. "Coba kalau ya — bisa tidak banyak bekal tersisa untuk kami." Philip dan Dinah juga sibuk sekali. Masing-masing berbekal sebuah karung yang diambil dari perahu, lalu berjalan _menyusur pantai untuk mengumpulkan kayu hanyut. Cukup banyak yang mereka temukan sepanjang garis pasang tinggi Semua dimasukkan ke karung-karung yang mereka bawa, lalu dipanggul ke atas tebing. Enggas dan Enggos itu terus bersama mereka. Sikap kedua burung itu tetap serius, seperti biasa. Philip menumpahkan isi karungnya di suatu tempat yang dirasakan cocok. Setelah itu ia mulai menyalakan api, sementara Dinah pergi lagi untuk mencari rumput laut yang kering. Banyak juga hasil pencariannya. Jack dan Lucy-Ann, yang sedang menumpahkan isi karung mereka di perkemahan di Lembah Tidur, tidak lama kemudian melihat asap mengepul ke atas dari puncak tebing. "Lihatlah!" kata Jack. "Api unggun sudah menyala. Hebat!" Angin membelokkan arah asap ke timur. Kepulannya tebal sehingga anak-anak merasa yakin akan bisa kelihatan dari jauh. "Sebaiknya seorang dari kita selalu ada di sini untuk menjaga api, dan mengamat-amati kalau ada musuh atau kawan datang, kata Philip. "Bagaimana kita bisa tahu yang muncul nanti kawan atau lawan?" tanya Dinah sambil mencampakkan sebatang ranting ke api. "Yah - kita memang tidak bisa mengetahuinya," kata Philip. "Kurasa sebaiknya kita bersembunyi saja apabila nampak ada perahu datang — itu jika kita bisa menemukan tempat untuk bersembunyi! — dan satelah itu berusaha menyelidiki, apakah pendatang itu kawan atau musuh. Kita pasti akan bisa mendengar mereka bercakap-cakap. Kita perlu mengumpulkan kayu lebih banyak lagi, Di — api sebesar ini banyak memerlukan bahan bakar!" Lucy-Ann dan Jack datang membantu ketika keduanya sudah selesai dengan pekerjaan mereka. "Semua kalang dan makanan yang ada di perahu sudah kami`bawa pergi," kata Lucy-Ann. "Sekarang bekal kita benar-benar sudah banyak. Sedang apabila limun sudah habis, kan masih ada air dalam kolam batu. Limun memang sudah tidak banyak lagi yang tersisa. Kalian belum ingin makan sekarang?" "Ya — aku sudah lapar sekali," kata Philip. "Bagaimana kalau kita makan di sini saja? Atau terlalu merepotkan, Lucy-Ann? Soalnya, salah seorang dari kita harus ada di sini secara bergantian agar api kita tidak sampai padam." "Kurasa untuk sementara waktu takkan mungkin padam," kata Lucy-Ann. "Timbuni saja dengan rumput laut lagi. Terus terang- saja kami capek sekali setelah mengangkuti barang-barang sebegitu banyak Yuk— kita ke Lembah Tidur saja untuk istirahat sebentar sambil makan." Anak-anak turun ke Lembah Tidur. Kedua tenda yang ada di situ mengelepak-ngelepak kena tiupan angin. Sementara anak-anak yang lain duduk di rumput, Lucy-Ann sibuk membuka kaleng-kaleng makanan lalu menyendokkan isinya ke piring masing-masing. "Kita makan ikan salem dengan biskuit dan mentega, tomat dan buah pir," katanya. Bahkan Enggas dan Enggos pun lebih mendekat lagi dari biasanya, minta dibagi makanan seenak itu. Kalau diberi, ikan salem yang dihidangkan mampu mereka sikat habis berdua saja. Kiki memilih buah pir. Tapi ia hanya diberi sekaleng saja. "Coba kalau makanan seenak ini tidak ada — pasti lebih gawat lagi keadaan kita," kata Jack, setelah selesai makan. la menyandar ke belakang, menikmati kehangatan sinar matahari. "Petualangan tanpa makanan pasti tidak enak! Kiki — jangan kaumasukkan kepalamu ke dalam kaleng itu. Tadi kau sudah kebagian lebih banyak dari kami, Rakus!" Bab 15 BADAI DAHSYAT Mulai sekitar pukul lima petang angin bertambah kencang. Air di sekeliling pulau menggelora dibuatnya. Ombak besar berbuih-buih kejar-mengejar menuju pulau lalu memecah ke tebing dan pantai dengan bunyi berderu seperti guruh. Burung-burung meninggalkan teluk tempat mereka semula mengambang. Mereka terbang ke udara sambil berteriak-teriak. Angin membawa mereka melayang jauh tanpa perlu mengepakkan sayap. Burung-burung itu nampak asyik sekali. Kiki tidak suka apabila terlalu banyak angin, karena tidak bisa melayang seperti burung camar. Karenanya ia dekat-dekat saja ke tenda yang bergerak—gerak seperti hidup ditiup angin kencang. "Tidak mungkin kita bisa menjaga api semalaman," kata Philip. "Jadi sebaiknya kita timbuni saja dengan rumput laut dengan harapan akan menyala terus. Aduh — coba lihat, asapnya buyar kena tiupan angin!" . Matahari masuk ke balik awan berwarna ungu seram yang nampak bergumpal-gumpal di sebelah barat Jack dan Philip memandang ke arah itu. "Itu dia badainya," kata Jack. "Yah — sudah beberapa hari kita merasa akan datang badai, karena hawa sepanas selama ini biasanya berakhir dengannya. Mudah-mudahan saja malam nanti tenda-tenda kita tidak diterbangkan angin." "Ya — mudah-mudahan," kata Philip mengiakan. "Astaga, kencangnya angin bertiup! –Dan lihatlah awan menyeramkan itu!" Jack dan Philip memperhatikan awan hitam yang menutupi langit, menyebabkan petang itu menjadi lebih gelap lagi dari pada biasanya. Philip merogohkan tangan ke salah satu kantongnya. "Tikus-tikusku tahu akan ada badai," katanya. "Semuanya meringkuk berdempetan di dasar kantongku ini. Aneh — betapa binatang bisa mengetahui hal-hal seperti itu." "Jack!" seru Lucy-Ann dengan nada cemas. "Sudah amankah tenda-tenda kita menurut pendapatmu? Lihatlah — bagaimana keadaannya kena tiupan angin!" Jack dan Philip memeriksa keadaan tenda-tenda. Semua sudut telah dikokohkan dengan pasak-pasak. Tapi siapa yang berani meramalkan apa yang akan terjadi apabila angin bertiup demikian kencang? "Kita tidak bisa berbuat apa-apa kecuali berdoa semoga semua beres'," kata Jack dengan nada agak suram. "Sentermu ada padamu, Philip? Sebaiknya kita berjaga-jaga saja — mungkin kita perlu memasang pasak-pasak tenda kita lagi nanti apabila ada yang terlepas kena tiupan badai." Kedua anak laki-laki itu memiliki senter yang baru saja diganti baterainya, jadi soal itu beres. Keduanya meletakkan senter masing-masing di sebelah pembaringan, ketika malam itu mereka merebahkan diri di situ. Semua cepat masuk ke tempat tidur karena di luar gelap sekali, ditambah pula dengan hujan lebat yang mulai turun. Dan yang paling menentukan adalah mereka berempat sudah lelah sekali setelah bekerja keras hari itu. Kiki ikut masuk ke dalam tenda bersama Jack dan Philip, seperti biasa. Sedang Enggas dan Enggos bergegas masuk ke dalam liang mereka di dekat situ. "Aku ingin tahu, bagaimana keadaan Bill saat ini," kata Jack pada Philip, sementara keduanya berbaring sambil mendengarkan bunyi angin menderu-deru di luar. "Pasti ia sangat cemas memikirkan kita!” "Sayang, ya — padahal semula kita sudah mengira akan bisa mengalami liburan yang sangat menyenangkan," kata Philip. "Dan sekarang cuaca pun lembah menjadi buruk! Apa yang akan kita lakukan jika keadaannya begini terus selama berhari-hari? Bisa gawat!" "Ah — kurasa cuaca akan cerah kembali apabila badai sudah lewat," kata Jack, "Aduh, coba dengarkan bunyi ombak mengepas ke tebing yang curam, serta derunya melanda pantai! Burung-burung yang di luar pasti tidak bisa tidur malam ini. "Bunyi angin pun dahsyat sekali," kata Philip. "Sialan! Aku capek sekali rasanya, tapi dengan keributan begini mana mungkin bisa tidur?! Astaga — bunyi apa itu?" "Bunyi guntur," kata Jack sambil duduk lagi. "Badai sudah sampai di atas kita sekarang. Yuk — kita pindah ke tenda Dinah dan Lucy-Ann, Philip. Lucy-Ann pasti takut jika ia masih bangun. Badai di pulau kecil terbuka seperti ini memang menakutkan." Kedua anak laki-laki itu merangkak masuk ke tenda yang satu lagi. Ternyata Dinah dan Lucy-Ann masih belum tidur. Keduanya merasa lega melihat kedua abang mereka datang. Dinah berpindah masuk ke bawah tumpukan selimut di pembaringan Lucy-Ann, sedang Jack dan Philip menyusup ke dalam selimut yang ditinggalkan oleh Dinah. Jack menyalakan senternya. Ia melihat Lucy-Ann sudah hampir-hampir menangis karena ketakutan. "Tidak ada yang perlu kautakutkan," kata Jack lembut. "Ini kan cuma badai — dan kau kan tahu sendiri, selama ini kau belum pernah takut pada badai." "Ya, aku tahu," kata Lucy-Ann sambil meneguk ludah. "Cuma — badai ini rasanya dahsyat sekali — dan rasanya seperti benci pada kita. Tenda kita ditarik-tariknya, dan bunyinya seolah-olah auman untuk menakut-nakuti. Aku merasa seolah-olah badai ini hidup." Jack tertawa. Saat itu guntur menggema lagi. Bunyinya nyaring sekali, mengalahkan bunyi ombak yang memecah di pantai. Kiki merapat ke tubuh Jack. "Plok, plok, plok," kata Kiki, lalu menyembunyikan kepalanya di bawah sayap. "Bunyi guntur bukan begitu, Kiki," kata Jack mencoba berkelakar. Tapi tidak ada yang merasa geli. Angin bertiup semakin menggila. Anak-anak menggigil kedinginan. Tiba-tiba petir menyambar. Anak-anak kaget, karena cahayanya begitu menyilaukan. Sesaat tebing dan laut yang menggelora nampak jelas sekali. Setelah itu semuanya gelap kembali. Bum! Guntur membahana sekali lagi — bunyinya seperti tepat di atas kepala. Setelah itu petir kembali membelah langit. Sekali lagi anak-anak melihat bentuk tebing dan laut dengan jelas. Terdapat kesan seolah-olah yang nampak bukan benda-benda yang sebenarnya. "Seolah-olah melihat alam lain," kata Philip. "Aduh, bukan main bunyi hujan. Badanku basah kena percikkan air yang masuk— walau semuanya sudah tertutup rapat sekali!" "Angin bertambah kencang," kata Lucy-Ann ketakutan. "Bisa lenyap tenda kita diterbangkannya nanti. Pasti itu akan terjadi. Pasti, pasti!" "Tidak, tidak mungkin," kata Jack dengan tabah. Dipegangnya tangan Lucy-Ann yang terasa dingin untuk menenangkan adiknya itu. "Tidak mungkin angin me..." Tapi tepat saat itu terdengar bunyi barang sobek, di susul suara mengelepak. Ada sesuatu menampar muka Jack, dan — tenda mereka lenyap! Sesaat anak-anak seperti terpaku karena kaget. Angin menderu di sekeliling mereka. Tubuh mereka basah kuyup tersiram hujan lebat. Tak ada lagi yang menaungi mereka — karena tenda sudah lenyap. Lenyap dibawa angin yang mengamuk di tengah kegelapan malam. Lucy-Ann menjerit sambil memeluk Jack. Jack menyalakan senternya cepat-cepat. . "Astaga! Tenda kita lenyap dibawa badai! Cepat, kita pindah ke tenda yang satu lagi!" Tapi sebelum mereka sempat berdiri, tenda yang kedua pun ikut diterbangkan badai. Tenda itu melayang dekat Philip yang saat itu sedang membantu Dinah dan Lucy-Ann berdiri. Ketika ia berpaling untuk melihat tenda itu, ternyata yang dicari sudah tidak ada lagi. "Tenda kita pun sudah lenyap, Jack!" serunya, berusaha mengatasi deru angin. "Bagaimana sekarang?" "Sebaiknya kita pergi ke perahu — kalau bisa." teriak Jack. "Atau mungkinkah kita nanti terbawa angin? Apakah lebih baik jika kita menggulung tubuh kita dalam selimut dan alas tenda, menunggu sampai badai sudah lewat?" "Tidak — nanti basah kuyup tubuh kita! Lebih baik kita berusaha mencapai perahu," kata Philip. Ditariknya Dinah dan Lucy-Ann supaya berdiri. Anak-anak membungkus tubuh masing-masing dengan selimut untuk sedikit menahan serangan hujan dan hawa dingin. "Pegangan tangan dan jangan terlalu berpisah-pisah!" seru Philip mengatasi bunyi angin dan hujan. "Aku jalan paling depan." Keempat anak itu berpegangan tangan. Philip mulai melangkah. Geraknya tersaruk-saruk melawan dorongan angin yang melanda dari arah depan. Dengan susah payah ia merambah jalan di tengah pemukiman burung puffin. Dinah yang memegang tangan Philip tiba-tiba merasa dirinya tertarik. Gerakan mengejut itu disusul suara abangnya berteriak. Dinah ketakutan, lalu memanggil-manggil, "Philip! Ada apa, Philip?" Abangnya tidak menjawab. Sementara itu Jack dan Lucy-Ann datang menghampiri. "Ada apa? Mana Philip?" Jack menyorotkan senternya ke arah depan. Tidak kelihatan Philip di situ. Anak itu secara tiba-tiba saja lenyap. Dengan hati berdebar keras, ketiga anak lainnya berdiri seperti terpaku di tempat masing-masing. Mereka heran bercampur ngeri. Jangan-jangan Philip dibawa badai! "PHILIP! PHILIP!" seru Jack berulang-ulang. Tapi hanya deru angin saja- yang kedengaran sebagai jawaban. Kemudian ketiga—tiganya berteriak memanggil-manggil. Jack merasa seperti mendengar seruan samar menjawab. Tapi dari mana? Kedengarannya seperti datang dari bawah, dekat kakinya. Jack mengarahkan sorotan senternya ke bawah. Ia kaget dan takut sekali ketika melihat kepala Philip —tapi hanya kepalanya saja, seperti tersembul dari dalam tanah. Dinah terpekik ngeri. Jack cepat-cepat berlutut. Ia tidak bisa mengatakan apa-apa, saking kagetnya. Philip tinggal kepalanya saja — hanya kepala .... Tiba-tiba Jack menyadari apa sebenarnya yang telah terjadi. Rupanya tadi Philip menginjak tanah yang bagian bawahnya ada liang tempat burung puffin bersarang. Tanah yang diinjaknya terban, dan ia terhenyak masuk ke dalam lubang yang terdapat di bawah. Jack merasa seperti mau menangis karena lega. "Kau tidak apa-apa, Philip?" serunya. "Semua beres," jawab Philip sambil berteriak pula. "Tolong kemarikan sentermu. Punyaku terlepas dari pegangan tadi. Rupanya aku terjerumus ke dalam lubang yang besar sekali. Mungkin cukup lapang untuk tempat kita berteduh." Jack mendengarnya hanya secara samar-samar saja — begitu keras deru angin yang bertiup saat itu. Jack menyodorkan senternya pada Philip. Kepala anak itu hilang sebentar. Lalu muncul kembali, tersembul di sela-sela rerumputan. "Ya, ternyata lubang di bawah sini besar sekali," kata Philip. "Bisakah kalian turun ke sini? Di sini kita bisa menunggu dengan tenang sampai badai lewat. Tidak perlu menjadi basah seperti di atas. Ayolah! Di sini memang agak bau — tapi masih bisa ditahan." Dinah merosot ke bawah lewat mulut lubang yang sempit. Ia sampai di dasar lubang, di samping Philip. Kemudian menyusul Lucy-Ann, lalu Jack. Jack menemukan senter Philip yang tadi terjatuh. Kini dua senter disorotkan berkeliling ruangan bawah tanah itu. "Kurasa kelinci dan burung puffin bersama-sama menggali di sini sehingga sekarang terdapat lubang yang begini besar," kata Jack. "Lihatlah — di sebelah sana ada liang puffin — dan seekor burung itu memandang kita dengan heran. Halo! Maaf ya, tadi kami masuk begitu saja tanpa minta permisi lagi." Kelegaan perasaan melihat Philip selamat, begitu pula kenyataan bahwa bunyi bising yang ditimbulkan badai tidak mengganggu lagi, menyebabkan Jack menjadi riang gembira. Lucy-Ann pun tidak terisak-isak lagi. Anak-anak memandang berkeliling dengan penuh minat. “Menurutku, ini rongga buatan alam," kata Philip, "dengan lapisan tanah kokoh di atas karena ditahan akar rerumputan. Tapi penggalian yang dilakukan burung-burung puffin menyebabkan bagian atasnya menjadi rapuh sehingga runtuh sewaktu kupijak tadi. Yah — dan tepat inilah yang kita perlukan saat sekarang ini." Di atas mereka badai masih terus mengamuk, walau bunyinya hanya terdengar samar karena tertahan semak dan rerumputan. Hujan tidak masuk ke dalam rongga. Guntur terdengar jauh bunyinya, sementara kilatan petir sama sekali tidak nampak. "Kenapa kita tidak tidur di sini saja malam ini," kata Jack sambil menghamparkan selimut yang tadi menyelubungi bahunya. "Tanah di sini kering dan empuk, sementara udara mestinya cukup segar — karena Puffin tadi masih tetap ada, menatap kita. Wah — mudah-mudahan saja Enggas dan Enggos tidak apa-apa di atas." Anak-anak menghamparkan selimut masing-masing, lalu berbaring saling berdekatan. "Selamat, Philip - karena berhasil menemukan tempat berteduh yang begini bagus untuk menginap malam ini," kata Jack sebelum tertidur. Gudang Download Ebook: www.zheraf.net http://zheraf.wapamp.com Bab 16 KEESOKAN HARINYA Semua tidur nyenyak dalam tempat perlindungan mereka yang aneh itu. Mereka baru bangun ketika matahari sudah sepenggalah tingginya - jadi sudah agak siang. Soalnya, dalam rongga bawah tanah itu gelap. Lagi pula mereka capek sekali. Jack yang paling dulu bangun, karena merasa Kiki bergerak dekat lehernya. Sesaat itu tidak tahu di mana ia berada. Sinar matahari merembes masuk lewat mulut rongga tapi hanya sedikit saja. Hawa di dalam sangat panas. "Rrrrr!" Jack kaget ketika mendengar suara yang parau. "Rrrrr!" Yang berbunyi itu burung puffin yang kemarin malam masuk ke dalam liangnya untuk melihat anak-anak. Jack menyalakan senternya, lalu memandang burung itu sambil nyengir. "Selamat pagi — jika sekarang memang pagi. Maaf, jika kau sampai terganggu karena kedatangan kami. Nanti akan kuminta pada Enggas dan Enggos untuk menjelaskan sebabnya padamu." Saat itu Philip bangun dan langsung duduk. Setelah itu Dinah dan Lucy-Ann mulai bergerak-gerak. Tidak lama kemudian semua sudah bangun. Mereka memandang ke sekeliling rongga asing itu, sementara pelan-pelan timbul lagi ingatan pada--- kejadian-kejadian malam sebelumnya. "Bukan main — malam tadi!" kata Dinah sambil bergidik. "Aduh — ketika tenda kita diterbangkan - angin, aku benar-benar ngeri saat itu!" "Apalagi ketika Philip tahu—tahu lenyap," kata Lucy-Ann. "Pukul berapa sekarang, Jack?" Jack memandang arlojinya. la bersiul karena kaget. "Astaga — sudah hampir pukul sepuluh. Lama sekali kita tidur! Yuk, kita periksa sebentar, apakah badai masih selalu mengamuk di luar!" Ia berdiri, lalu menyibakkan semak yang menutupi lubang masuk ke rongga itu. Seketika itu juga anak-anak terkejap-kejap matanya, silau kena sinar matahari yang memancar masuk. Jack menyembulkan kepalanya ke luar. "Huiii! Cuaca cegah sekali di luar!" serunya dengan gembira. "Langit sudah biru kembali. Di mana-mana terang. Badai sudah lewat! Yuk, kita keluar." Anak-anak saling membantu memanjat ke atas. Begitu semua sudah keluar dan semak belukar menutupi mulut rongga, sedikit pun tidak nampak lagi tempat mereka menginap malam itu. "Tidakkah ini tempat persembunyian yang bagus sekali?" kata Jack. Anak-anak yang lain memandangnya. Serempak semuanya mendapat pikiran sama. "Ya! Dan jika musuh datang — ke situlah kita pergi!" kata Dinah. "Mereka takkan bisa menemukannya, kecuali -jika mereka melangkah di atas mulut lubang sehingga terperosok ke dalam. Aku sendiri saja sekarang tidak tahu lagi di mana letak lubang itu — padahal baru saja keluar dari situ!" — Aduh — jangan-jangan kita tidak tahu lagi tempatnya," kata Jack. Anak-anak sibuk mencari-cari letak mulut lubang. Akhirnya Jack yang menemukannya — dengan cara sama seperti dialami Philip malam sebelumnya. Ia terperosok ke dalam. Setelah keluar lagi ditancapkannya sebatang ranting di sampingnya, supaya lain kali tidak perlu repot-repot lagi mencari. "Kita tidur saja di bawah sana setiap malam, karena tenda-tenda kita sudah tidak ada lagi," kata Jack mengusulkan. "Sayang, selimut kita ikut dibawa ke atas tadi. Tapi biarlah karena memang perlu dijemur. Kita hamparkan saja di atas rumput." "Untung angin menyeramkan yang kemarin sudah tidak bertiup lagi," kata Dinah. "Sekarang bahkan hampir tidak ada angin sama sekali. Hawa hari ini pasti akan panas sekali. Yuk, kita mandi-mandi." Anak-anak mandi di laut yang teduh. Lain sekali kelihatannya saat itu dibandingkan dengan keadaannya yang bergelora pada hari sebelumnya. Kini nampak begitu tenang dan biru. Ombak kecil-kecil berkejar-kejaran ke arah pantai, berhiaskan mahkota buih memutih. Sehabis mandi anak-anak sarapan di tempat mereka berkemah sebelum tenda-tenda diterbangkan angin. Enggas dan Enggos muncul begitu anak-anak tiba. Keduanya menyambut dengan gembira. "Rrrrr! Rrrrr!" "Mereka mengatakan, mudah-mudahan ada sarapan yang enak untuk mereka," kata Dinah. "Kenapa kalian tidak makan tikus saja, Enggas dan Enggos! Kalau mau, maka kalian ada gunanya." Dinah jengkel karena tikus-tikus putih piaraan Philip muncul kembali setelah badai berlalu. Lincah sekali mereka pagi itu. Seekor di antaranya masuk ke dalam kantong Jack untuk mencari biji bunga matahari di situ. Tikus itu menamukan sebuah lalu dibawanya ke luar. Ia duduk memakannya di atas lutut Jack. Tapi Kiki langsung menyambar biji bunga matahari, sementara Pencicit lari terbirit-birit kembali ke tempat Philip. "Kau ini pendengki, Kiki," tukas Jack. "Kau sendiri tidak mau makan biji bunga matahari — tapi jika Pencicit hendak memakannya, kau tidak rela. Huh, apa itu?!" "Huh-hih-hah," kata Kiki dengan segera, lalu tertawa tercekakak dekat telinga Jack. Anak itu mendorong Kiki pergi. "Sekarang aku pasti tuli sepanjang hari!" kata Jack. "Awas, Lucy-Ann — jaga daging asin itu. Enggas kelihatannya Sangat tertarik melihatnya." "Masih untung ada yang tersisa bagi kita sendiri — melihat Kiki saban kali mencopet buah dari dalam kaleng, Enggas dan Enggos mengemis-ngemis minta daging asin, dan tikus-tikus putih piaraan Philip berkeliaran mencari makan!" kata Lucy-Ann. Tapi walau begitu menyenangkan juga bahwa binatang-binatang itu ikut makan bersama mereka. Rupanya sudah merasa seperti keluarga sendiri. Enggas dan Enggos kocak sekali pagi itu, karena kini mereka sudah benar-benar jinak. Segala-galanya ingin mereka periksa. Tahu-tahu Enggas tertarik melihat garpu yang dipakai oleh Dinah. Alat makan itu dipatuknya. "Aduh, jangan kautelan, Goblok!" seru Dinah sambil berusaha mengambil garpunya kembali. Tapi paruh Enggas kuat sekali. Ia memenangkan pertandingan adu tarik garpu itu. Ia agak menjauh agar dapat memeriksa garpu itu dengan tenang. "Jangan khawatir, ia takkan menelannya," kata Philip. Dilemparkannya garpunya sendiri pada Dinah. "Biarkan ia bermain-main sebentar dengan garpumu itu supaya ia agak tenang." Api unggun yang dinyalakan anak-anak sehari sebelumnya tentu saja sudah padam. Mereka terpaksa menguraikan unggun kayu dan rumput yang basah lalu menyalakannya sekali. Pekerjaan itu sama sekali tidak mudah. Untung saja sinar matahari panas sekali, sehingga beberapa saat kemudian kayu dan rumput timbunan itu sudah kembali kering kerontang. Hari itu anak-anak sama sekali tidak makan siang. Soalnya, ketika mereka akhirnya selesai sarapan pagi hari sudah pukul dua belas. "Nanti saja kita makan saat minum teh pukul lima petang," kata Jack. "Sekarang banyak sekali yang harus kita lakukan! Mencari tenda-tenda yang diterbangkan angin, menyalakan api unggun, mencari tambahan kayu bakar — lalu memeriksa keadaan perahu motor." Tenda-tenda yang dicari tidak berhasil mereka temukan. Yang tersisa hanya satu atau dua pasaknya saja. "Tenda-tenda itu mungkin kini berada di salah satu pulau lain, bermil-mil dari sini," kata Jack. "Biar burung-burung laut yang tinggal di sana ketakutan karenanya. Yah - bagaimana jika malam ini kita tidur lagi dalam rongga tadi?" "Aduh, jangan — di situ bau," kata Lucy-Ann. "Hawa sekarang kan sudah tidak dingin lagi. Pasti kita bisa tidur di luar, beralaskan selimut yang dihamparkan di atas rumput. itu kan enak!" Philip mendongak, memperhatikan langit yang biru cerah. Tidak ada awan nampak saat itu. "Yah — kalau cuaca nanti malam masih begini, enak juga tidur di luar," katanya. "Begitu sajalah rencana kita — asal cuaca nanti tidak berubah lagi. Sekarang kita cari tempat yang empuk. Kalau sudah dapat, kita taruh selimut-selimut di sana bersama pakaian kita, lalu kita tutupi dengan alas tenda. Untung alas itu hanya diterbangkan angin sampai pohon-pohon kerdil itu dan menyangkut di sana!" Mereka menemukan tempat empuk berumput tebal tidak jauh dari tempat Lucy-Ann menyimpan perbekalan di bawah batu besar. Semua baju hangat tambahan, begitu pula mantel-mantel hujan, selimut-selimut dan alas tenda mereka letakkan di situ. Lucy-Ann mulanya menyimpan semua baju tambahan mereka di bawah batu tempat perbekalan. Tapi air hujan malam sebelumnya masuk ke tempat itu sehingga segala baju di situ menjadi lembab. Akhirnya diputuskan untuk memanfaatkannya sebagai baju tidur tambahan pada malam hari. Sedang siang hari baju-baju itu ditaruh di bawah alas tenda. Setelah semuanya selesai dilakukan, anak-anak pergi melihat api unggun mereka yang sementara itu sudah berkobar kembali. Mereka duduk-duduk di puncak tebing, menghadap laut tenang berwarna biru cerah, sementara burung-burung laut terbang mengitari sambil berteriak-teriak. "Apa itu?" tanya Lucy-Ann tiba-tiba. Ia menuding ke arah sesuatu yang mengapung di air, tidak jauh dari garis pantai. " "Kelihatannya seperti onggokan kayu," kata Philip. "Barangkali berasal dari kapal karam. Mudah-mudahan saja nanti hanyut ke pantai. Kita bisa memanfaatkannya untuk api unggun kita." Banda hanyut itu pelan-pelan menepi dibawa arus air pasang. Philip memperhatikannya dengan teropong. Tapi kemudian teropong itu dilepaskannya dari matanya dengan gerakan lambat. Anak-anak yang lain merasa takut melihat sikapnya yang jelas kaget sekali. "Ongg0kan kayu itu kelihatannya seperti puing-puing Lucky Star," kata Philip. "Dan lihatlah, di sebelah sana masih ada lagi onggokan lain. Kurasa kita bisa menemukan sisanya di batu-batu karang di bawah tebing ini." Sesaat semuanya membisu karena kaget. Selama itu tidak seorang pun memikirkan kemungkinan perahu motor mereka hancur dilanda badai. Jack meneguk ludah. Kalau itu sampai terjadi — wah, gawat! "Yuk — lebih baik kita periksa saja sekarang," katanya sambil bangkit "Kurasa memang besar kemungkinannya pecah dihantam ombak — tapi di pihak lain, bagaimana pun kita tidak berkemungkinan memindahkannya. Wah — sial sekali apabila perahu kita hancur! Karena walau mesinnya berantakan, sebenarnya kan masih bisa dipakai. Kita bisa memasang layar — atau kemungkinan lainnya .... " Tanpa berbicara anak-anak meninggalkan api unggun, berjalan menuruni bagian tebing yang runtuh, lalu menyusur tonjolan-tonjolan pada permukaan tebing sampai ke pelabuhan sempit. Tidak ada perahu lagi di situ. Yang tersisa daripadanya hanya sepotong tali tambatannya saja, yang masih terikat ke batu di dekat situ. Bagian tali yang terputus melambai-lambai dipermainkan angin semilir. "Lihatlah!" kata Jack sambil menuding. "Rupanya perahu kita terbanting-banting dihantam ombak yang datang ke dalam lewat celah sempit itu! Lihatlah — di batu ini nampak bekas-bekas cat, di mana lambungnya menghantam! Dan lihat saja serpihan kayu yang berserakan di mana-mana. Rupanya begitu tali penambat itu putus, perahu kita diseret arus ke luar dari celah, lalu hancur berantakan terhantam ke dasar tebing. Aduh, sayang!" Air mata Dinah dan Lucy-Ann berlinang-linang di pelupuk. Bahkan Philip pun terpaksa memalingkan muka, karena tidak mau ketahuan bahwa ia ikut merasa sedih. Sayang sekali, perahu motor sebagus itu! Sekarang yang tersisa hanya onggokan puing—puing belaka, yang gunanya hanya sebagai bahan bakar api unggun mereka. Lucky Star yang malang — lebih cocok jika namanya Bintang Malang dan bukan Bintang Mujur! "Apa boleh buat, kita memang tidak bisa mencegah kejadian ini," kata Jack setelah beberapa saat. "Bagaimanapun juga, badai pasti akan menghancurkannya A walau jika Bill ada di sini dan mesin perahu tidak apa-apa, ia pasti bisa memindahkannya ke Teluk Cebur lalu kita beramai-ramai menyeretnya naik ke atas pasir sehingga gelombang tidak bisa menghantamnya. Ini bukan kesalahan kita." Dengan perasaan lesu dan sedih mereka naik lagi ke atas tebing, meninggalkan pelabuhan kecil celaka itu. Matahari sudah menurun di barat Petang itu sangat tenang dan indah. Angin hampir-hampir tak terasa bertiup. "Ada pesawat terbang lagi!" kata Lucy-Ann. Pendengarannya yang tajam telah menangkap bunyi mendengung di kejauhan, mendului anak-anak yang lain. "Dengar!" Di kejauhan nampak sebuah bintik hitam, rendah di langit biru. Jack dan Philip cepat-cepat memperhatikan bintik itu dengan teropong mereka. Jack berseru kaget. "Ada sesuatu yang dijatuhkan — lihatlah!"katanya. "Apa itu, Philip? Payung terjun?" "Kelihatannya memang seperti payung terjun berukuran kecil — sedang di bawahnya ada sesuatu terayun-ayun," kata Philip yang masih terus menatap dengan teropongnya. "Orangkah itu? Tidak, bukan 0rang! Kalau begitu, apa? Dan apa sebabnya pesawat itu menjatuhkan segala macam benda di sini? Aduh — coba Bill ada di sini sekarang sehingga bisa ikut melihatnya. Memang — di sini memang sedang berlangsung hal-hal yang aneh. Pasti itu perbuatan musuh. Aku takkan heran jika mereka cemas apabila melihat asap api unggun kita, lalu datang untuk memeriksa pulau ini. Besok seorang dari kita harus selalu ada di atas tebing untuk mengamat-amati." Anak-anak kembali ke Lembah Tidur dengan perasaan haru biru. Saat itu sudah waktunya makan sore. Dinah dan Lucy-Ann bekerja menyiapkan makanan tanpa berkata-kata. Ternyata mereka sudah terjerumus ke dalam petualangan lagi — petualangan yang kelihatannya tanpa jalan ke luar! Bab 17 ADA PERAHU DATANG "Jika pesawat-pesawat itu ternyata memang musuh kita, menurut kalian adakah gunanya api unggun kita nyalakan terus?" tanya Lucy-Ann kemudian. "Yah — jika kita ingin ada yang datang menyelamatkan, kita perlu membuat salah satu isyarat sebagai tanda bahwa kita ada di sini," kata Jack. "Kita harus menanggung risiko isyarat itu kelihatan dari pesawat terbang. Siapa tahu, mungkin akan ada orang datang dengan perahu motor mencari kita apabila berita dari Bill tidak masuk lagi. Nah — kalau ada orang datang mencari, mereka pasti akan melihat isyarat kita, lalu menuju kemari." "Mudah-mudahan saja," kata Dinah. "Aku tidak ingin berbulan-bulan terdampar di sini. Bayangkan bagaimana gawatnya musim dingin nanti di pulau ini!" "Aduh, jangan bicarakan mengenai terdampar di sini di musim dingin!" seru Lucy-Ann ketakutan. "Sekarang kan baru bulan Mei!" "Biasa — Dinah kan selalu melihat segala hal dari segi yang paling suram," kata Philip. Dinah langsung marah. "Sama sekali tidak begitu!" tukasnya. "Aku hanya memakai akal sehatku. Kau selalu mengatakan itu 'sikap memandang suram’, 'bersikap pesimis', dan sebagainya!" "Aduh — janganlah bertengkar," pinta Lucy-Ann. "Saat ini kita harus bersatu padu. Dan jangan jail, Philip! Jangan kaubiarkan tikus-tikus itu mendekati Dinah!" Philip menjentikkan jarinya. Dengan segera tikus-tikus putihnya lari masuk ke dalam kantongnya. Kiki mendengus, seperti mencemoohkan. "Tiga tikus buta, lihat mereka lari, tus Kiki meletus!" "Rrrr," kata Enggas. Kocak sekali rasanya melihatnya bersama Enggos seolah-olah berbicara dengan Kiki. Mereka selalu hanya memperdengarkan bunyi itu-itu terus. Tapi nadanya selalu berubah-ubah sehingga kadang-kadang seperti sedang mengobrol. Malam itu anak-anak tidur di luar. Malam indah sekali. Bintang--bintang nampak seolah-olah bergantungan di langit yang luas dan cerah. Lucy-Ann berjaga-jaga kalau ada bintang jatuh. Ia suka sekali melihatnya. Tapi malam itu ia tidak melihatnya sama sekali. Pembaringannya sangat nyaman. Anak-anak memilih tempat yang berumput tebal di mana mereka kemudian menghamparkan alas serta selimut-selimut sementara pakaian tambahan mereka jadikan bantal. Angin sepoi-sepoi membelai pipi dan rambut mereka. Senang sekali rasanya berbaring di situ — dengan bintang-bintang kemilau di atas kepala, serta bunyi laut di kejauhan. "Kedengarannya seperti bunyi angin di sela dedaunan," pikir Lucy-Ann dalam keadaan setengah tidur. "Sedang angin yang berhembus di dedaunan kedengarannya seperti bunyi laut. Wah — aku mulai ngawur — ngaw — nga —" Keesokan harinya cuaca masih tetap bagus. Asap api unggun menjulang hampir tegak lurus ke atas, karena angin nyaris tak ada saat itu. Jack dan Philip sibuk memotret burung—burung. Berulang kali Jack memandang ke dinding tebing yang terjal tempat penghunian burung-burung laut. Ia kepingin menuruni tebing sedikit untuk memotret burung-burung yang ada di situ. "Bill mengatakan jangan," kata Philip. "Dan menurutku, sebaiknya memang kita tidak melakukannya. Kalau ada sesuatu terjadi dengan kita berdua, lalu bagaimana nanti dengan Dinah dan Lucy-Ann? Kita kan sudah banyak sekali membuat foto tanpa telur dan burung-burung yang ada di bawah sana." "Coba puffin-puffin ini sudah masanya bertelur," kata Jack. "Sampai sekarang sebutir telur pun belum kutemukan. Mungkin sekarang belum saatnya. Anak puffin pasti lucu sekali rupanya! Aku kepingin melihatnya." "Melihat keadaannya sekarang, keinginanmu itu mungkin bisa menjadi kenyataan," kata Philip dengan erangan setengah melucu. "Mungkin kita akan lama terdampar di sini." Seperti sudah direncanakan, salah seorang anak harus selalu ada di atas tebing untuk menjaga. Dari tempat tinggi itu pandangan dapat diarahkan hampir ke seluruh pulau. Jika ada yang datang, dari kejauhan pasti akan sudah ketahuan. Dengan begitu akan cukup banyak waktu untuk memberitahukan anak-anak yang lain, lalu bersama-sama pergi menyembunyikan diri. "Kurasa sebaiknya semua barang-barang kita disembunyikan saja ke dalam rongga di bawah tanah," kata Lucy-Ann ketika mereka sedang mengatur rencana. "Kalau dibiarkan tetap di bawah batu, akan cepat_ sekali ketahuan." "Ah, kita timbuni saja dengan rerumputan," kata Jack. "Malas rasanya setiap kali harus keluar masuk lubang setiap kali kita hendak makan." Akhirnya diaturlah rerumputan di bawah batu besar di mana kaleng-kaleng makanan disimpan. Orang lain takkan menyangka rerumputan itu tidak semula sudah tumbuh di situ. "Jika kita melihat ada orang datang, masih cukup waktu untuk mencampakkan pakaian serta barang-barang kita yang lain ke dalam rongga bawah tanah itu," kata Jack. "Biar aku saja yang mendapat giliran pertama menjaga di atas tebing. Aku takkan merasa bosan, karena begitu banyak burung di sana — dan Kiki gemar sekali berkelakar dengan mereka. Melihatnya, tidak kalah asyiknya seperti menonton pertunjukan pantomim." Dua hari berlalu tanpa ada kejadian yang luar biasa. Sekali mereka mendengar bunyi pesawat terbang. Tapi mereka tidak melihatnya. Kayu-kayu bekas perahu Lucky Star yang pecah mereka temukan lagi terdampar di pantai. Anak-anak pergi mandi di laut serta makan dan tidur, sementara selalu satu di antara mereka menjaga di atas tebing. Tapi tidak nampak sesuatu yang bisa menimbulkan kegelisahan. Kiki selalu menemani Jack menjaga. Sedang Enggas dan Enggos memilih giliran bersama Philip. Sekali seekor puffin lain datang menghampiri Philip. Terlalu dekat, menurut perasaan Enggas. Dengan segera burung itu menyeruduk teman sejenisnya itu sambil memperdengarkan bunyi "rrr" seperti anjing sedang marah. Kedua burung itu saling beradu paruh. Philip tertawa terpingkal-pingkal menonton pertarungan kocak itu. "Perang paruh," katanya ketika kemudian bercerita mengenainya. "Kalau menjangan jantan berkelahi dengan saling beradu tanduk — kedua puffin tadi tidak kalah sengitnya mengadu paruh mereka." "Siapa yang menang? Enggas?" tanya Lucy-Ann dengan penuh minat. "Tentu saja," kata Philip. "Bukan cuma menang, tapi puffin yang satu lagi dikejarnya terus sampai masuk ke dalam liang burung itu, lalu keluar lagi lewat lubang lainnya. Enggas berhasil menyusul musuhnya. Aku heran melihat burung itu masih punya bulu ketika akhirnya Enggas puas menghajarnya." Sore hari ketika Jack sedang duduk di atas tebing tempat pemukiman burung laut. Saat itu gilirannya menjaga. Ia memandang ke arah laut dengan malas-malasan. Hari itu angin bertiup sedikit lebih kencang daripada biasa. Ombak yang bergerak ke tepi berhiaskan buih di puncak-puncaknya. Sambil memandang, Jack terkenang pada Bill. Di manakah ia sekarang? Apakah yang terjadi dengan dirinya? Mungkinkah ia berhasil melarikan diri — dan jika betul begitu, akan cepatkah ia datang untuk menyelamatkan mereka? Dan bagaimana dengan Bibi Allie? Sudahkah ia mendengar kabar bahwa dari Bill sama sekali tidak ada berita — dan apakah karenanya Bibi gelisah sekarang? Jack sibuk merenung tentang segala hal itu sambil mendengarkan bunyi burung yang beraneka ragam di sekitarnya serta gerak terbang mereka yang sedap dipandang mata di atas permukaan laut Tapi tiba-tiba matanya terpicing. Ia melihat sesuatu di tengah laut. Sikapnya berubah, menegang. Diraihnya teropong, lalu didekatkannya ke mata. Ternyata benda yang dilihatnya di kejauhan itu sebuah perahu motor berukuran kecil. "Ada musuh," pikirnya. Ia sudah hendak cepat-cepat bangkit. Untung saat itu teringat olehnya bahwa yang datang itu mungkin juga memiliki teropong. Kalau ia berdiri, jangan-jangan nanti terlihat. Oleh karena itu ia pergi sambil bertiarap. Ketika sudah cukup jauh turun ke lembah barulah ia meloncat bangkit, lalu lari menghampiri anak-anak yang—lain. "Heee — ada perahu datang!" serunya dengan napas tersengal-sengal, sementara ia terus lari menuju Lembah Tidur di mana anak-anak sedang berbaring-baring. Semua langsung bangun mendengar seruannya itu. Mata Lucy-Ann yang berwarna hijau nampak nyalang karena kaget bercampur takut. "Di mana? Masih berapa jauh?" "Masih cukup jauh," jawab Jack. "Mereka memerlukan waktu sepuluh menit untuk masuk kemari dan menambatkan perahu. Sebaiknya kita cepat-cepat saja memasukkan segala-galanya ke dalam rongga bawah tanah kita." "Bagaimana dengan api unggun?" tanya Dinah sambil meraup tumpukan baju hangat dan mantel yang tadi dijadikan bantal olehnya. "Terpaksa kita- tinggalkan begitu saja. Mereka pun sudah melihat kepulan asapnya," kata Jack. "Ayo, cepat! Cepatlah sedikit, Lucy-Ann!" Mereka tidak memerlukan waktu lama-lama untuk menyibakkan semak belukar yang menutupi mulut lubang masuk ke rongga lalu mencampakkan segala bawaan mereka ke bawah. Jack mencabut ranting yang ditancapkan sebagai tanda di tempat itu. "Tidak perlu kita memberi petunjuk pada mereka nanti," katanya dengan nada riang untuk menenangkan perasaan Lucy-Ann. Adiknya tersenyum, walau sinar matanya masih memancarkan rasa cemas. "Nah — semua sudah beres?" tanya Philip sambil memandang berkeliling. Rerumputan yang rebah kena tindih tubuh mereka sewaktu berbaring-baring tadi ditarik-tarik olehnya supaya bisa tegak kembali. Tapi perbuatannya itu sebenarnya tidak perlu, karena tetumbuhan liat itu sudah tegak kembali dengan sendirinya. Philip memungut sebuah sendok yang tertinggal, lalu dikantongi. Nampaknya kini sudah tidak ada lagi barang tertinggal, yang dapat dijadikan petunjuk bahwa beberapa menit yang lalu anak-anak masih berada di tempat itu. "Ayo, Jambul! Tunggu apa lagi?!" seru Jack. Ia sudah tidak sabar, ingin lekas-lekas turun ke bawah. Dinah dan Lucy-Ann sudah lebih dulu turun. Jack menyusup ke dalam lubang, di susul oleh Philip. Dari bawah Jack mengatur letak semak dan rerumputan sehingga mulut lubang tertutup lagi. "Nah! Sekarang kita aman — kecuali orang yang datang itu secara kebetulan terperosok ke dalam lubang ini, seperti yang terjadi dengan Philip waktu itu. Takkan ada yang tahu bahwa di bawah sini ada rongga besar." "Aku rasanya seperti burung puffin saat ini," kata Philip. "Aku kepingin menggali liang. Bagaimana jika kita masing-masing menggali liang tempat kita berbaring?" ‘ "Aduh, janganlah berkelakar sekarang," pinta Lucy-Ann,."Saat ini aku tidak merasa riang. Bahkan sebaliknya! Rasanya seperti sesak napasku. Sedang jantungku berdebar keras sekali. Bisa kedengaran atau tidak?" Tidak ada yang mendengar debar jantungnya. Tapi jantung masing-masing sudah berdebar keras — jadi tidaklah mengherankan jika tidak ada yang bisa mendengar debaran jantung teman. "Bisakah kita berbisik-bisik di sini?" tanya Dinah berbisik. Tapi bisikannya keras sampai yang mendengar kaget. "Kurasa kalau berbisik, bisa. Tapi jangan keras-keras," kata Jack. "Dan nanti kalau terdengar ada orang datang, kita semua harus memasang telinga `supaya tahu yang datang itu kawan atau lawan. Bayangkan jika ternyata yang muncul kawan dan kita tidak tahu sehingga kita biarkan mereka pergi lagi tanpa menemukan kita." Memang tidak enak membayangkan kemungkinan itu — rasanya bahkan sedikit lebih tidak enak dibandingkan dengan bayangan ketahuan oleh musuh. Anak-anak semua duduk dengan diam-diam. Semua menahan napas, menajamkan pendengaran masing-masing. "Kawan atau lawan, kawan atau lawan." Lucy-Ann seolah-0lah mendengar kata-kata itu berulang kali dalam benaknya. Tanpa disadari, ia berkata mengikuti bunyi kata-kata itu, "Kawan atau....” "Sssst!" desis Jack dengan tiba-tiba. "Aku mendengar sesuatu." Tapi yang didengarnya itu ternyata hanya Enggas dan Enggos saja, yang saat itu masuk ke dalam lubang. Semak yang menutupi disibakkan ke samping lalu keduanya menjatuhkan diri ke dalam, mengejutkan anak-anak. Lubang tertutup semak kembali, sementara Enggas dan Enggos menatap dalam gelap. Mereka berusaha menemukan Philip. "Burung-burung sialan!" tukas Philip. "Bagaimana jika musuh sampai mengetahui persembunyian kita! Sekarang jangan bicara!" "Rrrrr!" bunyi Enggas dengan suara parau. Philip mendorongnya dengan kesal. Diperlakukan begitu, Enggas langsung menjauh. Ia heran, karena baru sekali itu Philip yang disayanginya berkata atau berbuat kasar terhadapnya. Enggas melonjak-lonjak ke mulut sebuah liang di dekatnya diikuti oleh Enggos. Keduanya langsung masuk dengan sikap tersinggung. Sekali itu anak-anak merasa lega melihat mereka pergi. "Ssst!" Jack mendesis lagi. Anak-anak berpegang-pegangan ketakutan. "Sekarang benar-benar mereka yang datang. Sssst!" Bab 18 MUSUH — DAN KIKI Gedebak-gedebuk langkah orang terasa getarannya dalam rongga gelap di bawah tanah itu. Kemudian terdengar suara orang bercakap-cakap. "Kita periksa seluruh pulau ini. Pasti ada orang yang mengurus sehingga api unggun itu menyala terus!" "Tidak banyak tempat -yang bisa dijadikan persembunyian di pulau kecil ini. Di dinding tebing tidak mungkin, karena terlalu curam. Sedang di lembah ini jelas tidak ada siapa-siapa kecuali burung-burung konyol itu." Kemudian terdengar bunyi korek api dinyalakan. Rupanya salah satu dari orang-orang itu menghidupkan rokok. Batang korek api dicampakkannya dengan begitu saja — dan terjatuh ke dalam lubang di mana anak-anak bersembunyi dengan tubuh gemetar. Dinah nyaris berteriak, karena korek yang masih menyala itu jatuh mengenai lututnya. "Mereka dekat sekali," demikian pikir anak-anak. "Dekat, dekat sekali!" "He!" Tiba—tiba terdengar suara salah seorang laki-laki yang ada di atas. "Apa ini? Secarik kertas pembungkus coklat! Kalau begitu, orang itu pasti bersembunyi tidak jauh dari sini!" Jantung anak-anak nyaris berhenti berdenyut. Philip teringat bahwa ada sepotong kertas pembungkus coklat yang dimakannya terbang dibawa angin, tapi ia malas memungutnya kembali. Aduh, gawat! Jack mencari-cari Kiki Ke mana burung kakaktua itu? Tadi ia turun dari bahunya, tapi ternyata tidak ada lagi di dekat Jack ketika dicari-cari. Jack berdoa dalam hati, mudah-mudahan burung iseng itu tidak secara tiba-tiba saja mengoceh, karena orang-0rang tak dikenal itu masih saja ada di atas kepala. Kiki sebenarnya mengikuti Enggas dan Enggos naik ke atas lewat liang burung puffin. Sesampai di atas, Enggas dan Enggos berdiri di mulut liang sambil memperhatikan orang-orang yang datang mencari siapa yang menghidupkan api unggun. Kedua burung itu menatap mereka tanpa berkedip. "Coba lihat kedua burung. konyol itu," kata laki-laki yang satu. "Burung jenis apa itu, dengan paruh bermacam-macam warna?" "Entahlah — puffin atau nuri laut — pokoknya begitulah," jawab temannya. "Enggas dan Enggos,” kata Kiki dengan lantang, seolah-0lah mengajak mengobrol. Orang-orang itu kaget sekali, lalu celingukan memandang berkeliling. Tapi mereka tidak melihat Kiki, karena burung iseng itu berada dalam liang di belakang Enggas dan Enggos. Ia tidak mendesak maju ke depan, karena tidak kepingin dipatuk kedua puffin. "Kau mendengar itu tadi?" tanya orang yang satu. "Yah — aku memang seolah-olah mendengar sesuatu," kata kawannya. "Tapi aku tidak pasti, karena burung-burung di sekitar sini berisik sekali." "Ya — sangat bising," sahut orang yang pertama. "Sing-sing a song, " oceh Kiki menyanyikan sebuah lagu, disusul bunyi cekakakannya. Kedua laki-laki tadi memandang dengan kecut ke arah kedua puffin yang masih terus menatap dengan serius. "He — burung-burung itukah yang menyanyi?" kata seorang dari kedua laki-laki itu, sementara Kiki masih cekakakan terus. Kemudian ia mendehem dengan suara berat. "Aneh juga, ya?" kata laki-laki yang pertama. Sambil mengusap-usap dagu ditatapnya Enggas dan Enggos. Kelihatannya memang kedua burung itulah yang menyanyi dan batuk-batuk, karena Kiki sama sekali tidak nampak saat itu. Enggas membuka paruhnya. "Rrrrrr!" bunyinya dengan nada serius. "Nah — sekali ini aku melihatnya," kata laki-laki yang menatap itu. "Burung itu bisa bicara! Katamu tadi, mereka mungkin burung nuri laut — sedang nuri bisa bicara, kan?" "Memang, tapi harus ada yang mengajar," kata temannya. "Lalu siapa yang mengajari kedua burung ini?" “Ah, sudahlah — jangan buang-buang waktu lagi dengan burung-burung konyol," kata laki-laki yang pertama sambil berpaling hendak pergi. "Kita ke pantai saja sekarang dan menelusurinya untuk memeriksa apakah ada siapa-siapa di situ. Sayang perahu itu hancur berantakan dilanda badai. Sebetulnya bisa kita ambil makanan yang ada di dalamnya." Kedua laki-laki itu tertegun. Mulut mereka ternganga keheranan, karena saat itu Kiki memamerkan kebolehannya menirukan bunyi sepeda motor di kejauhan. “Sungguh — baru saja aku seperti mendengar bunyi sepeda motor," kata yang satu sambil tertawa agak malu. "Yuk — kita sudah dengar-dengaran sekarang di sini. Awas kalau orang yang ada di pulau ini terbekuk olehku — biar tahu rasa dia nanti, menyebabkan kita membuang-buang waktu mencarinya!" Anak-anak lega sekali mendengar suara orang-orang itu makin lama makin jauh dan akhirnya tidak terdengar sama sekali. Sementara itu Kiki masuk lagi ke dalam rongga tempat mereka bersembunyi. "Sayang, sayang," bisiknya sambil bekertak paruh. "Kiki goblok — nyaris saja kau membuat kita ketahuan!" desis Jack. "Ayo, naik ke bahuku — dan awas, jika kau berani mengocehkan sepatah kata lagi, akan kuikat moncongmu itu dengan sapu tangan." "Rrrrrr!" kata Kiki, lalu bertengger di bahu Jack dengan kepala tersusup ke bawah sayap. Kiki sakit hati. Rasanya lama sekali anak-anak duduk membisu dalam rongga bawah tanah. Mereka tidak mendengar suara orang bercakap-cakap lagi di atas, dan dinding rongga tidak bergetar lagi karena langkah-langkah orang. "Masih berapa lama lagi kita harus begini?" bisik Dinah kemudian. Anak itu selalu yang paling dulu merasa tidak sabar lagi. "Badanku pegal." "Entah — aku juga belum tahu," kata Jack. Bisikannya menggema dalam rongga lapang itu. "Aku belum berani mengambil risiko menyembulkan kepalaku ke atas untuk memeriksa." "Aku lapar," kata Lucy-Ann. "Tadi kenapa kita tidak membawa makanan kemari? Aku juga haus sekarang." Jack berpikir-pikir. Bagaimana jika ia memberanikan diri, menjenguk sesaat ke atas? Tepat pada saat itu terdengar sesuatu bunyi yang melegakan hati di kejauhan. "Itu bunyi mesin perahu mereka dihidupkan," kata Jack. "Untunglah — rupanya mereka akhirnya menyerah juga, tidak melanjutkan pencarian. Kita tunggu lagi beberapa menit. Setelah itu aku akan keluar." Lima menit lagi mereka menunggu. Bunyi mesin perahu motor masih terdengar sesaat, makin lama makin menjauh dan akhirnya lenyap. Hati-hati sekali Jack menyembulkan kepalanya ke atas. la tidak melihat apa-apa kecuali kerumunan burung puffin. Enggas dan Enggos duduk dekat lubang itu. Keduanya bangkit dengan sopan ketika melihat kepala Jack tersembul dari lubang. “Rrrrrr!" kata mereka. Jack keluar lalu langsung bertiarap. Dengan teropong diamat-amatinya laut di sekeliling pulau. Akhirnya nampak yang dicari-cari — perahu motor yang bergerak menjauh dengan laju, makin lama makin mengecil di kejauhan. "Sudah aman!" serunya ke dalam lubang, memberi tahu anak-anak yang menunggu di bawah. "Mereka sudah hampir tidak kelihatan lagi. Kalian bisa keluar sekarang!" Tidak lama kemudian keempat anak itu sudah duduk-duduk lagi di Lembah Tidur. Dinah dan Lucy-Ann dengan segera menyiapkan makanan, karena mereka benar-benar sudah sangat lapar. Limun sudah habis diminum. Karenanya mereka kini beralih minum air yang berasal dari kolam di tengah batu. Rasanya agak hangat kena sinar matahari. Hujan lebat saat badai menyebabkan air kolam itu bertambah banyak. "Aduh — tadi kita benar-benar nyaris celaka," kata Philip. Semangatnya bangkit kembali karena perut sudah tidak begitu kosong lagi. "Aku sudah khawatir saja, jangan-jangan seorang dari mereka terperosok ke dalam lubang rongga tempat kita bersembunyi." "Huh — menurutmu bagaimana perasaanku ketika korek api tadi jatuh ke dalam dan mengenai lututku?" kata Dinah. "Nyaris saja aku terpekik." "Kiki juga nyaris membuat kita ketahuan," kata Jack sambil meletakkan daging asin ke atas sekeping biskuit. "Enak saja bernyanyi-nyanyi! Kau memang keterlaluan, Kiki!" "Kiki sedang merajuk," kata Dinah sambil tertawa. "Lihatlah — ia pura-pura tidak mendengar. Aduh, malah membuang muka sekarang. Rupanya karena kau tadi mengomelinya." Jack tertawa nyengir. Dipanggilnya Enggas dan Enggos, yang seperti biasa berdiri dengan sabar dekat Philip. "He, Gas dan Gos — nih, kuberi makanan. Burung manis, ke sinilah!" Enggas dan Enggos berjalan oleng seperti kelasi menghampiri Jack. Masing-masing mendapat sepotong biskuit dari anak itu. Kiki ternyata tidak tahan lagi melihatnya. Dengan cepat ia berpaling sambil menjerit sekuat-kuatnya. "Anak nakal, nakal, nakal! Polly malang, Polly malang! Polly pilek, ayo masak air, anak nakal, anak nakal!" Ia belum puas dengan mengata-ngatai saja, tapi kemudian melabrak kedua puffin yang tidak tahu apa-apa dan mematuk dengan paruhnya yang runcing. Enggas langsung membalas sehingga Kiki terpaksa mundur. Kakaktua itu menjerit seperti kereta api. Enggas dan Enggos buru-buru lari ke dekat lutut Philip. Dari tempat yang aman itu mereka menatap Kiki dengan pandangan ngeri. Keduanya sudah siap menyusup ke dalam liang begitu keadaan memaksa. Anak-anak terpingkal-pingkal melihat pertunjukan kocak itu. Kiki beringsut-ingsut dengan gaya jenaka mendekati Jack. "Kasihan Kiki, Kiki malang — anak nakal, anak nakal!" Jack menyodorkan sedikit makanan padanya. Burung iseng itu memakannya sambil bertengger di bahu tuannya. Enggas dan Enggos dipandangnya dengan sikap menang. "Rrrrr!" sergah Kiki pada mereka. Kedengarannya seperti geraman anjing yang sedang marah. "Rrrrr!" "Sudahlah, Kiki — jangan menggeram-geram terus dekat telingaku," kata Jack "Dan untuk sementara lebih baik jika kau tidak terlalu dekat menghampiri Enggas. Ia pasti takkan melupakan patukanmu tadi." "Bagaimana — aman tidak jika kita tidur di luar lagi malam ini?" tanya Dinah sambil membenahi sisa—sisa makanan. "Aku tidak kepingin tidur lagi dalam rongga pengap itu." "Ah, kurasa takkan apa-apa," kata Jack "Orang-orang tadi rasanya takkan kembali malam-malam. Sayang kita tidak sempat melihat siapa mereka." "Aku tidak suka mendengar suara mereka — mereka kedengarannya galak," kata Lucy-Ann. "Untung tenda-tenda kita diterbangkan angin sewaktu ada badai!" kata Dinah tiba-tiba. "Coba kalau tidak — kita takkan menemukan rongga bawah tanah itu yang ternyata berguna sebagai tempat sembunyi. Coba kalau tidak ada itu — mau ke mana kita?" "Betul," kata Philip mengiakan. "Aku ingin tahu, akan kembali lagikah orang-orang tadi. Tapi pokoknya kita teruskan penjagaan kita, dan api unggun terus kita nyalakan. Itu satu-satunya harapan kita supaya bisa diselamatkan dari sini. Dan kurasa juga satu-satunya harapan bagi Bill karena jika tidak ada yang datang menyelamatkan kita, Bill juga takkan mungkin bisa ditolong!" "Kasihan Bill," kata Lucy-Ann. "Ia ingin menghilang - dan kini ia benar-benar lenyap!" "Rupanya mereka memadamkan api unggun kita," kata Jack dengan tiba-tiba ketika menyadari bahwa kepulan asap sudah tidak nampak lagi. "Sialan mereka itu! Kurasa mereka sengaja berbuat begitu, sehingga apabila kita menyalakannya kembali dan asap nampak mengepul, mereka akan tahu dengan pasti bahwa di sini ada orang." "Tapi kita tetap akan menyalakannya kembali," kata Philip dengan segera. "Akan kita tunjukkan pada mereka, kita membuat api unggun apabila kita menghendakinya - tanpa takut-takut. Kurasa mereka tidak mau api itu menyala, karena takut ada orang lain kebetulan lewat lalu melihatnya. Mereka tidak menghendaki orang datang memeriksa kemari saat ini." Anak-anak pergi ke atas tebing, lalu mulai sibuk menyalakan api unggun kembali. Onggokan kayu dan rumput di situ berserakan. Rupanya orang-orang tadi mengobrak-abrik supaya api lekas padam. Tidak lama kemudian api sudah berkobar lagi. Anak-anak mengatur timbunan dengan seksama, lalu dinyalakan oleh Philip. Dengan segera timbunan kayu dan rumput kering itu menyala. Lidah api menjilat ke atas. Ketika api sudah benar-benar berkobar dengan baik, anak-anak lantas menimbunkan rumput laut ke atasnya. Dengari segera kepulan asap tebal menjulang ke langit. "Hah — mau apa kalian! Mudah-mudahan kalian melihat isyarat kami ini lagi!" seru Jack sambil menatap ke tengah laut. "Kalian takkan mungkin bisa menundukkan kami! Lihat saja nanti — kalian pasti kalah!" Bab 19 ADA LAGI YANG DATANG Sementara itu warna kulit anak-anak sudah coklat sekali kena sinar matahari. "Jika ibu melihat kita sekarang, pasti ia tidak menyebut kita pucat lagi," kata Philip. "Sedang bintik-bintik di muka kalian sudah nampak lagi, Jack dan Lucy-Ann. Bukan cuma nampak lagi, tapi bahkan bertambah banyak!" "Aduh!" kata Lucy-Ann sambil menggosok-gosok mukanya yang coklat berbintik-bintik. "Sayang, karena menurut pendapatku aku kelihatan lebih cocok tanpa bintik sewaktu sedang sakit campak waktu itu." "Aku rasanya sudah tidak tahu hari lagi," kata Jack. "Aku sama sekali tidak tahu, sekarang ini hari Selasa atau Rabu." "Sekarang hari Jumat," kata Philip dengan segera. "Baru saja tadi pagi aku menghitunghitung. Sudah lumayan juga lamanya kita di sini." "Wah — jadi baru seminggu lewat sejak kita berangkat dari rumah?" kata Dinah heran. "Rasanya seperti sudah enam bulan. Bagaimana keadaan ibu sekarang, ya?" "Pasti agak gelisah tentang kita," kata Philip. "Tapi ia menyangka Bill masih ada bersama kita — jadi pasti kita baik-baik saja, hanya kabar mengenai kita saja yang tidak datang-datang." "Padahal Bill tidak ada di sini dan keadaan kita sama sekali tidak baik-baik saja," kata Lucy-Ann. "Aku kepingin bisa mengetahui di mana Bill berada sekarang dan apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya. Coba kita masih punya perahu, kita bisa berangkat mencarinya. Bill pasti dibawa ke salah satu tempat di sebelah barat — karena pesawat-pesawat terbang selalu muncul di sebelah sana." "Yah — rasanya tak mungkin kita akan bisa memperoleh perahu," kata Philip. "Yuk— kita naik ke atas tebing untuk mengurus api unggun. Pagi ini kepulan asapnya tidak begitu tebal. Kalian ikut, Enggas dan Enggos?" "Rrrr!" kata kedua puffin itu serempak, lalu berjalan seiring dengan Philip. Enggas mempunyai kebiasaan baru, yaitu membawakan oleh-oleh ikan untuk Philip. Pertama kalinya burung itu datang dengan ikan di paruhnya yang besar, anak-anak mulanya tidak tahu apa yang dibawanya. Tapi ketika ia sudah mendekat, meledaklah gelak tertawa anak-anak. "Aduh, Philip! Ia membawa enam sampai tujuh ekor ikan dalam paruhnya untukmu! Lihatlah — betapa ia mengaturnya, berselang-seling kepala dan ekor," seru Jack sambil tertawa. "Bagaimana caramu mengatur tadi, Enggas?" "Terima kasih banyak," kata Philip, sementara Enggas meletakkan ikan-ikan itu di sampingnya. "Kau memang baik hati." Sejak itu Enggas biasa membawakan ikan dua sampai tiga kali sehari. Anak-anak geli melihat kebiasaannya itu. Philip tahu cara mengolah ikan untuk dimasak di atas api. Ikan yang agak besar dimakan dengan biskuit serta mentega yang diambil dari dalam kaleng. Enggas menerima sepotong ikan yang sudah di masak, tapi Enggos sama sekali tidak mau mencicip. "Kita takkan mati kelaparan selama ada Enggas yang selalu membawakan ikan," kata Jack. "Kau tidak boleh merasa iri, Kiki. Biarkan saja jika Enggas ingin bermurah hati pada kami." Jack mengomelinya, karena Kiki berusaha menghalang-halangi Enggas ketika burung itu datang membawa ikan. Kiki sendiri tidak bisa menangkap ikan, dan ia tidak senang melihat Enggas selalu membawakan oleh-oleh ikan untuk anak-anak. "Nakal, nakal, anak nakal!" pekik Kiki. Tapi Enggas sama sekali tidak mengacuhkannya. Kini anak-anak duduk mengelilingi api unggun. Sekali-sekali ada yang iseng melemparkan ranting kayu ke atas nyala yang dikorek-korek supaya lebih berkobar sedikit lagi. Asap menjulang, sedikit condong ke arah utara. Jack mengambil teropongnya, lalu mengamat-amati laut yang lengang. Siapa tahu, barangkali saja ada kawan datang. Atau lawan! "He! Ada perahu lagi datang ke arah sini!" seru Jack beberapa saat kemudian. Teropongnya diarahkan pada suatu benda kecil yang nampak di kejauhan. "Ambil teropongmu, Philip!" Kedua anak laki-laki itu mengamat-amati dengan teropong, sementara Dinah dan Lucy-Ann menunggu dengan perasaan tidak sabar. Mereka tidak bisa melihat apa-apa tanpa teropong - bahkan suatu bintik pun tidak di tengah laut yang kelihatannya kosong. "Perahu yang itu juga atau bukan, ya?" kata Philip bertanya-tanya. "Sebentar lagi kita bisa mengetahuinya dengan pasti karena jaraknya semakin dekat kemari." "Kelihatannya bukan," kata Jack. "Yang ini lebih kecil Dan datangnya dari arah lain. Tapi bisa juga itu cuma siasat saja — supaya kita menyangka yang datang itu kawan." "Bagaimana kita bisa tahu kawan atau musuh?" kata Lucy-Ann. "Apakah kita perlu bersembunyi lagi?" Jack meminjamkan teropongnya pada adiknya. Kemudian ia berpaling pada Philip. Matanya berkilat-kilat. "Yang datang sekali ini hanya seorang saja, Philip! Jika ia benar kemari, pasti perahunya nanti harus ditambatkan di salah satu tempat. Bagaimana jika kita merampasnya?" "Wah — kalau bisa, asyik!" kata Philip. Mukanya berseri-seri. "Itu perahu motor. Biar kecil, tapi cukup besar bagi kita untuk bisa pergi dari sini!" "Merampasnya? Bagaimana caranya?" tanya Dinah sambil terus meneropong perahu motor yang mendekat. "Orang itu dengan gampang saja bisa melihat kita lalu datang mengejar — dan akhirnya malah kita tertangkap olehnya!" "Sinikan teropongku," kata Philip sambil merenggut teropongnya dari tangan Dinah. "Itulah payahnya kau ini — kalau diberi giliran selalu berlama-lama!" "Lebih baik kita berpikir dulu sebentar," kata Jack dengan mata bersinar-sinar. "Orang itu tidak mungkin datang untuk menyelamatkan kita, karena orang yang tahu kita sendirian saja di sini tentunya akan mengirim perahu yang lebih besar. Dan kemungkinannya orang yang disuruh kemari juga lebih banyak untuk berjaga-jaga kalau harus menghadapi musuh kita. Pasti itulah yang akan terjadi jika Bill berhasil menyampaikan kabar ke luar. Oleh karena itu kurasa orang di perahu itu tidak datang untuk menyelamatkan kita .... " "Jadi kemungkinannya, itu siasat musuh kita," sambung Philip. "Mungkin mereka tahu — dan mungkin juga tidak — bahwa yang ada di sini Cuma anak-anak. Itu tergantung dari seberapa banyak yang diceritakan Bill pada mereka. Tapi bisa saja mereka mengirim seseorang yang berpura-pura bukan musuh supaya kita tertipu — lalu kita nanti dibujuknya agar mau masuk ke perahunya agar kemudian dibawa ke tempat aman — tapi kemudian diangkut ke salah satu tempat di mana Bill sudah berada sebagai tawanan mereka!" "Aduh!" keluh Lucy-Ann yang merasa tidak enak mendengar segala dugaan itu. "Kalau begitu aku tidak mau diajak naik ke perahunya. Apa yang harus kita lakukan sekarang, Jack?" "Begini," kata Jack. "Aku punya akal bagus. Tapi untuk melakukannya, kita semua perlu ikut. Kalian juga Dinah dan Lucy-Ann." "Lalu apa yang harus kita lakukan itu?" tanya Dinah tidak sabaran. "Kita harus menyelidiki, di mana orang itu nanti menambatkan perahunya," kata Jack "Kemungkinannya di celah sempit di mana Lucky Star waktu itu ditambatkan — atau ditarik naik ke pasir di salah satu bagian pantai. Sebentar lagi kita akan sudah mengetahuinya, karena ia akan kita intip." "Lalu, setelah itu?" tanya Lucy-Ann. Semangatnya mulai timbul mendengar rencana menarik itu. "Lalu aku beserta Dinah akan bersembunyi di dekat-dekat situ," kata Jack. "Nanti orang itu tentunya akan datang mencari-cari kita. Saat itu kau menyongsongnya, Philip — bersama Lucy-Ann." "Aduh, aku tidak berani," kata Lucy-Ann ketakutan. "Baiklah — kau bersembunyi saja di salah satu tempat," kata Jack, "biar Philip sendiri yang datang menyongsong. Philip — dengan salah satu cara kau nanti harus memancing orang itu sehingga masuk ke rongga bawah tanah. Kalau sudah masuk, dengan gampang kita akan bisa menawannya di sana. Kita kurung ia di situ dengan bekal makanan yang banyak. Sedang kita sendiri lari dengan perahunya." Selama beberapa saat anak-anak terdiam, sementara Philip, Dinah, dan Lucy-Ann berusaha memahami rencana Jack. "Tapi bagaimana caraku nanti memancingnya masuk ke dalam lubang?" tanya Philip kemudian. "Rasanya seperti laba-laba yang hendak memancing lalat agar mau menyangkutkan diri ke jaringnya! Kurasa lalat berkepala hitam itu takkan begitu mudah bisa dibujuk!" "Tidak bisakah kau mengajaknya berjalan menyusur pemukiman burung puffin— lalu kalau sudah dekat lubang rongga menyengkelitnya sehingga terjatuh?" tanya Jack dengan sikap tidak sabar. "Kalau aku, kurasa aku pasti mampu melakukannya." "Kalau begitu kau saja yang melakukan tugas itu," balas Philip, "biar aku yang bersembunyi dekat perahu untuk merampasnya. Tapi bagaimana kalau kau tidak berhasil menjatuhkan orang itu ke dalam lubang? Bagaimana dengan perahunya? Apa yang harus kulakukan dengannya?" "Konyol! Kau cepat-cepat masuk ke situ jika kaulihat aku tidak berhasil menguasai orang itu," kata Jack, "Lalu kau cepat-cepat mengemudikannya ke tengah laut. Kau terus tinggal di situ sampai hari sudah gelap. Saat itu dengan hati-hati kau menuju kemari, lalu berusaha mencari kami agar kita semua bisa melarikan diri dari sini. Tapi kau tak usah khawatir — aku pasti akan berhasil menguasai orang itu. Akan kusergap dia seperti caraku menyergap lawan bermain rugby di sekolah." Lucy-Ann memandang abangnya dengan kagum. Asyik jadi anak laki-laki, katanya dalam hati. "Aku nanti juga ikut membantu," katanya. "Aku akan ikut menyongsongnya bersamamu." "Kita nanti harus pura-pura percaya mendengar segala kata-katanya," kata Jack. "Tidak peduli apa yang diocehkannya!" Pasti kocak nanti — ia berusaha mengecoh kita dengan cerita bohong, sedang kita pun berbuat begitu pula!" "Mudah-mudahan saja orangnya tidak galak," kata Lucy-Ann. "Kurasa ia akan pura-pura menjadi orang baik," kata Jack. "Mungkin ia akan mengaku penyelidik alam, atau sebangsanya — dan bersikap polos dan ramah. Yah — aku pun akan bersikap begitu pula!" "Perahu sudah semakin mendekat," kata Philip. "Isinya ternyata memang satu orang saja. Ia memakai kaca mata hitam!" "Untuk menutupi matanya yang galak mestinya," kata Lucy-Ann ketakutan. "Pasti bukan untuk melindunginya dari sinar matahari. Bagaimana cara kita muncul nanti?" "Hanya kita berdua saja," kata Jack. "Kita berdua nanti berdiri, Lucy-Ann! Kita berdiri di samping api unggun, lalu melambai-lambai dengan bersemangat, Dan ingat — ocehan apa pun yang kukatakan nanti, kau harus selalu mendukungku. Philip, kau dan Dinah sama sekali tidak boleh kelihatan nanti." "Di mana ia akan menaruh perahunya nanti?" tanya Dinah ingin tahu. "Wah — ternyata langsung menuju celah sempit. Rupanya ia mengenal Pelabuhan Tersembunyi kita." "Nah — apa kataku tadi!" kata Jack. "Tak mungkin orang yang belum mengenal tempat itu akan langsung menuju ke sana. Besar kemungkinannya ia itu satu dari orang-orang yang kemari dengan perahu motor yang lebih besar." Kemungkinan itu memang masuk akal, karena orang yang datang itu langsung mengarahkan haluan perahunya ke celah sempit. Perbuatannya itu seolah-olah ia sebelumnya sudah pernah ke sana. Ketika tebing karang sudah didekati olehnya, Jack dan Lucy-Ann berdiri lalu melambai-lambai ke arahnya. Orang yang di perahu membalas lambaian mereka. "Nah, Di — sekarang kau bersama Philip harus bersembunyi di tengah batu—batu di tebing yang menuju ke Pelabuhan Tersembunyi. Di sana ada beberapa batu besar yang bisa kalian jadikan tempat berlindung sampai perahu sudah ditambatkan olehnya, dan ia sudah kemari untuk mendatangi kami. Saat itu kalian berdua cepat-cepat turun lalu naik ke perahu, siap untuk menuju ke tengah laut apabila kami berdua di sini gagal memancingnya. Kalau kami tidak gagal, segala-galanya akan beres! Kita akan mempunyai tawanan yang bisa dijadikan sandera — serta sebuah perahu motor untuk lari dari sini!" ' "Hore!" seru Philip bersemangat. "Hore, hore, hore!" kata Kiki yang saat itu datang lalu hinggap di bahu Jack. Selama itu ia keluyuran sendiri Mungkin mengganggu burung-burung camar di sekitar situ, kata Jack dalam hati. "Kau boleh ikut beraksi nanti, Kiki," kata Jack. "Tapi ingat, kalau bicara yang benar!" "Panggil dokter," jawab Kiki dengan serius. "Cul — Pak Dokter muncul!" "Orang itu sekarang sudah masuk ke dalam celah," kata Philip. "Yuk, Dinah — sudah waktunya kita bersembunyi sekarang! Selamat beraksi, Jack dan Lucy-Ann!” Bab 20 PAK TIPPERLONG KAGET Orang yang datang itu mengemudikan perahunya dengan cekatan memasuki celah sempit di mana Lucky Star waktu itu rusak dihantam ombak. Kelihatannya ia tercengang memandang potongan tali yang masih terikat ke salah satu batu besar yang ada di situ. Dinah dan Philip merunduk di balik beberapa batu besar, sedikit di sebelah atas pada tebing. Mereka tidak bisa melihat apa yang sedang dilakukan orang itu. Mereka tidak berani mengintip dari balik batu karena takut ketahuan. Sementara itu Jack dan Lucy-Ann menunggu di atas tebing. Lucy-Ann sangat gelisah. "Lututku aneh rasanya," keluh anak itu pada abangnya. Jack malah tertawa. "Jangan penakut. Ayo tegak, lutut! Nah — sekarang orang itu datang. Kau tidak perlu bicara jika tidak mau." Orang itu datang mendaki tonjolan-tonjolan batu yang terdapat di dinding tebing, menuju ke bagian yang runtuh. Badannya kurus dengan kaki seperti lidi. Ia memakai celana pendek serta baju hangat berlengan panjang. Warna kulitnya merah terbakar matahari. Di sana-sini nampak bagian-bagian yang melepuh. Di bawah hidungnya melintang kumis tipis. Keningnya tinggi, sedang ubun-ubunnya agak botak. Ia memakai kaca mata hitam sehingga matanya sama sekali tidak kelihatan. Potongannya sama sekali tidak menimbulkan rasa takut, kata Jack dalam hati. "Halo, halo, halo," sapa orang itu ketika berjumpa dengan kedua anak yang datang menyongsong. "Aku tercengang ketika tahu di sini ada orang." "Siapa yang mengatakan pada Anda?" tanya Jack dengan segera. "Bukan siapa-siapa — aku sendiri yang melihat kepulan asap api kalian," kata orang itu. "Sedang apa kalian di sini? Berkemah, ya?" "Mungkin," jawab Jack dengan santai. "Anda sendiri, kenapa datang kemari?" "Aku ini ahli Omitologi," kata orang itu dengan serius. "'Kalian tentunya tidak tahu artinya." Dalam hati Jack tertawa geli. Bayangkan — padahal ia dan Philip menganggap diri mereka ahli omitologi yang ulung. Tapi ia tentu saja tidak berniat mengatakannya pada orang itu. "Orni — Orin — orminologi?" katanya berlagak tolol. "Binatang apa itu?" "Ahli omitologi itu seseorang yang kerjanya menyelidiki kehidupan burung," kata orang itu. "Penggemar burung, seseorang yang ingin tahu segala-galanya tentang burung serta kehidupan mereka." "Jadi untuk itu Anda kemari? Untuk mempelajari kehidupan burung-burung di sini?" tanya Lucy-Ann yang merasa harus ikut mengatakan sesuatu. Lututnya sudah tidak gemetar dan terasa aneh lagi sesudah ia melihat bahwa laki-laki yang datang itu sama sekali tidak menakutkan tampangnya. "Ya. Bertahun-tahun yang lalu, ketika aku masih muda belia, aku pernah berkunjung ke pulau ini," kata orang itu. "Dan aku kepingin datang lagi, walau menemukannya kembali ternyata tidak begitu mudah. Aku terkejut ketika melihat kepulan asap kalian. Kenapa kalian membuat api unggun? Pura-pura menjadi pelaut yang terdampar: ya? Aku kenal kesenangan anak-anak." Jelas orang itu sedikit sekali pengetahuannya mengenai anak-anak, atau ia menyangka Jack dan Lucy-Ann jauh lebih muda dari umur mereka yang sebenarnya. "Banyak pengetahuan Anda mengenai burung, Pak?" tanya Jack. Pertanyaan orang yang tadi tidak dijawabnya. "Yah — pengetahuanku mengenai burung-burung laut tidak sebegitu banyak," kata orang itu. "Itulah sebabnya kenapa aku kembali ke pulau-pulau sini. Kalau mengenai burung-burung biasa, aku lebih banyak tahu." "Hah!" kata Jack dalam hati. "Ia berkata begitu karena takut kutanyai tentang burung-burung yang hidup di sini." "Kami punya dua ekor puffin yang jinak-jinak," kata Lucy-Ann dengan tiba-tiba. "Anda mau melihatnya?" "O ya — tentu saja, aku kepingin sekali melihatnya," kata laki-laki itu sambil memandang Lucy-Ann dengan wajah berseri-seri. "O ya, ngomong-ngomong, namaku Tipperlong — Horace Tipperlong." "Tripalong?" kata Lucy-Ann sambil cekikikan. Ia merasa geli, karena kata itu berarti ’berjalan dengan langkah kecil-kecil'. Penamaan begitu cocok sekali dengan orang itu, karena jalannya memang demikian. Jack harus menahan diri supaya jangan sampai tertawa. "Bukan, bukan — Tipperlong," kata orang itu lagi. la memandang Lucy-Ann sambil tersenyum lebar. "Namamu sendiri siapa?" "Namaku Lucy-Ann,", kata anak perempuan itu. "Dan abangku ini bernama Jack. Anda ikut melihat burung-burung puffin kami? Kita harus ke sini." "Aku juga ingin berjumpa dengan orang yang menjadi pengasuh kalian di sini," kata Pak Horace Tipperlong. "Dan — eh — mana perahu kalian? Tentunya kalian kemari naik perahu!" "Pecah, Pak — hancur dihantam ombak sewaktu ada badai," kata Jack dengan serius. Pak Tipperlong mendecak-decakkan lidah, tanda ikut prihatin. "Gawat!" katanya. "Kalau begitu, bagaimana kalian pulang nanti?" "Awas!" kata Jack. Cepat-cepat ditahannya Pak Tipperlong yang nyaris terperosok ke dalam sebuah liang sarang puffin "Di sini banyak sekali liang tempat burung-burung puffin bersarang, Pak! Anda harus berhati-hati kalau berjalan." "Huh — banyaknya burung di sini!" kata Pak Tipperlong. Ia tertegun. Tadi ia begitu sibuk mengobrol sampai tidak memperhatikan besarnya permukiman burung-burung puffin di situ. Satu lagi tanda yang menambah kecurigaan terhadap dirinya! Menurut Jack, seorang ahli omitologi sejati takkan mungkin berjalan di tengah-tengah pemukiman burung puffin tanpa mengatakan apa-apa yang menyatakan kekagumannya. "Luar biasa! Benar-benar menakjubkan! Sepanjang ingatanku, aku belum pernah melihat kerumunan burung sebanyak di sini," kata Pak Horace. "Belum lagi beribu-ribu yang bertengger di dinding tebing. Wah, wah, wah! Dan katamu tadi, kau punya dua ekor puffin yang jinak? Luar biasa!" "Mereka kepunyaan Philip," kata Lucy-Ann sebelum sempat berpikir. Seketika itu juga mukanya memucat. Tapi apa boleh buat, kata yang sudah diucapkan tidak mungkin bisa ditelan lagi. "Kusangka kau tadi mengatakan abangmu bernama Jack," kata Pak Tipperlong dengan nada menyelidik. "Ah — dia cuma salah sebut saja, Pak!" kata Jack asal bunyi. Saat itu mereka sudah dekat sekali ke lubang tempat masuk ke liang bawah tanah. Lucy-Ann merasa gelisah. Bagaimana jika orang yang mengaku bernama Tipperlong itu nanti tidak jatuh ke dalam lubang pada saat Jack menyengkelitnya — lalu kemudian menyergap Jack? Bagaimana — yah, bagaimana jika tiba-tiba ia mencabut pistol? Potongannya tidak kelihatan sejahat itu — tapi yah — siapa tahu! Lucy-Ann melirik ke arah kantong celana pendek orang itu untuk melihat apakah di situ tampak tonjolan berbentuk pistol. Tapi kantong—kantong celana orang itu menggelembung sekali karena berisi berbagai macam barang. Jadi tidak dapat dipastikan apakah ia mengantongi pistol atau tidak. Jack menyenggol adiknya. "Sekarang minggir," kata Jack dengan suara pelan. Dengan cepat Lucy-Ann mundur, dengan jantung berdebar keras. Sementara itu Jack sudah sampai di depan mulut lubang masuk ke rongga. Sebatang ranting sudah tertancap lagi di situ, karena tempat itu nyaris mustahil dapat ditemukan kalau tidak diberi tanda. Pak Horace berjalan dengan langkah-langkah pendek sambil memandang dengan mata cadok di balik kaca mata hitamnya — ketika tiba-tiba ia kaget karena tahu-tahu Jack menyengkelit kakinya sambil mendorong. Pak Horace Tipperlong terjerembab ke sisi lubang — dan sebelum ia sempat bangkit, Jack mendorongnya — dan laki-laki itu tersungkur masuk ke dalam lubang. Bum! Jack memegang sebatang tongkat yang dipungutnya dari tumpukan kayu dekat api unggun. Ia menyibakkan semak dan rumput yang menutupi mulut lubang, lalu memandang ke dalam. Samar-samar dilihatnya Pak Tipperlong duduk. Terdengar suaranya mengerang. Saat itu Pak Tipperlong mendongak. Dilihatnya Jack memandangnya dari atas. "Anak jahat!" serunya marah. "Apa-apaan ini?" Kaca mata hitamnya terlepas ketika ia jatuh tadi. Matanya ternyata sama sekali tidak kelihatan galak. Malah nampak agak kuyu dan berair. Ia memegang kepalanya, seakan-akan merasa sakit. "Maaf, tapi ini perlu dilakukan," kata Jack. "Pilihan hanya ada dua: kami yang terjebak, atau Anda! Sekarang kita tidak usah berpura-pura lagi. Kami tahu, Anda anggota gerombolan mana." "Apa yang kauocehkan itu?" teriak laki-laki yang di bawah sambil bangkit. Kepalanya tersembul ke luar dari lubang. Jack langsung mengangkat tongkatnya. "Ayo, masuk lagi!" bentaknya dengan galak. "Kau tawanan_ kami sekarang. Kau kan yang meringkus Bill? — Nah, sekarang kau yang kami tawan. Jika kau berani mencoba keluar dari situ, akan kuhajar kepalamu dengan tongkat nanti. Coba sajalah — kalau berani!" I Dengan cepat Horace menarik kepalanya ke bawah. Lucy-Ann memandang dengan muka pucat pasi. "Aduh — cederakah ia, Jack?" tanyanya ketakutan. "Kau benar-benar akan memukulnya nanti?" "Tentu saja." jawab Jack. "Ingat Bill, Lucy-Ann — dan perahu kita yang malang — dan kita sendiri terdampar di sini karena perbuatan orang ini beserta kawan-kawannya. Tidakkah kausadari, jika ia sampai bisa keluar dan pergi dengan perahunya, mereka akan mengirim orang lebih banyak lagi? Mereka takkan berhenti sebelum berhasil meringkus kita! Kau tidak boleh lemah, Lucy-Ann!" "Yah — tapi aku tidak tahan melihatmu memukulnya," kata Lucy-Ann. "Dinah pasti tidak apa-apa, tapi aku tidak setega Dinah." "He!" seru Horace dari bawah. "Maukah kalian mengatakan alasan segala omong kosong ini? Belum pernah kualami kejadian seperti ini! Aku datang ke sebuah pulau tempat kediaman burung, yang sepanjang pengetahuanku bukan merupakan kejahatan — lalu kalian berdua memancingku kemari, menyengkelit kakiku, dan mendorongku ke lubang ini. Kepalaku sakit sekali! . Lalu kaukatakan jika aku berani keluar, akan kauhajar kepalaku dengan tongkat. Anak-anak jahat!" "Aku benar-benar tidak senang melakukan itu tadi, tapi apa boleh buat — jalan lain tidak ada," kata Jack. "Anda harus mengerti bahwa kami memerlukan perahu, karena perahu kami sendiri sudah hancur — ditambah dengan lenyapnya Bill. Kami tidak mau di sini terus seumur hidup." Horace heran dan bingung mendengar kata-kata itu. Ia berdiri lagi — tapi cepat-cepat duduk ketika melihat tongkat di tangan Jack. "Nanti dulu — kau sungguh-sungguh, ya — kau benar-benar hendak merampas perahuku? Belum pernah kudengar tindakan sekurang ajar itu. Awas, jika aku sudah bertemu dengan orang yang memimpin kalian! — kalian pasti dihajar habis-habisan olehnya!" Bab 21 HORACE TIDAK MENYUKAI PULAU PUFFIN "Lucy-Ann coba kaucari Philip atau Dinah," kata Jack pada adiknya. "Philip mungkin sudah ada dalam perahu, siap untuk menghidupkan mesin kalau perlu — tapi Dinah barangkali sedang berjaga-jaga kalau ada isyarat dari kita." Lucy-Ann berdiri. Dilihatnya Dinah berdiri di kejauhan. Anak itu menunggu dengan gelisah di ujung atas bagian tebing yang runtuh. Sedang Philip tidak kelihatan. Kemungkinannya ia sudah berada di perahu, di kaki tebing. Lucy-Ann melambaikan tangan dengan bersemangat. "Beres! Kami sudah berhasil menjebaknya ke dalam lubang!" serunya. Dinah membalas lambaian Lucy-Ann, lalu turun. Ia hendak menyampaikan kabar itu pada Philip. Tidak lama kemudian keduanya muncul lagi di atas, lalu bergegas menghampiri untuk mendengar apa yang telah terjadi. "Kami berhasil menawannya," kata Jack dengan bangga. "Gampang sekali!" Ia langsung jatuh ke bawah — gedebuk!" "Siapa di situ?" terdengar suara Horace bertanya dengan mengiba-iba. "Ada orang lain di atas? He — kau harus mengatakan, apa sebenarnya yang sedang terjadi di sini. Aku benar-benar bingung! Rasanya seperti terapung di tengah lautan luas!" "Ke situlah kami sebentar lagi berangkat — mudah-mudahan," kata Jack sambil nyengir. "Dan dengan perahumu! Philip, perkenalkan — orang ini bernama Pak Horace Tripalong." "Astaga! Betul begitukah namanya?" kata Philip. Dari dalam lubang terdengar seruan marah, "Namaku TIPPERLONG! Jangan seenaknya saja mengganti nama orang! Anak kurang ajar! Awas — nanti kau kuadukan; biar di hukum. Belum pernah kualami tingkah laku sekurang ajar kalian." "Kegalakannya itu bukan salahnya," kata Jack. "Katanya, ia ahli — ahli — he, Pak Tripalong — kau tadi— mengatakan bahwa kau seorang apa?" "Ahli omitologi, T0L0L!" teriak Pak Tipperlong. "Astaga! Apa itu?" kata Philip berpura-pura bodoh. Anak-anak yang lain cekikikan. "Aku harus keluar dari sini," tukas Pak Tipperlong. Kepalanya tersembul pelan-pelan dari mulut lubang, siap untuk ditarik kembali ke dalam - kalau perlu. Ternyata itu memang perlu. "Kau ini rupanya perlu kuhajar dulu dengan tongkat ini sebelum mau mengerti bahwa aku tadi tidak main-main, ya!" tukas Jack dengan jengkel. "Awas, aku ini bersungguh-sungguh! Aku tidak kepingin memukul kepalamu, tapi jika terpaksa pasti akan kulakukan! Kau pasti memukul Bill sebelum bisa meringkusnya. Ingat peribahasa: ada ubi ada talas!" "Bicaramu ngawur!" kata Horace dengan nada sebal. "Kurasa kalian pasti sudah sinting. Maksudmu, kalian hanya sendiri saja di pulau ini? Aku tidak percaya! Katakan pada pengasuh kalian agar segera kemari! Aku ingin bicara dengan orang itu. Kalian salah sangka jika menyangka aku mau tinggal lebih lama lagi di lubang ini. Baru sekarang aku menjumpai anak-anak yang begini menyebalkan. Kalian pasti sedang main sandera-sanderaan! Bah!" Ucapan Horace yang terakhir enak sekali bunyinya. Kiki, yang selama itu memperhatikan pembicaraan mereka dengan rasa heran bercampur asyik saat itu ikut campur. "Bah! Buh! Bah! Buk!" Ia terbang ke pinggir lubang lalu memandang ke dalam. "Bah!" ocehnya sekali lagi sambil cekakakan. Horace mendongak dengan perasaan kecut. Betulkah itu burung kakaktua yang berada di mulut lubang — yang mengata-ngatainya dengan kasar? "Itu — itukah salah satu burung puffin jinak yang kau ceritakan tadi?" tanyanya sangsi. "Kusangka kau ahli omitologi, kata Jack mencemooh. "Kiki tadi burung kakaktua, tahu! Kusangka setiap orang tahu bahwa itu kakaktua!" "Tapi — tapi — bagaimana mungkin ada kakaktua hidup di sini?" kata Horace. "Kakaktua kan bukan burung laut! Aduh, kurasa aku ini sedang bermimpi. Tapi mimpi konyol!" Saat itu seekor puffin masuk ke dalam rongga lewat salah satu liang yang berujung di situ. "Rrrr!" bunyinya dengan suara berat dan parau. Pak Tipperlong terlonjak karena kaget. Dalam keremangan rongga ia hanya bisa melihat sepasang mata yang menatap dengan jahat, serta paruh besar berwarna-warni. "Pergi!" katanya lemah. "Husy!" "Husy!" balas Kiki dari mulut lubang. Ia merasa asyik, ada teman untuk saling kata-mengatai. "Bah! Buh! Husy! Rrrr!" "Kalian semua edan," keluh Horace. "Kurasa aku juga sudah gila. Husy! Husy!" Puffin yang tadi memperdengarkan suaranya lagi lalu kembali ke dalam liangnya. Kemudian menyusul bunyi itu beruntun-runtun. Rupanya burung tadi sedang bercerita pada betinanya mengenai makhluk puffin aneh yang baru saja dilihatnya dalam rongga. "Sekarang apa lagi yang akan kita lakukan setelah dia kita tawan?" kata Philip dengan suara lirih. "Ia itu pasti musuh, atau bukan? Maksudku — kedengarannya ia memang agak tolol." "Semuanya itu merupakan bagian dari siasat licik," kata Jack. "Ia bukan ahli omitologi. Ia disuruh menyamar seperti ahli omitologi yang konyol dan bertingkah laku begitu. Di antara ahli-ahli kehidupan burung memang ada juga yang tingkah lakunya ketolol-tololan. Tapi yang ini terlalu berlebih-lebihan — tahu tidak, overacting istilah kerennya! Untung saja ia tidak bersenjatakan pistol. Itu yang sedari tadi kukhawatirkan." "Ya, aku juga," kata Philip. "Tapi mungkin di perahu ada. Mudah-mudahan saja! Mungkin nanti ada gunanya. Nah — sekarang bagaimana kelanjutannya?" "Bisakah ia mendengar pembicaraan kita?" tanya Lucy-Ann takut-takut. "Tidak mungkin jika kita berbicara sepelan sekarang ini," kata Philip. "Jack, perahunya bagus sekali! Agak lebih kecil kalau dibandingkan dengan Lucky Star- tapi ada kabinnya. Biar sempit. Kita semua bisa masuk ke situ. Tempat untuk bekal makanan juga ada." "Tapi di situ ada dayung atau tidak?" tanya Jack. "Siapa tahu, mungkin kita terpaksa mematikan mesin saat hendak mendarat di salah satu pulau nanti." "Ada," jawab Philip. "Kulihat ada dayung di situ. Kau sudah punya rencana yang bagus, Jack? Dari tadi aku tidak henti-hentinya mencari akal, tapi yang bisa kupikirkan hanya lari dengan perahu — tapi tanpa tahu mau ke mana. Kita memang ingin lari dari sini — tapi kita perlu tahu lari ke mana! Jangan sampai dari mulut singa pindah ke mulut buaya. Dan kalau mau lari, kurasa harus lekas-lekas — karena jika si Tripalong ini tidak segera kembali ke gerombolannya dengan membawa kabar, pasti mereka akan mengirim orang-orang lain kemari." "Ya, kemungkinan itu juga sudah kupikirkan," kata Jack, sementara Dinah dan Lucy-Ann mengangguk tanda mereka pun juga sudah berpikir begitu. "Yang menjadi persoalan kini — apakah sebaiknya kita berusaha menuju pulau-pulau yang terletak di sebelah luar dan mencari salah satu yang didiami nelayan lalu minta bantuan di situ? — atau lebih baik kita berusaha pergi ke daratan? Atau kemungkinan ketiga, mencari Bill?" Selama beberapa saat suasana sunyi, karena semua sibuk berpikir. Lucy-Ann yang paling dulu menyatakan pendapat. "Aku setuju jika kita mencari Bill," katanya. "Setidak-tidaknya kita bisa mencoba itu dulu — lalu jika gagal, baru menyelamatkan diri. Tapi menurut pendapatku, kita terlebih dulu harus berusaha mencari Bill." "Hebat, Lucy-Ann," kata Jack. "Pendapatku juga begitu! Sekarang kita mengatur rencana lagi." Tapi perhatian mereka kembali diganggu oleh Horace Tipperlong. "Sudah, jangan membual terus," serunya dengan suara cerewet. "Aku lapar — dan haus! Kalau kalian berniat membiarkan aku_ di sini mati kelaparan, bilang saja! Tapi jangan berbuat begitu tanpa memberi tahu padaku." "Jangan konyol — siapa bilang kami akan membiarkan kau mati kelaparan," kata Jack. "Tolong bukakan beberapa kalcng makanan, Lucy-Ann — lalu berikan padanya. Beri sekaligus beberapa potong biskuit. Dinah! Ambilkan air dalam pasu dari kolam kita!" "Siap, Boss!" kata Dinah sambil nyengir, lalu pergi mengambilkan air dari kolam di tengah batu. Begitu mendapat air dan makanan, Horace makan dengan lahap. Anak-anak ikut lapar melihatnya. "Kurasa kita juga makan saja sekarang," kata Philip. "Bagaimana jika kau kugantikan sebentar memegang tongkat dan menjaga di mulut lubang, Jack?” "Boleh," kata Jack. "Tapi ingat — getok saja kepalanya begitu ia berani muncul sedikit ke atas!" Kata-kata itu diucapkannya dengan lantang untuk meyakinkan bahwa Horace ikut mendengarnya. Tapi orang itu diam saja. Rupanya ia sudah mau menunggu saat yang lebih baik. Dengan segera anak-anak sudah melahap daging ayam dengan ercis yang dimakan tanpa dipanaskan lagi, lalu buah campur dengan krem. Sebagai pelepas haus, mereka minum air tawar dari kolam. "Hmmm, sedap!" kata Jack sambil mendesah puas. "Sekarang sudah lebih enak perasaanku. Ajaib, betapa perut kenyang dapat mengubah perasaan orang!" "Aku malah mual apabila makan sebanyak yang baru saja kausikat," kata Dinah. "Kau ini rakus! Makanmu dua kali lebih banyak dari kami." "Aku memang dua kali lebih lapar daripada kalian," kata Jack. "Nah — mulai sekarang kita berbicara lebih pelan — karena akan mengatur rencana." "Bagaimana kalau kita pergi malam-malam?" kata Philip setengah berbisik. "Jangan," jawab Jack dengan segera. "Kita takkan bisa melihat arah yang harus ditempuh, juga apabila saat ini sedang terang bulan. Sebaiknya kita berangkat. besok pagi-pagi saja, menjelang fajar. Mudah-mudahan saja saat itu si Tripalong masih tidur sehingga kita bisa berangkat tanpa takut dirongrong olehnya." "Ya, betul — karena saat kita semua menuju ke perahu, lubang rongga tidak ada yang menjaga," kata Lucy-Ann. "Kalau soal itu, aku sudah memikirkan penyelesaiannya," kata Jack. "Kalian bertiga pergi dulu ke perahu dengan membawa bekal makanan serta pakaian dan selimut kita. Kalian menyiapkan segala-galanya di sana. Kalau sudah tinggal berangkat, kalian berseru memanggilku. Aku akan cepat-cepat lari menggabungkan diri. Atau bisa juga Dinah naik ke atas tebing, lalu melambai-lambai.” "Dan saat Horace menyadari bahwa di luar tidak ada siapa-siapa lagi yang akan memukul kepalanya begitu tersembul ke luar, kita akan sudah di tengah laut dengan perahu motornya!" kata Dinah. Ia senang sekali membayangkan hal itu. "Horace yang malang! Aku kasihan sekali padanya." "Aku tidak," kata Jack dengan tandas. "Jika ia musuh Bill, ia pun musuhku pula. Apa yang terjadi pada dirinya sekarang merupakan pembalasan yang wajar — lagi pula kecuali disengkelit sampai jatuh ke dalam lubang, ia sebenarnya tidak mengalami apa-apa yang bisa dikeluhkan. Aku tidak bermaksud menutup mulut lubang pada saat kita pergi setelah memasukkan bekal makanan untuknya — walau memang begitu rencanaku mulanya Tidak menjadi soal apabila ia keluar begitu kita sudah pergi dari sini. Dan kurasa tidak lama lagi teman-teman gerombolannya tentu akan kemari untuk memeriksa apa sebabnya ia tidak kembali ke pangkalan mereka — yang letaknya entah di mana!" "Pulau-pulau di sekitar sini banyak sekali — jadi usaha mencari Bill rasanya seperti mencari kutu di kepala," kata Philip. "Tapi aku belum enak jika kita tidak mencobanya." "Aku juga begitu," kata Jack. "Dalam petualangan kita selama ini, Bill sudah sering datang menyelamatkan kita. Jadi sudah waktunya kita menyelamatkannya — jika kita berhasil mengetahui di mana ia saat ini berada. Kurasa sudah pasti musuh membawanya ke pangkalan mereka di salah satu pulau sini." "Apakah tidak sebaiknya kita menyiapkan segala—galanya malam ini juga?" kata Dinah dengan tiba-tiba. "Maksudku mengangkut bekal makanan ke perahu — lalu selimut dan pakaian kita — supaya besok pagi kita tidak usah membuang-buang waktu lagi untuk bersiap-siap. Kau tadi kan mengatakan hendak berangkat menjelang fajar." "Ya — idemu itu bagus," kata Jack. "Biar aku lagi menjaga di dekat lubang itu dengan tongkat, Philip — sementara kau membantu Dinah dan Lucy-Ann mengangkut barang-barang kita ke perahu. Kita benar-benar mujur, berhasil merampas perahu sebagus itu! Walau aku sendiri yang bilang, tapi kita ini memang cerdik." , "Buh!" kata Kiki. "Bah! Buh!" "Sayang kau tak sependapat, Kiki," kata Jack. "Tapi aku tetap berpendapat, kami ini cerdik." "Kita sebaiknya meninggalkan makanan sedikit untuk Tripalong, ya?" kata Dinah. "Maksudku — aku tahu, kawan-kawannya segerombolan dalam sehari dua ini pasti akan datang untuk memeriksa apa yang terjadi dengan dirinya — tapi selama itu ia kan juga perlu makan." "Ya— kita tinggalkan makanan beberapa kaleng beserta alat pembuka kaleng untuknya," kata Jack. "O ya, Philip — adakah selimut—selimut di perahu tadi, milik orang ini?" "Ada," kata Philip. "Nantilah kubawa kemari sekembaliku dari mengangkut bekal ke sana. Kita lemparkan saja selimut itu ke dalam lubang. Menurut pendapatku, kita ini benar-benar baik hati terhadap musuh kita." Tapi Horace ternyata tidak sependapat dengan Philip. Setelah beberapa waktu kemarahannya timbul lagi. Ia berteriak-teriak dalam rongga bawah tanah, "Sudah cukup lama aku bersabar. Keluarkan aku dari sini, bandit-bandit cilik! Awas — jika kalian sampai terpegang olehku! Aku ingin tahu, apa sebenarnya alasan perbuatan kalian ini?" "Sudahlah, jangan berpura-pura terus, Pak Horace Tripalong," kata Jack dengan sebal. "Kau sendiri tahu, kita ini musuh. Sekarang bicaralah sedikit — katakan di mana kalian menyekap Bill, serta beberapa hal lagi. Siapa tahu, mungkin hukumanmu nanti bisa diperingan karenanya." "Siapa itu Bill yang selalu kalian sebut-sebut?" kata Horace dengan nada jengkel. "He — kalian ini main bajak laut, atau Indian-indianan, atau bagaimana? Belum pernah kudengar ada orang disekap dalam lubang oleh segerombolan anak-anak nakal!" seperti aku sekarang ini. "Tidak, kalau kupikir—pikir, aku juga belum mendengar kejadian seperti ini," kata Jack. "Nah, Horace, jika kau tidak mau mengakui apa yang sudah kami ketahui, lebih baik kau tutup mulut." "Bah!" tukas Horace yang sudah jengkel sekali. "Bah!" oceh Kiki dengan segera, lalu terbang ke mulut rongga dan memandang ke bawah. "Bah! Anak nakal! Cul si Kunyuk muncul! Sudah berapa kali kukatakan, tutup pintu! Hidup Raja! Bah!" Pak Tipperlong mendengarkan ocehannya dengan heran bercampur ngeri. Jangan-jangan ia memang sudah edan sekarang! Betulkah kakaktua itu mengata-ngatainya dengan begitu kasar? "Kupatahkan lehernya," sergah Horace sambil bangkit. "Bunyikan lonceng, ya!" kata Kiki, lalu tertawa terkekeh—kekeh. Setelah itu dimasukkannya kepalanya ke dalam lubang sambil menjerit menirukan bunyi peluit lokomotif dalam terowongan. Bunyinya memekakkan telinga dalam rongga bawah tanah itu. Horace terjerembab ke tanah, tidak mampu melawan lagi. "Edan! Benar-benar edan! Semua edan!" gumamnya. Ia membenamkan kepala dalam kedua tangannya tanpa mengatakan apa-apa lagi. Bab 22 MUSUH Dengan ditemani Enggas dan Enggos, anak-anak yang tiga lagi berulang kali mondar-mandir dari Lembah Tidur ke perahu motor sambil mengangkut makanan, selimut, dan pakaian mereka. Philip kembali dari perahu dengan membawa setumpuk selimut, yang kemudian dimasukkan ke dalam rongga di mana Horace masih disekap. Selimut-selimut itu jatuh menyelubungi orang itu. Ia kaget sekali. Tapi kemudian ia merasa senang ketika menyadari bahwa anak-anak yang menawan dirinya ternyata memberi alas tidur yang hangat dan empuk. Dihamparkannya selimut-selimut itu di bawah tubuhnya. Ah — begini lebih nyaman, katanya dalam hati. Ia mulai membayangkan apa saja yang akan dilakukannya terhadap anak-anak bengal itu apabila ia nanti sudah bebas lagi. Akhirnya semua sudah diangkut ke perahu motor rampasan. Mereka tinggal berangkat saja pagi-pagi. Saat itu senja sudah temaram. Philip, Lucy-Ann, dan Dinah datang, lalu duduk di samping Jack. "Kurasa tentunya kita harus silih berganti menjaga di sini semalaman agar jangan sampai Horace bisa melarikan diri, ya?" bisik Philip. Jack mengangguk. "Betul! Kita tidak bisa mengambil risiko dia melarikan diri, padahal kita sudah menyiapkan segala-galanya. Kau yang menjaga paling dulu, Philip. Dinah dan Lucy-Ann tidak usah, karena aku yakin mereka takkan mampu cukup keras memukul kepala Horace jika ia berani muncul ke atas." "Siapa bilang!”, tukas Dinah yang langsung panas. "Lucy-Ann memang anak yang lembut hati — tapi aku tidak!" Lucy-Ann diam saja. Ia tahu pasti, ia takkan tega memukul kepala Horace keras—keras. Lagi pula kan sudah diputuskan oleh Jack dan Philip bahwa hanya mereka berdua saja yang perlu bergantian menjaga. Jadi soal itu sudah beres! Matahari terbenam ke balik laut. Di langit mulai bermunculan bintang-bintang. Anak-anak berbaring dengan nyaman di atas rumput sambil mengobrol dengan suara pelan. Dari lubang tidak terdengar suara Horace. Mungkin ia sudah tidur. Ketiga ekor tikus putih piaraan Philip, yang secara tiba-tiba saja sudah nampak dewasa muncul untuk mengendus hawa malam. Melihat mereka Dinah langsung menyingkir. Enggas dan Enggos menatap tikus-tikus itu tanpa berkejap. Kiki menguap, lalu bersin. Setelah itu ia terbatuk-batuk. "Diam, Kiki!" kata Jack. "Jika kau hendak berlatih menirukan suara-suara anehmu, sana — pergilah ke tebing. Biar burung-burung camar saja menjadi pendengarmu." "Rrrr!" kata Enggas dengan serius. "Enggas setuju dengan usulku," kata Jack "Bah!" kata Kiki. "Kau sendiri yang bah," kata Jack. "Sekarang diam, Kiki. Malam ini begitu indah - janganlah kau merusaknya dengan bah dan buhmu " Jack baru saja selesai berbicara ketika dari arah laut terdengar bunyi yang jauh sekali. Mulanya hanya samar-samar, nyaris tak kedengaran karena bunyi laut dan angin — tapi lama-kelamaan bertambah jelas. "Bunyi perahu motor!" kata Jack Duduknya menegak. "Apa apaan .... ” ' "Mungkinkah mereka sudah datang untuk mencari Horace?" kata Philip dengan suara pelan. "Sialan! Ini merusak segala rencana kita!" Tak ada yang kelihatan di laut yang sementara itu sudah semakin gelap. Tapi bunyi tadi kian mendekat. Jack berbisik di telinga Philip, "Hanya satu yang bisa kita lakukan sekarang. Kita semua harus cepat-cepat lari ke perahu — lalu langsung berangkat. Jangan sampai musuh melihat perahu itu dalam celah, karena nanti akan mereka ambil, dan satu-satunya harapan kita untuk lari dari sini lenyap dengannya. Ayo, cepat!" Dengan diam-diam keempat anak itu bangkit Kiki terbang ke bahu Jack tanpa mengoceh sama sekali. Enggas dan Enggos yang semula sudah masuk ke liang mereka saat itu muncul lagi. Keduanya terbang menghampiri anak-anak yang sedang bergegas-gegas. Mereka pun tidak memperdengarkan suara mereka yang khas. Semua melintasi pemukiman burung-burung puffin, tersaruk-saruk di antara liang-liang sarang yang ratusan jumlahnya di situ. Mereka mendaki lereng tebing, lalu turun lewat celah bagian yang runtuh. Semua melangkah dengan sangat berhati-hati di situ — apalagi ketika menuruni bagian-bagian yang menonjol. Masuk ke perahu yang oleng dengan napas memburu serta jantung berdebar keras. "Hidupkan mesin," kata Philip pada Jack, sementara ia sendiri melepaskan tali yang tertambat lalu melemparkannya ke dalam perahu dekat kaki Dinah dan Lucy-Ann. Sesaat kemudian perahu sudah diundurkan pelan-pelan, keluar dari celah sempit. Dengan segera mereka sudah berada di lautan terbuka. Philip mengarahkan haluan agak ke timur. Hari sudah hampir gelap saat itu. "Kita matikan mesin," kata Philip. "Kita menunggu di sini sampai perahu motor tadi sudah masuk ke celah. Kurasa memang ke situlah tujuannya. Aku tidak kepingin bertubrukan dengannya. Lagi pula, orang-orang yang ada di situ mungkin akan mendengar bunyi mesin kita jika terus dihidupkan." Mesin perahu dimatikan. Perahu itu terayun-ayun dipermainkan ombak yang bergerak ke arah tebing. Bunyi perahu yang satu lagi sementara itu sudah nyaring sekali terdengar. Philip agak menyesal, kenapa tadi tidak bergerak sedikit lebih jauh lagi. Tapi perahu yang datang itu lewat tanpa berhenti, lalu masuk ke dalam pelabuhan yang tersembunyi itu. Anak-anak yang memperhatikan dengan mata terpicing sambil merunduk dalam perahu hanya bisa mengenali bayangan gelap saja. Lain tidak. Malam kembali sunyi, karena mesin perahu yang satu lagi dimatikan. Beberapa ekor burung laut yang terganggu ketenangan mereka terbang sebentar sambil berteriak-teriak, lalu kembali ke sarang masing-masing di dinding tebing. "Horace pasti senang, karena ia diselamatkan," kata Dinah setelah beberapa saat. "Ya, mungkin saat ini ia sudah keluar dari rongga bawah tanah," kata Jack. "Dengan segera ia akan menyadari bahwa kita sudah tidak ada lagi. Caci maki pasti akan berhamburan nanti jika para penjahat mendengar bahwa kita menawan Horace — dan apabila mereka tahu bahwa perahunya kita rampas ...." "Rrrrr!" Dari arah sandaran tepi geladak terdengar suara yang berat dan parau. Anak-anak kaget sekali mendengarnya. Tapi hanya sekejap saja. "Ah — itu pasti Enggas dan Enggos," kata Philip senang. "Bayangkan — mereka ternyata ikut dengan kita tadi." "Mereka manis-manis," kata Lucy-Ann. Ia mengulurkan tangan, hendak meraba Enggas. Kedua burung puffin itu ada di situ, duduk berdampingan dalam gelap. Dengan segera Kiki terbang menggabungkan diri dengan mereka. "Apa yang akan kita lakukan sekarang?” kata Dinah. "Beranikah kita berangkat dalam gelap begini? Jangan-jangan nanti menubruk karang sehingga perahu pecah." "Kita terpaksa menunggu di sini sampai saat fajar," kata Philip. "Kalau fajar sudah menyingsing kita akan berangkat. Mudah-mudahan saja orang-orang yang di pulau tidak mendengar bunyi mesin perahu lalu datang mengejar." "Tapi sementara itu kita akan sudah lebih dulu berangkat," kata Jack. "Nah — kalau kita toh masih harus menunggu dulu di sini, bagaimana jika kita tidur saja sebentar? Mana jangkarnya? Kita buang jangkar tidak? Aku tidak ingin semalaman hanyut entah ke mana, dipermainkan ombak!” Sementara Jack dan Philip sibuk dengan perahu, Dinah dan Lucy-Ann mempersiapkan tempat berbaring. Mereka menghamparkan selimut, mantel, dan baju-baju hangat sebagai alas. Malam itu tidak dingin, jadi tidak ada yang berkeberatan tidur begitu "Enak rasanya berbaring dinaungi langit berbintang sebagai ganti langit-langit atau atap tenda," kata Lucy-Ann sambil merebahkan diri. "Aneh — aku sama sekali tidak merasa mengantuk. Mungkin disebabkan kesibukan. Sementara ini aku mulai merasa biasa dengan petualangan kita yang sekarang. Huh — lega hatiku karena tidak harus memukul kepala Horace tadi! Aku bisa dikejar-kejar mimpi terus jika itu kulakukan." Selama beberapa waktu keempat anak itu mengobrol sambil berbaring-baring. Tidak seorang pun merasa mengantuk. Enggas dan Enggos rupanya juga belum tidur, karena sekali-sekali terdengar mereka saling ber—"rrrrr"-"rrrrr"—an. Kiki yang bertengger di kaki Jack juga belum tidur. Burung iseng itu asyik mengocehkan segala lagu anak—anak yang dikenalnya, tapi secara campur aduk. 'Tutup mulut!" tukas Jack "Kami mau tidur, Burung rewel!" "Mudah-mudahan saja Enggas dan Enggos tetap ikut kita," kata Lucy-Ann. "Asyik kan jika kita bisa membawa keduanya pulang sebagai piaraan?" "Tutup mulut!" bentak Kiki, lalu tertawa terkekeh-kekeh. "Kakaktua tidak boleh berbicara begitu," kata Jack dengan garang sambil bangkit ke sikap duduk. Maksudnya hendak menampar paruh Kiki Tapi burung itu lebih sigap. Cepat-cepat disusupkannya kepala ke bawah sayap sehingga Jack tidak bisa memukul. "Binatang licik, “kata Jack. Dari bawah sayap terdengar Kiki membalas secara menggumam, "Bah!" Lucy-Ann mulai terlelap. Tapi tiba-tiba ia terbangun, karena anak-anak yang lain tahu-tahu duduk tegak. "Ada apa?" tanyanya bingung. Tapi saat itu juga ia tahu sendiri. Bunyi mesin perahu motor yang tadi terdengar lagi. Lucy-Ann ikut duduk sambil memicingkan mata, berusaha memandang dalam gelap. "Rupanya mereka sudah menemukan Horace dan mendengar laporannya — lalu bergegas-gegas kembali ke perahu," kata Jack. "Yuk, kita membuntuti mereka. Cepat, angkat jangkar! Mereka takkan mendengar bunyi mesin kita, karena mesin perahu mereka sendiri bising sekali. Ayo, kita susul mereka! Dengan begitu kita akan tiba ke tempat Bill ditawan." Perahu motor para penjahat membelok begitu sudah keluar dari celah sempit, dan kini menuju ke tengah laut. Dengan segera perahu anak-anak sudah membuntuti dari belakang. Mereka tidak bisa mendengar bunyi mesin perahu yang di depan karena dikalahkan bunyi perahu mereka sendiri. Tapi mereka tahu, dengan alasan sama bunyi mesin mereka pun takkan bisa terdengar oleh orang-orang yang ada di depan. Enggas dan Enggos masih bertengger di sandaran tepi geladak. Rupanya mereka hendak ikut ke mana saja anak-anak pergi. Lucy-Ann merasa senang karena ada kawan-kawan yang begitu setia, walau mereka hanya burung puffin belaka. Kiki sudah bertengger lagi di bahu Jack dengan paruh ke arah angin. "Semua naik," katanya berulang-ulang. "Semua naik. Bah!" Perahu yang di depan melesat dengan laju. Gampang sekali mengikutinya dengan memakai lampu-lampu perahu itu sebagai penunjuk. Anak-anak tidak ada yang berbicara. Semua berdiri diam dengan wajah menghadap ke depan. Kemudian Lucy-Ann yang lebih dulu memecah kesunyian. "Petualangan ini makin lama makin seru," katanya. "Ya — sungguh!" Bab 23 LAGUNA RAHASIA Lama juga kedua perahu motor itu mengarungi laut dengan laju. "Ini benar-benar Laut Petualangan namanya!"kata Lucy-Ann dalam hati. "Segala-galanya bisa terjadi di sini. Aduh — mudah-mudahan saja nanti kita bisa menemukan Bill. Kalau ia ada, segala-galanya beres rasanya." "Sebaiknya kalian berdua tidur saja sebentar," kata Jack pada Dinah dan Lucy-Ann. "Kalian pasti sudah sangat capek. Biar aku dan Philip yang bangun sambil bergantian memegang kemudi. Kalian tidur saja." Tidak lama kemudian Dinah dan Lucy-Ann sudah terlelap. Mereka bermimpi tentang ayunan, karena gerak perahu motor yang berayun seperti membuaikan. Setelah beberapa lama membisu, Jack menyapa Philip, "He, Jambul! Kaulihat sinar terang berkelip-kelip di sana itu? Kurasa itu pasti semacam isyarat. Perahu di depan berubah haluan, menuju ke cahaya itu. Mudah-mudahan pelayaran kita ini sudah mendekati akhirnya karena sebentar lagi bulan akan terbit dan saat itu ada kemungkinannya kita ketahuan oleh orang-orang yang di depan." "Cahaya itu mestinya merupakan penunjuk jalan untuk perahu yang di depan — atau mungkin juga untuk pesawat terbang," kata Philip. "Aduh, sial! Bulan sudah muncul! — itu, keluar dari balik awan. Untung saja tidak begitu terang." Berkat sinar bulan anak-anak dapat melihat ada sebuah pulau di depan. Di sebelah kiri ada pulau lagi, letaknya sekitar dua sampai tiga mil dari pulau yang pertama. Setidak-tidaknya, begitulah jaraknya menurut taksiran Jack dan Philip. "He, Jack! Kita kan tidak bermaksud masuk ke dalam perangkap musuh,"‘ kata Philip. "Itulah yang akan terjadi jika kita terus mengikuti perahu di depan sampai ke pulau yang ditujunya. Kurasa lebih baik kita ke pulau yang satu lagi — itu, yang di sana! Mungkin sinar bulan cukup terang untuk membantu kita menemukan teluk kecil yang bisa dijadikan tempat berlabuh. Kita berdua pasti mampu mengemudikan perahu ini ke tempat aman." "Setuju," kata Jack sambil memutar roda kemudi. Kini mereka tidak lagi mengikuti arah perahu motor yang di depan, yang dengan segera sudah tidak kelihatan lagi. Mungkin sudah masuk ke dalam suatu pelabuhan kecil. Sedang perahu anak-anak — menuju ke pulau yang satu lagi. Mereka bisa melihat segala-galanya dengan cukup jelas sekarang, karena mata mereka sudah terbiasa melihat dengan bantuan sinar bulan yang temaram saat itu. "Kelihatannya tidak begitu berbatu-batu," kata Jack sambil mengarahkan haluan perahu dengan tenang menghampiri pulau. "Tidak — di mana-mana pantainya terdiri dari pasir dan kerikil halus. Kuarahkan perahu kita lurus ke pantai, Philip. Bersiaplah untuk melompat ke luar begitu kita terhenti." Sementara itu Dinah dan Lucy-Ann terbangun, lalu cepat-cepat melepaskan selimut yang menyelubungi tubuh. Jack mengarahkan haluan lurus ke pantai berkerikil. Begitu perahu terhenti, dengan sigap Philip meloncat turun. "Sedikit pun tidak bisa digerakkan lagi," katanya terengah-engah setelah beberapa saat berusaha menarik perahu lebih ke atas lagi bersama Dinah dan Lucy-Ann. "Sudahlah, kita benamkan saja jangkar. Saat ini pasang surut hampir mencapai kedudukan terendah. Jadi sebaiknya kita masuk saja sebentar ke air lalu membuang jangkar dan kemudian mendorong perahu sedikit-sedikit pasti akan aman, jika laut tetap tenang seperti sekarang." Setelah melakukan pekerjaan itu Jack dan Philip merebahkan diri ke pantai karena kehabisan napas. Keduanya sudah capek sekali. Hampir saja mereka tertidur dalam keadaan begitu. Tapi Dinah tidak membiarkan saja. "Ayo, Jack dan Philip," katanya, "kita ambil selimut, lalu kita mencari tempat yang terlindung. Kalian sudah hampir tertidur." “Ah, kita kan aman di sini — setidak-tidaknya sampai pagi," gumam Jack sementara ia berjalan tersaruk-saruk menyusur pantai ke atas bersama anak-anak yang lain. Ia melangkah dalam keadaan setengah tidur. "'Tidak ada yang tahu kita di sini. Kurasa pulau ini penghuninya juga hanya burung-burung saja." Mereka tiba di kaki sebuah tebing yang rendah. Lucy-Ann melihat sebuah gua di situ. "Coba nyalakan senter," katanya pada Philip. "Mungkin kita bisa tidur di dalamnya." Gua itu ternyata berukuran kecil dengan dasar berpasir kering dan empuk. Tercium bau rumput laut di situ, tapi bagi anak-anak itu tidak apa-apa karena tidak terlalu mengganggu. Mereka menghamparkan selimut ke dasar gua, lalu merebahkan tubuh di atasnya. Enggas dan Enggos mengambil tempat duduk di mulut gua, seolah-olah menjadi penjaga di situ. Jack dan Philip langsung tidur begitu kepala mereka menyentuh selimut Dinah dan Lucy-Ann menyusul. Tidak lama kemudian hanya bunyi dengkur pelan saja yang terdengar di situ. Jack yang mendengkur, karena ia berbaring menelentang. Kiki mengamat-amati muka anak itu dalam gelap. Ia ingin tahu, kenapa anak yang disayanginya itu mengeluarkan suara yang begitu aneh Tapi kemudian Kiki berpendapat bahwa itu soal sepele — tidak perlu diributkan. Ia pindah ke atas perut Jack, lalu tidur mendekam di situ. Keesokan paginya Enggas dan Enggos mendatangi Philip, lalu duduk di atas perutnya sambil mengeluarkan bunyi mereka yang biasa. "Rrrrrr!" Maksud mereka hendak mengatakan, "Ayo, bangun!" Dan Philip terbangun. "Turun!" tukasnya. "Kalian jangan meniru kebiasaan Kiki yang jelek, Enggas dan Enggos. Wah — kalian membawakan ikan untukku! Terima kasih — tapi jangan digeletakkan di dadaku, Enggas!" Tadi Enggas sudah sempat menyelam di laut, menangkap ikan. Hasilnya diletakkan dengan cermat di atas tubuh Philip. Puffin itu membuka dan menutup paruhnya beberapa kali sambil mengeluarkan satu-satunya bunyi yang dapat diperdengarkan, tapi dengan nada puas. "Rrrrrr!" Anak-anak yang lain tertawa geli ketika Philip menceritakan pengalamannya dengan pemberian Enggas pagi itu. Sambil mengusap-usap mata mereka memutuskan akan pergi mandi sebentar di laut, karena semua merasa perlu membersihkan badan. "Setelah itu kita sarapan," kata Jack. "Aduh, kenapa sih aku ini selalu saja merasa lapar! Wah — pulau ini bagus juga kelihatannya! Lihat — yang di sana itu pulau tempat musuh kita. Aku ingin tahu, benarkah Bill ada di sana." "Sesudah sarapan kita naik ke puncak tertinggi yang ada di pulau ini," kata Philip mengusulkan. "Dari situ kita bisa memandang berkeliling, memperhatikan pulau-pulau yang di sekitar sini. Yuk — kita ambil dulu makanan dari perahu." Saat itu air laut sedang pasang tinggi. Anak-anak terpaksa berenang menuju perahu mereka yang terapung-apung agak ke tengah. Mereka langsung mencari makanan untuk sarapan. Ketika sedang mencari-cari kaleng yang berisi ikan salm, tiba-tiba Lucy-Ann berteriak. Ia melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. "Lihat! — di sini ada radio! Mungkinkah di samping menerima, pesawat ini juga merupakan pemancar? Mungkinkah kita bisa mengirim berita dengannya?" "Entah," kata Jack sambil memeriksa. "Bentuknya lain sekali dari kepunyaan Bill. Lagi pula, katakanlah ini pesawat pemancar — tapi aku tidak tahu cara memakainya. Kurasa ini cuma pesawat penerima saja. Yuk — kita sarapan saja dulu. Huhh — panasnya sinar matahari!" Keempat anak itu sarapan dengan nikmat di perahu, ditemani Kiki, ketiga tikus putih, serta Enggas dan Enggos yang ikut mendapat bagian. "Nah — sekarang bagaimana selanjutnya? Kata Jack setelah kenyang. "Bagaimana jika kita naik ke atas tempat yang paling tinggi di pulau ini, lalu dari situ melihat apa saja yang nampak di sekitar sini?" "Setuju!" kata anak-anak yang lain. Mereka lantas meninggalkan perahu terapung-apung dekat pantai, mendaki tebing yang tidak begitu tinggi lalu melintasi padang berumput yang terdapat di belakangnya. Tempat itu tidak begitu bersemak belukar seperti Pulau Puffin. Burung-burung pun tidak begitu banyak di situ. "Aneh! Mestinya kan banyak di pulau sebagus ini." kata Jack. "Lihatlah — di ujung sebelah sana ada bukit! Yuk, kita mendaki ke atasnya." Anak-anak mendaki bukit itu sampai ke puncaknya. Setiba di sana mereka langsung tertegun karena kagum. Di hadapan mereka terbentang sebuah laguna. Sebuah danau berair asin. Sebetulnya danau juga bukan, karena perairan itu letaknya di antara dua pulau. Tapi kedua pulau itu saling dihubungkan oleh beting karang yang cukup lebar, mengungkung perairan di tengahnya, sehingga sulit sekali menentukan laguna itu sebetulnya merupakan bagian dari pulau yang mana. Di beberapa bagian karang bahkan menjulang setinggi bukit — dan di antara batu-batu pembatas itu terhampar perairan yang kelihatan begitu indah — biru kemilau dan selicin kaca permukaannya. “Astaga!" kata Jack terkagum-kagum. "Sudah banyak pemandangan menakjubkan yang kita lihat — tapi tidak ada yang bisa menandingi keindahan laguna biru yang nampak membentang di depan mata. Tidak mungkin itu benar-benar ada! Mungkin hanya fatamorgana belaka!" Fatamorgana adalah tipuan penglihatan yang terjadi apabila lapisan-lapisan udara di suatu tempat sangat berlainan suhu, sehingga kepadatannya berbeda-beda. Lapisan-lapisan itu menjadi seperti cermin, memantulkan bayangan benda-benda yang jauh sehingga kelihatan dekat. Ini dapat terjadi di laut, atau di gurun pasir misalnya. Tapi yang dilihat anak-anak itu sama sekali bukan fatamorgana. Laguna itu benar-benar ada — terbentang seluas satu setengah mil di bawah mereka. Letaknya begitu terlindung oleh pulau dan beting karang yang mengelilingi, sehingga permukaannya yang biru sedikit pun tak nampak bergerak-gerak. Saat itu terjadi sesuatu yang menyebabkan anak-anak terkejut setengah mati. Mereka mendengar bunyi dengung pesawat terbang! Mereka juga melihatnya datang menuju arah mereka. Jack cepat-cepat menyuruh semua bertiarap, karena takut kalau-kalau kelihatan dari atas. Pesawat itu terbang melintasi laguna. Ketika melintas nampak sesuatu dijatuhkan — sesuatu yang mengembang berwarna putih. Di bawahnya ada sesuatu yang tergantung-gantung. Anak-anak menatap dengan takjub. Berbagai pikiran aneh melintas dalam benak mereka. Apakah itu suatu percobaan ilmiah? Atau bom — bom atom — apakah itu? Barang yang kemudian mengembang itu payung terjun. Geraknya menurun dengan lambat ke arah laguna. Benda yang tergantung di bawahnya dibungkus dengan bahan pembungkus yang berkilat. Pasti bahan kedap air, kata Jack - dalam hati. Sesampai di laguna, payung mengembang di permukaan air dan tidak bergerak lagi. Tapi sementara anak-anak masih memandang, payung itu seolah-olah menghilang ke dalam air, ikut tenggelam bersama benda di bawahnya. "Lihatlah — pesawat mengitari laguna lagi. Rupanya hendak melemparkan payung terjun lagi," kata Philip. Semua memperhatikan betapa pesawat itu sekali lagi meluncurkan sebuah payung yang dibebani sesuatu. Dan kejadian sama berulang lagi. Payung berayun turun ke air dengan benda yang tergantung di bawahnya, dan beberapa menit kemudian lenyap ke dalam laguna. Kemudian masih satu lagi payung diluncurkan ke bawah. Pesawat terbang berputar mengelilingi perairan itu sekali, lalu terbang menjauh. Tidak lama kemudian sudah menghilang di kejauhan. "Kenapa pesawat itu menjatuhkan barang-barang ke laguna ini?" kata Jack heran. "Aneh! Dan apa isi bungkusan-bungkusan besar yang tergantung di bawah ketiga payung terjun tadi?" "Dan kenapa dijatuhkan ke dalam laguna?"tanya Dinah yang tidak kalah bingung. "Apakah mereka memang hendak membuangnya? Tapi kenapa begitu aneh caranya!" "Yuk — kita masuk ke laguna dengan perahu kita," ajak Lucy-Ann. "Di situ kita coba, apakah bisa memandang sampai ke dasarnya." "Lalu bagaimana menurutmu, cara kita masuk, Tolol?" tukas Jack. "Perahu tidak mungkin bisa masuk ke situ — kecuali apabila digotong melewati beting karang yang membatasinya." "Aduh — benar juga! - dasar aku ini memang tolol!" kata Lucy-Ann. "Tapi walau begitu aku tetap ingin kita bisa memandang ke dasarnya — untuk melihat rahasia apa yang sebenarnya tersembunyi di situ." "Rrrrr!" kata Enggas dan Enggos. Keduanya mengepakkan sayap, lalu meluncur mengarungi udara menuju ke laguna. Suara mereka seolah-olah hendak mengatakan, "Kalian ingin ke sana? Itu kan gampang! Begini caranya!" Sesaat kemudian kedua puffin itu sudah terapung-apung di air. Kelihatannya kecil sekali di kejauhan. Anak-anak memperhatikan mereka, sementara keduanya menyelam-nyelam ke dalam air untuk mencari ikan. “Kenapa kita tidak ikut saja turun ke sana lalu berenang-renang," kata Jack kemudian. "Kita nanti berenang agak ke tengah lalu menyelam untuk melihat apakah ada sesuatu yang bisa kita lihat di situ. Siapa tahu, kan?" "Kalau begitu sekarang saja kita berangkat," kata Dinah bersemangat. "Aku kepingin sekali mengetahui apa sebenarnya yang tersembunyi di balik segala kejadian ini. Bagiku segala-galanya terasa sangat misterius!" Anak-anak bergerak menuruni bukit yang makin ke: bawah semakin berbatu-batu. Untung banyak rumput yang tumbuh di sela-selanya sehingga kaki tidak terasa sakit berjalan di situ. Akhirnya mereka sampai di tepi laguna yang biru tenang airnya. Keempat anak itu membuka pakaian lalu terjun ke air. Air di situ ternyata hangat. Rasanya seperti sutra, membelai lengan dan tubuh. Anak-anak berenang dengan santai, menikmati kehangatan air dan sinar matahari yang menyinari tubuh sebelah atas. "Sekarang aku akan menyelam," kata Jack. "Aku ingin tahu, barangkali ada yang bisa kulihat di bawah." Ia menungging seperti bebek, lalu menyelam — makin lama makin jauh ke dalam air. Bab 24 PENEMUAN YANG TAK DISANGKA Laguna itu lumayan juga dalamnya. Jack tidak berhasil menyelam sampai ke dasar, karena tidak mampu menahan napas cukup lama untuk itu. Ia muncul lagi ke permukaan sambil mengap-mengap. "Aku hanya bisa melihat setumpukan benda keputih-putihan terletak di dasar," katanya tersengal-sengal. "Hanya itu saja! Aku tadi tidak berhasil menyelam sampai ke situ, karena napasku habis." "Yah — itu tidak banyak gunanya," kata Dinah. "Kita kan ingin tahu, apa yang terdapat di dalam bungkus kedap air itu. Kita harus merobeknya supaya nampak apa isinya." "Itu tidak bisa kita lakukan dengan gampang," kata Philip. "Pasti bungkus itu terikat erat, atau dikencangkan dengan salah satu cara yang hebat. Biar aku saja yang mencoba sekarang, Jack — mungkin nanti aku bisa menyelam sampai cukup dekat sehingga bisa meraba apa isinya." "Aduh — tapi hati-hati, ya," kata Lucy-Ann. "Jangan-jangan isinya barang berbahaya." "Tapi kurasa bukan sesuatu yang bisa memakan kita," kata Jack sambil nyengir. "He, Kiki — kenapa kau tidak ikut menyelam seperti Enggas dan Enggos — supaya kau ada gunanya sedikit!" Tapi Kiki sama sekali tidak senang melihat anak-anak begitu gemar mandi-mandi. Ia terbang mengitar di atas kepala anak-anak yang sedang berenang. Sekali-sekali ia mencoba hinggap ke bahu salah satu dari mereka. Tapi Enggas dan Enggos senang ditemani anak-anak. Keduanya berenang dan menyelam-nyelam di samping mereka sambil memperdengarkan bunyi, "rrrr" bernada puas. Philip menukik, lalu menyelam. Dengan laju ia berenang menurun. Matanya terbuka lebar, memandang dalam air yang asin. Jauh di bawah dilihatnya ada onggokan putih yang nampak kemilau samar-samar di dasar laguna. Ia berenang lurus ke arah situ, lalu mengulurkan tangan untuk menyentuh. Di bawah bahan pembungkus dirasakannya ada sesuatu yang keras. Saat itu napasnya habis. Dengan dada serasa akan meledak, ia naik lagi ke permukaan. Sesampai di atas ia menghirup udara sambil tersengal-sengal. "Aku merasakan suatu benda keras tadi," katanya ketika napasnya sudah teratur kembali. "Tapi tidak mungkin bagiku mengetahui benda apa itu. Sial! Benar-benar menyebalkan — kita kini tepat berada di atas suatu misteri, tapi tidak mampu mengetahuinya!" "Yah — kurasa kita terpaksa menyerah," kata Jack. "Aku tahu pasti, napasku tidak mungkin mencukupi untuk menyelam sampai ke dasar, lalu di situ meraba-raba pembungkus untuk mengetahui isinya. Bisa pecah paru-paruku nanti." "Aku tidak suka jika kita cepat-cepat menyerah," kata Dinah "Kalau begitu kenapa tidak kau saja yang menyelam ke bawah, untuk melihat apakah kau bisa mengetahui sesuatu," kata Philip. "Kau kan tahu, napasku malah lebih pendek lagi," kata Dinah. "Jadi apa gunanya?" "Aku ingin ke tepi," kata Lucy-Ann. "Di sebelah sana ada batu yang terselubung rumput laut Letaknya enak, kena sinar matahari. Aku ingin berjemur sebentar di situ." Dengan gerakan lamban ia berenang ke tempat itu. Enggas dan Enggos mengiringinya sambil menyelam. "Bagaimana rupa mereka kalau menyelam dalam air?" tanya Lucy-Ann dalam hati. "Aku ingin melihat mereka mengejar ikan." Ia menukik, lalu menyelam. Ah — itu Enggas, sedang mengepakkan sayap dalam air. Begitu rupanya cara burung puffin berenang! Ia sedang mengejar seekor ikan yang besar. Ketika hendak menuju ke permukaan kembali, tiba-tiba ia melihat sesuatu di bawahnya. Di tempat itu laguna tidak begitu dalam, karena di situ terdapat batu-batu yang merupakan bagian dari kaki tebing. Batu-batu itu menjorok agak ke tengah sehingga air di situ agak dangkal. Tapi masih cukup dalam juga, karena kaki Lucy-Ann tidak dapat disentuhkan ke dasar. Lucy-Ann memandang sebentar ke bawah, untuk melihat apa yang terletak di atas batu dalam air itu. Tapi sayang, napasnya habis. Sambil terbatuk-batuk ia muncul ke permukaan. Setelah napasnya biasa lagi, anak itu menyelam sekali lagi — dan saat itu barulah ia tahu apa yang dilihatnya sekilas tadi. Ternyata salah satu bungkusan yang dijatuhkan dengan payung terjun tidak terjatuh di perairan yang dalam, melainkan tenggelam ke dasar berbatu di tempat yang agak dangkal. Bungkusan itu pecah — dan isinya berserakan di atas batu. Tapi benda-benda apakah itu? Lucy-Ann tidak berhasil mengenali. Bentuknya begitu aneh. Ia muncul lagi ke permukaan, lalu berseru-seru memanggil Jack "He, Jack! Salah satu bungkusan misterius itu jatuh di sini lalu pecah ketika terbentur ke batu-batu yang merupakan dasar di tempat ini! Tapi aku tidak bisa mengenali benda-benda itu!" Jack berenang menghampiri dengan gembira, diikuti oleh Philip dan Dinah. Semuanya ikut menyelam ke bawah, makin lama makin dalam. Mereka sampai di tempat bungkusan yang pecah pembungkusnya. Bahan keputih-putihan yang kedap air itu bergerak-gerak turun naik dengan lambat, mengikuti gerak air di situ. Sedang di sekitarnya berserakan isi bungkusan itu. Jack dan Philip bergegas-gegas memeriksa benda-benda itu karena mereka sudah hampir kehabisan napas. Setelah itu keduanya melesat kembali ke permukaan. Mereka berpandang-pandangan dengan napas - tersengal-sengal. Sejenak kemudian kedua menyerukan kata-kata yang sama, "Senapan! Senapan! Berlusin-lusin!" Anak-anak itu berenang menuju ke batu besar di mana Lucy-Ann sementara itu sudah duduk bermandikan sinar matahari. Mereka ikut naik ke atasnya. "Bayangkan — senapan! Untuk apa senapan-senapan dijatuhkan ke laguna ini? Mungkin dibuang? Tapi kenapa?" "Bukan, bukan dibuang — karena kalau begitu untuk apa repot-repot membungkusnya dengan bahan kedap air?" kata Philip. "Senapan-senapan itu disembunyikan di sini." "Disembunyikan!? Aneh benar — menyembunyikan senjata api di sini!" kata Dinah. "Lalu kemudian hendak diapakan senjata-senjata sebanyak itu?" "Mungkin orang-orang itu gerombolan penyelundup senjata," kata Jack. "Mereka mengangkut beratus-ratus pucuk senjata api dari salah satu tempat kemari untuk disembunyikan di sini, siap untuk diambil lagi jika diperlukan untuk aksi revolusi di salah satu tempat — mungkin di Amerika Selatan." "Ya, kurasa begitulah," kata Philip. "Selalu ada saja orang yang menimbulkan kerusuhan di mana saja, dan mereka memerlukan senjata untuk bertempur. Orang yang bisa menyelenggarakan senjata untuk mereka, bisa menjadi kaya raya. Ya, benar — itulah yang sedang terjadi di sini — penyelundupan senjata!" "Wah!" kata Lucy-Ann. "Dan kita secara tak sengaja terlibat dalam urusan yang begitu! Kurasa Bill sudah menduga kemungkinan ini — tapi orang-orang itu melihatnya ketika sedang mengintip-intip! Lalu ia disekap supaya rahasia mereka tidak bocor." "Tapi bagaimana cara mereka mengangkut senjata-senjata itu dari sini?" kata Jack sambil berpikir-pikir. "Maksudku — tidak mungkin dengan perahu, karena laguna ini dikelilingi daratan berbatu-batu. Walau begitu senjata-senjata itu pasti dikeluarkan dari dalam air, lalu diangkut ke tempat yang memerlukannya. Aneh — benar-benar aneh!" "Pokoknya, sekarang kita sudah tahu, apa sebenarnya yang dijatuhkan dari pesawat-pesawat itu," kata Philip. "Bukan main — laguna ini mestinya penuh dengan senjata! Persembunyian yang sempurna — karena tidak ada orang lain yang melihat ketika dijatuhkan kemari, dan tidak ada orang yang bisa menemukan senjata-senjata yang terserak di dasar..." "Ada — kita!" kata Lucy-Ann memotong. "Aku yang menemukan bungkusan yang pecah itu. Mestinya waktu dijatuhkan kemudian terbentur ke batu di dasar sehingga pecah berantakan " Anak-anak berbaring-baring menikmati sinar matahari yang hangat sambil membicarakan penemuan yang tak disangka-sangka itu. Tiba-tiba Kiki menjerit seperti terkejut. Dengan segera anak-anak duduk untuk melihat penyebabnya. "Astaga! — ada perahu menuju kemari," kata Jack dengan kecut. "Arahnya lurus ke sini, dari tebing batu yang membatasi ke arah laut." "Bagaimana kita sekarang?" kata Lucy-Ann ketakutan. "Di sini tidak ada tempat untuk bersembunyi, dan kita juga tidak bisa melarikan diri ke tempat lain tanpa ketahuan." Jack dan Philip memandang berkeliling dengan perasaan bingung. Apa yang masih bisa dilakukan sekarang? Tiba-tiba Philip meraup rumput laut sebanyak-banyaknya, lalu menutupi Lucy-Ann dengannya. "Kita menyelubungi diri kita dengan ini!" katanya. "Di sini banyak sekali rumput laut! Cepat — tarik sebanyak-banyaknya dan tutup tubuh dengannya. Ini satu-satunya kemungkinan kita supaya tidak ketahuan!" Dengan jantung berdebar-debar keempat anak itu menimbuni tubuh masing-masing dengan rumput laut sebanyak-banyaknya. Jack mengintip dari bawah tumpukannya. Ia berbisik, memperingatkan Dinah, "Satu kakimu masih kelihatan, Di ! Cepat, tutupi!" Enggas dan Enggos heran melihat "permainan" baru itu. Keduanya mencari tumpukan rumput laut yang menyelubungi tubuh Philip, lalu duduk di atasnya dengan sikap serius. Philip merasakan berat tubuh mereka di atasnya. Nyaris saja ia tertawa. "Takkan ada yang akan menyangka di bawah tumpukan rumput laut yang diduduki dua ekor puffin ada anak yang sedang bersembunyi," katanya dalam hati. "Mudah-mudahan saja anak-anak sebaik aku tersembunyinya." Perahu yang datang menepi tidak jauh dari tempat anak-anak bersembunyi. Sesaat kemudian terdengar suara dua sampai tiga orang bercakap-cakap, makin lama makin dekat Anak-anak menahan napas dengan perasaan tegang. "Aduh,jangan sampai mereka menginjak kami," kata Lucy-Ann berdoa dalam hati. Ia merasa mual karena takut, ditambah lagi karena ada rumput laut yang lembek menutupi mulutnya. Orang-0rang yang datang itu tidak menginjak anak-anak Tapi mereka berhenti tidak jauh dari situ. Sambil terus bercakap-cakap, semuanya menyalakan rokok. "Kiriman terakhir datang hari ini," kata seorang dari mereka. Suaranya berat dan serak. "Laguna ini tentunya sudah hampir penuh dengannya sekarang." "Ya — sudah waktunya kita membawa pergi sebagian," kata seseorang lagi dengan nada suara tajam dan memerintah. "Kita tidak tahu seberapa banyak informasi yang sudah disampaikan orang itu ke markas besarnya. Ia tetap tidak mau membuka mulut. Sebaiknya kita mengirim berita pada kepala kita, agar ia mengambil sebanyak-banyaknya — karena siapa tahu, jangan-jangan datang lagi orang lain dengan tugas mengintai kesibukan kita." "Bagaimana dengan orang yang satu lagi? Ia pun tidak mau mengaku," kata orang yang pertama. "Apa yang harus kita lakukan dengan kedua orang itu?" "Mereka tidak boleh terus berada di sini," kata orang yang bersuara tajam. "Masukkan keduanya ke perahu malam ini, lalu kita singkirkan mereka di salah satu tempat sehingga lenyap untuk selama-lamanya. Aku tidak mau buang-buang waktu lebih lama lagi dengan yang pertama — siapa lagi namanya? — O iya, Cunningham. Ia sudah cukup merepotkan kita, mengintai segala aksi kita tahun lalu. Sudah waktunya orang itu dilenyapkan." Anak-anak yang sudah kedinginan dan basah di bawah tumpukan rumput laut bertambah menggigil ketika mendengar kata-kata itu. Mereka tahu betul maknanya. Bill ternyata musuh besar orang-orang itu, karena ia selalu berhasil melacak jejak mereka — tapi sekarang ia berada dalam kekuasaan mereka! Orang-orang itu takut kalau-kalau Bill sudah terlalu banyak mengetahui seluk-beluk rahasia mereka. Padahal kemungkinannya Bill tidak sebanyak anak-anak pengetahuannya mengenai para penjahat itu. "Karenanya mereka hendak mengangkut segala persenjataan itu lagi dari sini, sedang Bill disingkirkan di salah satu tempat sehingga lenyap untuk selama-lamanya," pikir Jack dengan cemas. "Kita harus bisa menyelamatkannya — dan selekas mungkin! Aku ingin tahu, siapa orang satu lagi yang mereka bicarakan tadi. Tidak mungkin itu Horace - karena menurutku, ia termasuk gerombolan ini." Sementara itu para penjahat sudah beranjak dari tempat semula, berjalan agak menjauh. Rupanya mereka hendak memeriksa tempat penyembunyian senjata yang- luar biasa itu, walau isinya sedikit pun tidak kelihatan. Anak-anak tidak berani berkutik, karena takut ketahuan. Capek sekali rasanya berbaring di atas batu, Lucy-Ann menggigil. Kemudian terdengar bunyi mesin perahu motor dihidupkan lagi, Syukurlah! Anak-anak masih menunggu dulu selama beberapa saat Kemudian Jack bangkit dengan hati-hati, lalu duduk. Ia memandang berkeliling. Di sekitar situ tidak nampak siapa-siapa. Orang-orang tadi kembali ke perahu mereka lewat jalan lain. Dan kini perahu itu sudah jauh, menuju ke tengah laut. "Huh!" kata Jack sambil menghembuskan napas lega. "Ngeri perasaanku tadi! Sedikit saja lagi, kakiku pasti terinjak salah seorang dari mereka!" Bab 25 KEJUTAN BARU Anak-anak duduk sambil menyingkirkan rumput laut yang licin itu dari tubuh mereka. Enggas dan Enggos turun dari tubuh Philip, di atas mana mereka selama itu duduk. Kiki takut bercampur kesal tadi, karena tubuhnya ikut ditutup dengan rumput laut oleh Jack. Burung iseng itu dipaksanya tetap berada di sisinya, karena Jack khawatir kalau-kalau ia mengoceh sehingga anak-anak ketahuan. Kini Kiki melampiaskan kekesalannya. "Kasihan, kasihan Polly! Panggil dokter! Sayang,sayang, dik-dak-dur, Polly masuk sumur!" Anak-anak saling berpandang-pandangan dengan serius ketika semua sudah menyingkirkan rumput laut yang tadi menyelubungi. Satu hal sudah jelas. Saat itu Bill terancam bahaya besar! "Apa yang bisa kita lakukan?" kata Lucy-Ann dengan mata berlinang-linang. Tidak ada yang bisa memberikan jawaban. Kemana pun mereka pergi, rasanya selalu ada saja bahaya yang menunggu. "Yah," kata Jack setelah beberapa saat membisu, "setidak-tidaknya kita kini sudah punya perahu lagi. Kurasa nanti malam kalau sudah gelap kita berangkat saja ke pulau tempat para penjahat. Sesampai di sana kita cari tempat mereka menaruh perahu motor mereka. Dengan begitu kita akan tahu bahwa Bill ada di situ." "Lalu kita menyelamatkannya!" kata Dinah bersemangat. "Tapi bagaimana cara kita nanti menghampiri pulau itu tanpa didengar atau dilihat musuh?" "Sudah kukatakan tadi, kita berangkat kalau hari sudah gelap," kata Jack. "Lalu apabila pantai pulau itu sudah dekat, mesin perahu kita matikan. Kita mendayung ke tepi, sehingga musuh tidak bisa mendengar kedatangan kita." "O ya — aku lupa, dalam perahu ada dayung," kata Dinah. "Untung saja!" "Bagaimana jika sekarang kita kembali saja ke teluk kecil kita di balik pulau ini?" tanya Lucy-Ann. "Di sini aku merasa tidak begitu aman. Lagi pula, aku ingin tahu apakah perahu kita masih ada di sana." "Tambahan lagi selama kita belum kembali ke tempat itu, kita sama sekali tidak punya makanan," kata Philip sambil bangkit. "Yuk — aku sudah kedinginan sekali. Tubuh kita bisa menjadi hangat lagi nanti karena mendaki batu-batu menuju ke atas bukit yang di sana itu, lalu melintasi pulau menuju tempat perahu kita." Anak-anak berjalan melalui bagian yang berbatu-batu, menuju tempat mereka tadi membuka pakaian. Ternyata pakaian mereka masih ada di situ. Baju mandi yang basah ditukar dengan pakaian yang kering. Tikus-tikus putih yang ditinggalkan oleh Philip dalam kantongnya nampak senang sekali melihatnya datang. Mereka berlari-lari menyusur tubuh anak itu sambil mencicit-cicit kesenangan. Enggas dan Enggos ikut lagi dengan anak-anak. Semua dengan diam-diam mengucap syukur ketika melihat bahwa perahu mereka masih ada di pantai. Semua pergi ke situ lalu memilih-milih kaleng makanan yang akan dibuka. "Cari yang banyak sausnya untuk diminum," kata Jack. "Setahuku di tempat ini tidak ada air tawar — padahal aku haus sekali. Kita buka saja sekaleng nenas, karena airnya selalu banyak di dalamnya." "Mendingan kita buka dua kaleng sekaligus kalau Kiki juga harus dibagi," kata Dinah. "Kalian tahu kan rakusnya kalau diberi nenas." Anak-anak berusaha bersikap riang gembira. Tapi entah kenapa, setelah penemuan senjata-senjata di dasar laguna, ditambah dengan tahunya mereka bahwa Bill sedang dalam bahaya besar, tidak seorang pun dari mereka mampu berbicara lama-lama. Satu demi satu mereka membisu. Apa yang sedang mereka makan saat itu pun seolah-olah tidak dirasakan. Kesunyian yang menyusul terasa mencengkam. Saat itu yang terdengar hanya bunyi paruh Kiki yang asyik menggores-gores dasar salah satu kaleng yang tadinya berisi nenas. Akhirnya Dinah memecah kesunyian itu. "Kurasa memang sebaiknya kita berangkat begitu hari sudah gelap — tapi hatiku kecut menghadapinya," katanya. "Aku sudah berpikir-pikir," kata Jack, "dan aku sampai pada kesimpulan, sebaiknya aku bersama Philip saja yang pergi menolong Bill. Tindakan ini besar sekali risikonya, dan kita juga sama sekali tidak tahu bahaya bagaimana yang nanti dihadapi. Karenanya aku merasa tidak enak jika kalian berdua juga ikut." "Kami harus ikut!" seru Lucy-Ann. Ia merasa tidak enak jika Jack pergi tanpa dia. "Bagaimana jika nanti terjadi sesuatu dengan kalian? — kami akan sendiri saja di pulau ini, tanpa ada orang lain - yang mengetahui! Tidak! Pokoknya, aku ikut, Jack. Kau tidak bisa menghalang-halangi." "Baiklah," kata Jack. "Mungkin memang lebih baik jika kita tetap tidak berpisah-pisah. Ngomong-ngomong — mungkinkah orang satu lagi yang dibicarakan tadi itu Horace? Kita kan tidak mungkin keliru sangka mengenai dirinya?" "Yah, dan semula- aku sudah menganggapnya terlalu tolol," kata Dinah. "Maksudku—ia memang benar-benar tolol, bukan hanya pura-pura saja. Kurasa kita memang telah keliru mengenainya. Menurutku, mungkin ia memang penggemar burung." "Wah! Kalau begitu, ia pasti menganggap kita anak-anak yang sangat jahat," kata Jack kaget. “Dan kita juga merampas perahunya — sedang ia kita tinggalkan, sehingga akhirnya ditawan musuh!" "Mereka tentunya mengira ia. kawan Bill, lalu marah sekali padanya ketika ia mengatakan tidak kenal pada Bill atau tahu apa-apa mengenainya," kata Philip. Anak-anak termenung, memikirkan nasib Horace. "Untung kita tidak jadi memukul kepalanya," kata Jack. "Horace Tripalong yang malang!" "Kita juga -harus menyelamatkannya," kata Lucy-Ann. "Sedikit banyak sebagai imbalan karena kita merampas perahunya. Tapi ia pasti marah sekali pada kita setelah segala perbuatan kita terhadapnya!" Saat itu Enggas muncul membawa hadiahnya yang biasa. Setengah lusin ikan yang diatur berselang-seling dengan rapi di paruhnya yang besar. Ikan-ikan itu ditaruhnya dekat kaki Philip. "Terima kasih," kata Philip. "Tapi kaumakan saja sendiri, karena di sini kami tidak berani menyalakan api untuk memasaknya." "Rrrrr," kata Enggas, lalu menghampiri kaleng-kaleng yang sudah kosong isinya. Enggos cepat-cepat memanfaatkan kesempatan baik itu. Ikan-ikan yang dibawakan Enggas untuk Philip ditelannya sampai habis semua. Kiki memperhatikannya dengan pandangan jijik. Burung kakaktua itu tidak doyan makan ikan segar yang baru diambil dari laut. "Bah!" katanya dengan suara Horace. Anak-anak tersenyum mendengarnya. "Kiki, nanti malam kau harus diam, ya," kata Jack sambil menggaruk-garuk jambul burung itu. "Jangan mengoceh `buh’ atau `bah` sehingga musuh tahu kita ada di dekat mereka!" Ketika matahari mulai menurun ke laut, anak-anak pergi membawa perahu motor agak ke tengah untuk memeriksa adanya kemungkinan menubruk karang saat mereka pergi kalau hari sudah benar-benar gelap. Di kejauhan nampak pulau tempat musuh berada. Dan di salah satu tempat di sana Bill saat itu ditawan — dan mungkin juga Horace. "Mudah-mudahan nanti ada cahaya yang bisa dijadikan pegangan di mana kita harus mendarat," kata Jack. "Tak mungkin kita berkeliling-keliling mengitari pulau untuk mencari tempat yang cocok, karena pasti akan segera ketahuan. Sedang mengitarinya dengan jalan berdayung —juga tidak bisa." "Kemarin malam kita kan melihat cahaya terang yang memberi isyarat pada perahu yang di depan kita," kata Philip. "Mungkin malam ini cahaya itu akan dinyalakan lagi sebagai tanda isyarat. Yuk, kita kembali saja lagi. Kelihatannya di sekitar sini tidak ada karang yang harus dihindari nanti malam. Begitu hari sudah gelap, kita akan berangkat." Anak-anak kembali ke pantai. Saat mereka tiba di situ, tahu-tahu terdengar dengungan mesin pesawat terbang. "Mereka kan tidak bermaksud menjatuhkan bungkusan lagi!" kata Jack. "Cepat, bertiarap semuanya! Jangan sampai kelihatan! Cepat — ke batu-batu besar itu!" Anak—anak meringkuk di balik tumpukan batu-batu besar. Bunyi pesawat semakin nyaring. Tiba-tiba Jack berseru. "Itu pesawat terbang air," serunya. "Lihatlah — di bagian bawahnya ada sepasang pelampung!" "Bukan main besarnya!" kata Dinah. "Rupanya akan turun!" Pesawat itu terbang semakin merendah sambil berputar-putar mengelilingi pulau. Kelihatannya seperti nyaris menyentuh bukit yang menjulang di samping laguna. Kemudian bunyi mesin tidak kedengaran lagi. Rupanya dimatikan. "Sudah mendarat," kata Jack. "Pesawat itu pasti sudah terapung di laguna. Aku berani bertaruh, pesawat itu sekarang pasti di sana!" "Senja nanti kita pergi melihatnya, yuk," ajak Dinah. "Mungkinkah kedatangannya untuk mengambil senjata-senjata yang disembunyikan di sana?" "Menurutmu dengan cara bagaimana?" tukas Jack. "Pesawat itu kan besar dan kekar," kata Philip. "Mungkin saja di dalamnya terdapat peralatan untuk mengangkat senjata-senjata itu ke atas. Jika para penjahat beranggapan ada kemungkinan pemerintah kita mengirim patroli kemari untuk memeriksa urusan ini yaitu apabila Bill berhasil mengirim kabar ke markas besarnya — musuh kita sudah pasti akan berusaha selekas mungkin membawa senjata-senjata itu pergi dari sini. Kalau melihat yang datang itu pesawat terbang air, kemungkinannya senjata-senjata itu akan diterbangkan ke Amerika Selatan — atau tempat lain di seberang laut." Ketika senja sudah tiba, anak-anak tidak bisa lagi menahan keinginan mereka. Mereka berangkat melintasi pulau, menuju ke puncak bukit. Dari situ mereka hendak melihat ke laguna. Walau saat itu sudah mulai gelap, mungkin saja akan terlihat sesuatu yang menarik di sana. Tidak lama kemudian mereka sudah ada di bukit yang menjulang di tepi laguna. Samar-samar nampak sosok pesawat besar itu di tengah perairan. Tiba-tiba lampu-lampu di pesawat menyala, disertai bunyi berat dan gemeretak — seolah-olah ada mesin yang sedang bekerja. "Pasti mereka sedang menderek bungkusan-bungkusan senjata," bisik Jack. "Kita memang tidak melihat dengan jelas — tapi dari bunyi yang terdengar kita bisa tahu bahwa ada mesin yang sedang bekerja. Bunyinya seperti mesin derek." Lucy-Ann membayangkan semacam mesin yang mengulurkan kabel-kabel yang diperlengkapi kaitan ke dalam laguna untuk mengangkat bungkusan-bungkusan senjata yang berat-berat itu ke atas. Lalu apabila sudah terisi penuh, pesawat akan berangkat lagi, sementara pesawat berikut datang susul-menyusul! Atau bisa juga pesawat itu yang terbang bolak-balik mengambil muatan senjata. Lucy-Ann bergidik karena ngeri. "Seram rasanya menghadapi musuh yang memiliki kapal, pesawat terbang, dan senjata," pikirnya. "Sedang kita tidak punya apa-apa kecuali perahu milik Horace — ditambah dengan akal!" Kemudian anak-anak kembali ke tempat perahu mereka yang agak ke tengah letaknya karena dibawa arus pasang. Tapi tadi mereka menambatkannya ke sebuah batu besar yang ada di pantai. Karenanya dengan mudah mereka bisa menariknya kembali ke tepi. "Nah — sekarang inilah petualangan yang paling hebat," kata Jack dengan serius, ketika semua sudah naik ke perahu. "Bersembunyi merupakan petualangan. Minggat juga merupakan petualangan. Tapi menyelamatkan seseorang yang ditawan di sarang musuh merupakan petualangan yang paling seru." "Asal jangan kita sendiri yang malah tertawan nanti," kata Lucy-Ann. Jack menghidupkan mesin perahu. Perahu motor yang kecil itu diarahkan ke tengah laut, meninggalkan pulau laguna di belakang. Enggas dan Enggos bertengger di sandaran tepi geladak seperti biasa mereka lakukan, sementara Kiki bertengger di bahu Jack. Tikus-tikus yang ketakutan mendengar bunyi yang datang dengan tiba-tiba itu berkumpul di lekuk punggung Philip dan berdesak-desak di situ. "Kalian menggelitikku!" kata Philip. Tapi tikus-tikus itu tak peduli. "Nah — selamat bagi kita semua," kata Dinah. "Semoga kita berhasil menyelamatkan Bill dan juga Horace — mengalahkan musuh kita — lalu kembali ke rumah dengan selamat!" "Hidup Raja!" kata Kiki dengan nada suara persis seperti Dinah. Anak-anak tertawa. Kiki memang lucu sekali! Bab 26 BERANGKAT KE PULAU MUSUH Perahu kecil itu melaju dalam gelap Philip yang mengemudikannya. Ia memilih sebuah bintang besar sebagai pedoman, sehingga ketetapan arah haluan selalu terjaga. Setelah beberapa waktu Jack menyentuh lengannya. "Kaulihat cahaya itu?" kata Jack. "Tempatnya pasti di pulau musuh. Bukan sinar isyarat terang yang kita lihat kemarin malam — tapi pasti datangnya dari pulau itu juga." "Akan kuarahkan haluan ke sana," kata Philip. "Jaga jangan sampai Kiki nanti tahu-tahu cekakakan atau menjerit! Bunyi di tengah laut sini bisa terdengar dengan jelas sampai ke daratan. Sebentar lagi mesin harus kumatikan, karena itu pun akan kedengaran." "Kiki pasti akan membungkam nanti," kata Jack. "Sssst!" desis Kiki dengan segera. "Ya, betul! Burung pintar! Sssst!" kata Jack. Philip mematikan mesin. Laju perahu semakin menurun, dan akhirnya terapung-apung saja di tengah laut yang berombak. Dengan teropongnya Jack mengamat-amati sinar yang nampak di pulau. "Kurasa itu mestinya semacam lampu pelabuhan," katanya. "Mungkin di sana ada pelabuhan kecil — karena bisa saja mereka memiliki sejumlah perahu motor di tempat itu, yang secara teratur mengadakan patroli untuk memastikan bahwa tidak ada yang datang ke pulau-pulau di dekat sini. Cahaya itu sama sekali tidak berkelip-kelip." Philip mencari-cari dayung dalam perahu. "Sekarang kerja keras sebentar," sambil mengeluarkan sepasang dayung. "Pukul berapa sekarang, Jack?" "Hampir pukul sebelas," kata Jack setelah memandang arlojinya yang jarum dan angka-angkanya bersinar pendar. "Saatnya tepat! Sekitar tengah malam nanti kita akan mendekati pantai, saat mana mudah-mudahan Saja musuh sudah tidur semua;" Kedua anak itu masing-masing memegang sebatang dayung, lalu mulai mengayuh dengan bertenaga. Perahu meluncur mengiris air. "Kami gantikan nanti jika kalian sudah capek," kata Dinah. "Ke mana tikus-tikusmu, Philip? Baru saja ada sesuatu menyentuh kakiku. Jika kau membiarkan mereka berkeliaran, bisa menjerit aku nanti!" "Mereka ada dalam kantongku," kata Philip. "Sangkaanmu yang bukan-bukan saja, seperti biasa. Kalau kau sampai berani berteriak, kulempar nanti ke dalam air!" "Tidak, Dinah takkan berteriak," kata Lucy-Ann. "Itu cuma Enggas dan Enggos yang sedang berkeliaran di geladak, Dinah. Seekor di antaranya baru saja memakai kakiku sebagai tempat bertengger." "Rrrrr!" terdengar bunyi parau dari arah sandaran tepi geladak. "Sssst!" desis Kiki dengan segera. "Kiki tidak mengerti bahwa tidak apa-apa jika Enggas dan Enggos yang berbunyi," kata Jack. "Bunyi mereka bunyi burung yang wajar di sini, sehingga tidak menyebabkan musuh langsung waspada." "Sssst!" desis Kiki sekali lagi. Ia jengkel, karena masih saja ada yang berbicara. Cahaya dari arah pantai bersinar tanpa berkelip. "Mestinya itu lentera," kata Jack dengan suara pelan sambil mendayung sekuat tenaga. "Mungkin tanda pedoman untuk perahu motor yang keluar masuk. Kita istirahat sebentar, Philip. Aku mulai capek." "Setuju," kata Philip. Dinah dan Lucy-Ann hendak menggantikan, tapi tidak diperbolehkan oleh Jack. "Jangan," katanya, "kalian tidak sebaik kami mendayung. Kami bisa saja istirahat sebentar, kapan kami merasa perlu. Kita tidak perlu buru-buru. Malah lebih lambat, lebih baik." Setelah beristirahat sejenak, Jack dan Philip mulai mendayung lagi. Perahu meluncur dengan tenang menuju ke cahaya yang nampak. "Jangan bicara lagi sekarang," bisik Jack. "Kalau terpaksa, berbisik — tapi lirih sekali!" Lutut Lucy-Ann sudah terasa aneh lagi. Perutnya juga begitu. Dinah sangat tegang saat itu. Napasnya memburu, padahal ia sama sekali tidak mendayung. Jack dan Philip sudah tegang sekali. Mungkinkah mereka akan menemukan perahu motor musuh di sana dengan Bill sudah ada di dalamnya, siap untuk di-"singkir"-kan, seperti kata salah seorang penjahat ketika berada di laguna tadi siang? Dan apakah akan banyak yang menjaga di situ? "Bunyi apa itu?" bisik Dinah kemudian, ketika perahu mereka sudah semakin dekat ke darat. "Kedengarannya aneh." Jack dan Philip berhenti mendayung sebentar. Keduanya mencondongkan tubuh ke depan supaya bisa lebih jelas mendengar. "Kedengarannya seperti musik," kata Jack. "Ah, tentu saja — itu kan bunyi pesawat radio!" "Bagus!’ kata Philip. "Kalau begitu kecil kemungkinannya musuh bisa mendengar kita datang. Jack! Lihatlah — kalau tidak salah, di sebelah sana ada pangkalan yang kecil — nampak samar diterangi cahaya lentera itu. Mungkinkah kita bisa menyelinap masuk tanpa ketahuan? Dan lihatlah! — perahukah itu, yang nampak di bawah lentera?" Jack berusaha mengenalinya. "Sebentar — kuambil teropongku," kata Philip. Ia meraba-raba sebentar, lalu menempelkan teropong ke matanya. "Ya, betul — itu memang perahu! Besar ukurannya — sudah bisa disebut kapal! Kurasa dengan itu musuh datang ke pulau kita waktu itu. Bill pasti ada di situ, terkurung dalam kabin!" Sementara itu bunyi musik masih terus terdengar. "Rupanya berasal dari pesawat radio di kapal itu," kata Jack. "Mungkin penjaga di situ yang menghidupkan. Kalau begitu jangan-jangan ia ada di geladak — penjaga itu, maksudku. Tapi di situ gelap." "Kalau kau ingin tahu pendapatku, saat ini ia pasti sedang asyik berbaring-baring dengan santai di geladak, sementara dari radio terdengar lagu demi lagu yang enak-enak," jawab Philip sambil berbisik. "Lihatlah! — kaulihat nyala yang kecil itu, Jack? Kurasa itu nyala rokok yang sedang dinikmati olehnya." "Ya, mungkin juga," kata Jack. "Kurasa lebih baik kita jangan lebih dekat lagi," kata Philip. "Kita tidak boleh sampai ketahuan. Kalau penjaga itu sampai tahu lalu memanggil kawan-kawannya, habislah riwayat kita. Berapa orang ya, yang menjaga di sana? Aku hanya melihat satu nyala api saja." "Apa yang akan kalian lakukan?" bisik Lucy-Ann. "Cepat, berbuatlah sesuatu! Aku tidak kuat lagi menahan ketegangan ini." Philip mengulurkan tangannya, memegang tangan Lucy-Ann "Jangan cemas," bisiknya. "Tidak lama lagi kami pasti akan beraksi. Saatnya kurasa tepat sekali. Coba penjaga itu tertidur sekarang!" "He, Jambul! Kau mau tahu, apa yang menurut pendapatku paling baik kita lakukan?" kata Jack tiba-tiba. "Bagaimana jika kita berdua berenang ke pangkalan sana, lalu naik ke kapal dan menyergap penjaga itu? Mungkin kita akan bisa menceburkannya ke air — dan sebelum ia sempat berteriak minta tolong kita cepat-cepat membuka tingkap tempat Bill terkurung dan mengeluarkannya. Siapa tahu, mungkin kita juga bisa berhasil melarikan kapal itu — sehingga kita punya dua!" "Rencanamu baik sekali kedengarannya," kata Philip "Tapi kita belum tahu pasti, apakah Bill memang benar ada di situ! Lagi pula, kurasa kecil sekali kemungkinannya kita bisa menceburkan penjaga ke air — apalagi jika yang ada di situ tidak satu orang saja. Tidak — lebih baik kita melihat keadaan saja dulu. Tapi gagasanmu mengenai berenang ke pangkalan, kurasa bisa dilaksanakan. Ya — itulah yang akan kita kerjakan. Di sana kita naik di bagian yang gelap, di balik bayangan lampu." "Aduh — mestikah kalian berenang dalam gelap?" tanya Lucy-Ann. Ia bergidik, memandang permukaan air yang gelap. "Hii, kalau aku — takkan berani. Hati-hati, Jack" "Jangan khawatir," kata Jack. "Yuk, Philip. Buka pakaianmu. Kita berenang dengan celana dalam." Dengan segera kedua anak itu sudah meluncur ke dalam air. Napas mereka tersentak, karena dinginnya air. Tapi beberapa saat kemudian keduanya sudah merasa hangat, sementara mereka - berenang dengan cepat menuju ke pangkalan. Bunyi musik terdengar semakin jelas. "Bagus," kata Jack dalam hati. "Dengan begitu para penjahat sama sekali takkan mendengar kami datang." Jack dan Philip berenang menjauhi tempat terang. Mereka naik ke pangkalan di bagian yang berbayang-bayang gelap sekali. Tidak mudah mereka naik ke atas. "Kapal itu di situ letaknya," bisik Jack dekat telinga Philip. "Untung saja tidak tepat di bawah lentera!" Mereka dikagetkan bunyi yang tiba-tiba terdengar. Bunyi orang menguap di geladak kapal. Bunyi itu disusul suara radio dimatikan. Seketika itu juga malam diselimuti kesunyian. "Barangkali ia hendak tidur," desis Jack "Kita tunggu saja sebentar." Sekitar sepuluh menit lamanya mereka menunggu sambil membisu. Orang yang ada di kapal mencampakkan puntung rokoknya yang masih menyala ke air. Ia tidak menyalakan rokok lagi. Jack dan Philip mendengar orang itu mendengus beberapa kali — seolah-olah sedang mencari-cari posisi berbaring yang nyaman. Kemudian terdengar bunyinya menguap sekali lagi. Tapi kedua anak itu masih tetap menunggu dulu. Mereka menunggu dengan tubuh menggigil di bagian pangkalan yang gelap. Mereka berdekat-dekatan supaya bisa mendapat sedikit kehangatan dari tubuh teman. Kemudian terdengarlah bunyi yang sejak tadi ditunggu-tunggu. "Orang itu mendengkur," bisik Jack. Diremasnya lengan Philip karena gembira. "Ia sudah tidur. Aku yakin di situ hanya ada seorang penjaga — karena kalau tidak, pasti terdengar suara mereka bercakap-cakap. Sekaranglah kesempatan bagi kita. Yuk — tapi hati-hati, jangan sampai orang itu terbangun!" Jack dan Philip, yang sementara itu menggigil karena tegang ditambah kedinginan, menyelinap dengan berhati-hati di atas pangkalan, menuju ke kapal. Sesampai di situ mereka naik ke geladak Mereka tidak memakai sepatu, jadi langkah mereka sedikit pun tidak terdengar. Di geladak nampak penjaga yang tidur — kalau ia memang penjaga! Jack dan Philip tertegun ketika mendengar sesuatu. Datangnya dari bawah kaki mereka Kedua anak itu tidak bergerak. Mereka memasang telinga, mendengarkan dengan seksama. Mereka mendengar suara orang bercakap-cakap di bawah mereka. Dalam kabin! Siapakah itu? Mungkinkah itu Bill? Dan siapa temannya bercakap-cakap? Mungkin Horace. Tapi bisa juga yang terdengar suaranya itu bukan Bill! Mungkin musuh yang sedang main kartu. Mungkin pula orang yang tidur itu bukan penjaga. Akan konyol jadinya jika orang itu diceburkan ke laut, lalu saat pintu kabin dibuka ternyata musuh yang terdapat di dalam! "Sebaiknya kita dengarkan baik-baik dulu, untuk memastikan bahwa yang berbicara itu benar-benar Bill," bisik Jack di telinga Philip. Mereka melihat jalur-jalur sinar memancar ke luar dari celah-celah yang terdapat antara tingkap kabin dengan lantai geladak. Jadi mereka tahu pasti di mana kabin terletak. Keduanya merangkak maju dengan berhati-hati, lalu berlutut di samping tingkap yang tertutup. Mereka menempelkan telinga ke situ, berusaha menangkap suara-suara yang datang dari bawah. Percakapan itu tidak bisa ditangkap dengan jelas. Tapi ketika salah seorang yang berbicara mendehem-dehem dan batuk sebentar, dengan segera Jack dan Philip tahu siapa dia! Itu salah satu kebiasaan Bill. Bill ada di bawah. Ialah yang berbicara di sana. Kedua anak itu lega sekali. Mereka ingin sekali bisa berhasil membebaskan Bill agar ia bisa mengambil alih pimpinan! "Jika orang yang di geladak ini kita ceburkan ke laut, jangan-jangan ia -berhasil dengan cepat memanggil kawan-kawannya sehingga kita tidak sempat mengeluarkan Bill lalu menjelaskan duduk perkara padanya," bisik Jack dan Philip. "Kelihatannya orang itu sudah tidur nyenyak! Bagaimana jika kita buka gerendel pengunci tingkap lalu membukanya supaya Bill bisa melihat kita ada di sini? Nanti ia akan bisa membantu kita menaklukkan penjaga, lalu menguasai kapal." "Kau yang membuka tingkap, sedang aku berjaga-jaga dekat penjaga supaya begitu ia terbangun aku bisa langsung menceburkannya ke laut," kata Philip. "Ayo, cepat!" Jack menjamah gerendel pengunci tingkap. Jari-jemarinya gemetar sehingga nyaris tak mampu menarik benda itu. Ia takut jangan-jangan jika ditarik akan menimbulkan bunyi. Tapi ternyata tidak — gerendel itu bisa digeser ke belakang dengan lancar. Jack mencari-cari tempat pegangan pada tingkap, lalu menariknya ke atas sehingga tingkap terbuka. Cahaya terang memancar ke atas dari dalam kabin. Kedua orang yang ada situ mendongak ketika mendengar bunyi pelan saat tingkap dibuka. Seorang dari mereka itu Bill — sedang yang seorang lagi Horace. Bill cepat—cepat berdiri dengan sikap kaget ketika melihat wajah Jack memandang ke bawah di tempat gelap. Jack menempelkan telunjuknya ke bibir, mencegah Bill yang nyaris saja berseru. "Cepat, keluar!" bisik Jack. "Kita masih harus membereskan penjaga." Horace merusak segala-galanya. Begitu ia melihat Jack, anak jahat yang menjerumuskannya ke dalam lubang sewaktu di Pulau Puffin, Horace meloncat bangkit sambil berteriak dengan marah, "Dialah anak jahat itu! Awas — kubekuk kau sekarang!" Bab 27 MINGGAT "Sssst!" desis Jack sambil menuding ke belakang, ke arah penjaga. Tapi peringatannya terlambat. Penjaga itu kaget ketika mimpinya yang indah terganggu oleh suara orang berteriak. Ia mengejap-ngejapkan mata sesaat. Tapi hanya sesaat saja. Dengan sigap ia meloncat bangkit ketika melihat ada sinar terang ke luar dari lubang tingkap yang sudah terbuka. Sementara itu Bill mematikan lampu di dalam kabin. Kini segala-galanya diselubungi kegelapan. Bill bergegas menaiki tangga kabin ke atas, sementara penjaga berseru-seru, "He, apa-apaan ini? Siapa di situ?" Philip melompat ke arahnya dan berusaha mendorong orang itu ke air. Tapi lawannya bukan orang yang lemah. la melawan. Akhirnya malah Philip sendiri yang terlempar ke air. Saat itu Bill sudah sampai di geladak. Dengan mendengar suara napas penjaga yang terengah-engah sebagai penunjuk arah, ia mengayunkan kepalan tinju tangan kanannya. Penjaga itu kaget ketika tahu—tahu ada orang memukulnya. Ia terhuyung-huyung. Bill menyodorkan kaki ke depan dengan harapan kaki lawannya terkait sehingga terjatuh. Dan memang itulah yang terjadi. Si penjaga terjerembab ke lantai geladak. Secepat kilat Bill sudah meringkusnya, sementara Jack bergegas datang membantu. "Siapa tercebur ke air tadi?" tanya Bill terengah-engah. "Philip," kata Jack. Ia menduduki kaki si penjaga sehingga orang itu tidak bisa berkutik lagi. "Tapi ia tidak apa-apa. Ia bisa berenang ke perahu yang satu lagi." "Masukkan orang ini ke bawah," kata Bill. "Mana orang yang satu lagi — siapa namanya — Tipperlong? Si Goblok itu mengacaukannya saja!" Saat itu Horace berdiri meminggir, bingung menghadapi peristiwa yang tiba-tiba itu. Ia ketakutan mendengar suara pergulatan yang disertai erangan dan bunyi napas terengah-engah. Sekali lagi terdengar penjaga berteriak, ketika ia dilemparkan ke bawah — ke dalam kabin. Tingkap penutup dibanting tertutup dan Bill menarik gerendel penguncinya. "Untuk sementara ia sudah kita amankan," kata Bill geram. "Sekarang cepat — kita jalankan kapal ini! Kita harus sudah pergi dari sini sebelum musuh sadar apa yang sebenarnya terjadi!" Penjaga yang terkurung dalam kabin mengamuk. Ia berteriak-teriak dan menggedor-gedor. Sementara itu Bill bergerak dengan cepat dalam gelap, menuju ke roda kemudi. Tahu-tahu di darat terjadi berbagai hal. Lampu-lampu menyala, dan terdengar suara berseru-seru disusul bunyi langkah orang berlari-lari. "Kita tidak sempat lagi melepaskan tali penambat dan menghidupkan mesin sebelum musuh sampai di sini," keluh Bill. "Katamu tadi kita punya perahu di sini, Jack? Mana dia? Dan bagaimana dengan Philip? Cepat — Jawab!" "Ya — perahu kita ada di ujung sebelah sana —dengan Dinah dan Lucy-Ann — sedang Philip mungkin sekarang sudah sampai di sana pula," kata Jack terburu-buru. "Sebaiknya kita berenang saja ke sana!" ‘ "Kalau begitu cepat terjun!" kata Bill. "He, Tipperlong! Di mana Anda? Ayo, ikut!" "Ak-ak-aku t-tid-tidak bisa berenang," kata Horace terbata-bata. Kasihan! "Sudah, loncat saja ke air, nanti kubantu," kata Bill tegas. Tapi Horace malah meringkuk ke salah satu sudut. Bayangan harus meloncat ke dalam air yang dingin dan gelap saat tengah malam, sementara di mana-mana ada musuh menimbulkan kepanikan dalam dirinya. Ia tidak mampu berkutik lagi. "Kalau begitu tinggal saja di situ," tukas Bill dengan kesal. "Aku harus lari bersama anak-anak ini — tak bisa kubiarkan. mereka sendiri!" Bill dan Jack terjun ke laut. Horace menggigil ketika mendengar bunyi tubuh mereka tercebur ke dalam air. Biar diapakan pun ia takkan mau menyusul. Horace meringkuk di sudut dengan tubuh gemetar, pasrah menunggu musuh yang datang berlari-lari di pangkalan menuju ke kapal. Para penjahat datang bergegas-gegas membawa senter menyala. Terdengar suara-suara ribut memanggil penjaga, menanyakan apa yang terjadi. Mereka berebut-rebut naik ke kapal dan langsung menemukan Horace yang masih tetap meringkuk di pojok. Laki-laki malang itu diseret ke luar. Sementara itu penjaga masih terkurung dalam kabin. Ia masih sibuk menggedor-gedor sambil berteriak-teriak dengan suara serak karena marah. Para penjahat lainnya menghujani Horace dengan pertanyaan, karena mereka tidak tahu persis apa sebetulnya yang telah terjadi. Bill dan Jack yang sedang berenang menuju ke perahu motor yang satu lagi mendengar suara orang-orang yang hingar-bingar di kapal yang baru saja mereka tinggalkan. Keduanya berdoa dalam hati, semoga Horace tidak mengatakan apa-apa pada musuh. Memang, sebentar lagi penjaga yang terkurung dalam kabin pasti akan sudah memberikan keterangan yang diinginkan. Tapi bagi Jack dan Bill, selisih waktu beberapa menit itu mungkin sangat menentukan. Semenara itu Philip sudah kembali di perahu motor. Ia menenangkan Dinah dan Lucy-Ann yang ketakutan. Ketika didengarnya bunyi ceburan di air ketika Bill dan Jack melompat dari kapal musuh, Philip memicingkan mata untuk mengamat-amati. Begitu didengarnya bunyi gerakan lengan keduanya yang sedang berenang, dengan hati-hati ia menyorotkan senternya sekejap satu atau dua kali di atas air untuk menunjukkan arah. Bill dan Jack melihat kilasan sinar senter itu. Dengan perasaan lega mereka berenang ke arah itu. Semula Jack sudah cemas akan kehilangan arah, karena ketika terjun ke air tadi ia sangat gugup. Tidak lama kemudian keduanya sudah naik ke perahu motor. Dinah dan Lucy-Ann langsung merangkul lengan Bill yang basah. Rasanya begitu kekar dan kuat, membangkitkan rasa aman! "Ayo— kita harus segera pergi dari sini," kata Bill sambil menepuk kedua anak perempuan itu. "Aduh, bukan main ributnya mereka di sana! Rupanya penjaga tadi sudah mereka keluarkan. Ayo, sebelum mereka tahu di mana kita berada " "Kalau kita hidupkan mesin, mereka pasti akan tahu," kata Jack. "Tapi di sini ada dayung. Bagaimana jika mendayung saja?" "Jangan," kata Bill. "Kita harus secepat mungkin pergi dari sini. Mereka pasti akan mengejar, jadi kita harus sudah sejauh mungkin saat itu! Anak-anak perempuan bertiarap ke geladak, sedang Jack dan Philip berbaring di atas mereka! Sesaat lagi peluru pasti beterbangan ke arah kita!" Bill menghidupkan mesin perahu. Dinah dan Lucy-Ann sudah merapatkan diri di lantai geladak Jack dan Philip berbaring di atas keduanya sehingga anak-anak perempuan itu merasa sulit bernapas karena tertindih. Berbaring dalam keadaan begitu sama sekali tidak bisa dibilang enak. Tapi anehnya tidak seorang pun dari mereka merasa takut. Mereka malah bersemangat. Lucy-Ann malah merasa kepingin menandak-nandak sambil berteriak-teriak. Sementara itu Jack yang bertiarap di atasnya menyebabkan Lucy-Ann sulit sekali bernapas. Keributan di kapal musuh langsung terhenti begitu mesin perahu dihidupkan. Para penjahat kelihatannya kaget. Rupanya penjaga di sana sama sekali tidak tahu bahwa di dekat situ ada perahu lain, dan karenanya tidak mengatakan apa-apa pada kawan-kawannya. Para penjahat mengira bahwa Bill serta para penyelamatnya tadi masih berenang di air. Mereka masih saja belum tahu pasti apa sebenarnya yang telah terjadi. Tapi ketika mesin perahu Bill — atau tepatnya perahu Horace yang di-"pinjam" anak-anak — dihidupkan, dengan segera musuh sadar bahwa mereka harus mencegah perahu itu minggat! Tarr! Terdengar bunyi letusan pistol. Peluru mendesing, melesat ke arah perahu. Tar! Tar! Tar! Bill merunduk serendah mungkin di belakang roda kemudi ketika ia mendengar desingan peluru dekat sekali ke perahu. "Jangan berdiri, Anak-anak!" katanya dengan cemas. "Sebentar lagi kita akan sudah berada di luar jangkauan tembakan!" Tarr! Singg! Peluru mendesing lewat dan jatuh ke air di depan perahu. Bill mengumpat pelan, mengutuk perahu yang dianggapnya terlalu pelan jalannya. Mesin mendengung terus, sementara haluan perahu mengiris ombak menuju ke tengah laut. Tarr! Tarr! Tiba-tiba Kiki menjerit. Burung kakaktua itu, yang duduk di atas tubuh Jack, bingung mendengar segala keributan yang sedang berlangsung. Kemudian ia terpekik. "Aduh! Kiki kena!" seru Jack Ia cepat-cepat duduk lalu meraba-raba tubuh kakaktua kesayangannya itu. Kiki tidak mengatakan apa-apa, tapi menjerit-jerit terus seperti sangat kesakitan. Jack sedih dan bingung karenanya. "Jangan bangun, Goblok!" bentak Bill yang menduga bahwa Jack sudah tidak bertiarap lagi. "Tidak dengar kataku tadi?" "Tapi Kiki —" kata Jack hendak menjelaskan, tapi ia langsung dibentak lebih keras lagi oleh Bill. "Kiki tidak apa-apa! Tak mungkin ia bisa menjerit-jerit seperti begitu jika ia benar-benar luka parah. Cepat bertiarap dan turuti perintahku!" Jack langsung patuh. Ia bertiarap kembali, walau masih tetap cemas mendengar pekik jerit Kiki. Anak-anak yang lain juga cemas, karena semua merasa yakin bahwa burung kakaktua itu benar-benar terkena tembakan. Lucy-Ann teringat pada Enggas dan Enggos. Sudah lama tak terdengar lagi suara mereka yang khas. Jangan-jangan keduanya juga kena tembakan! Aduh — kapan mereka bisa sampai di luar jangkauan tembakan musuh? Kapan mereka bisa sampai di tempat yang aman? Bunyi tembakan terhenti — tapi digantikan bunyi lain,-terdengar samar di atas bunyi mesin perahu. Pendengaran Bill yang tajam menangkap bunyi itu. "Mereka mengejar kita!" serunya. "Mereka sudah menghidupkan mesin kapal! Kita harus lari terus sampai bensin habis sambil berdoa semoga selamat.” Kapal yang mengejar menyalakan lampu sorot yang terang-benderang. Cahayanya digerakkan kian kemari, menerangi permukaan laut. "Kita sudah lepas dari jangkauan," kata Bill dengan lega. "Perahu kecil ini ternyata laju juga larinya. Sudah, Kiki — jangan terpekik jerit terus! Kau sama sekali tidak luka!" "Bill, mungkin bensin di perahu ini cukup untuk membawa kita ke pulau dari mana kami datang — sana, di sebelah timur," kata Jack dengan tiba-tiba. "Orang-orang itu mungkin menyangka kita pasti berusaha mengamankan diri ke tempat jauh — dan jika itu yang kita lakukan mereka pasti akan berhasil mengejar! Kapal mereka lebih kuat, dan begitu perahu kita ini sudah berada dalam jangkauan lampu sorot mereka, seketika pasti akan kelihatan. Jadi lebih baik kita membelok saja ke kiri!" "Kalian datang dari pulau mana?" tanya Bill. "Dan apa saja yang terjadi dengan kalian sejak aku begitu tolol sehingga bisa ditawan musuh? Selama ini aku bingung sekali memikirkan kalian!" "Kami pun bingung memikirkan Anda," kata Jack. "Putar kemudi ke kiri, Bill — kita coba menuju ke Pulau Laguna! Mudah-mudahan saja mereka tidak menyangka kita hendak ke sana." Haluan perahu dibelokkan ke arah pulau yang satu lagi, mengarungi laut yang gelap dan beralun besar. Jauh di belakang mereka lampu sorot masih saja bergerak hilir mudik menerangi permukaan laut. Tapi dari bunyinya diketahui dengan jelas bahwa kapal musuh melaju ke arah lain. Beberapa menit lagi mereka pasti sudah tidak nampak dan juga tidak terdengar lagi. "Rrrrr!" Tiba-tiba terdengar suara parau di belakang Bill. Ia kaget, tapi kemudian tertawa. "Astaga — Enggas dan Enggos masih ada bersama kalian rupanya! Awas Kiki — jangan menjerit-jerit lagi, ya! Aku tahu pasti, kau tidak apa-apa." "Bolehkah aku duduk sekarang?" tanya Jack dengan nada cemas. "Mereka sudah tidak menembak kita lagi. Aku kepingin memeriksa, apakah Kiki memang tidak luka." Tapi sebelum Bill sempat menjawab, tahu-tahu mesin perahu terbatuk-batuk lalu terhenti dengan diiringi bunyi desahan panjang. Kedengarannya seperti orang yang kehabisan tenaga. "Bensin kita habis,“ kata Bill dengan gemas. "Sudah kukhawatirkan ini akan terjadi! Sekarang kita terpaksa mendayung — dan tak lama lagi musuh tentu akan sudah berhasil mengejar!" Bab 28 KISAH BILL Anak-anak segera duduk semua. Dinah dan Lucy-Ann menggeliat karena seluruh tubuh mereka terasa pegal. "Kau berat sckali, Philip," kata Dinah menggerutu. "Aduh, Bill — sayang sekali kita kehabisan bensin, padahal sudah begitu dekat ke pantai!" Jack meraih Kiki lalu meraba-raba seluruh tubuh burung itu. Semua diperiksa. Apanya yang luka tadi? Kiki merapatkan diri pada Jack sambil menggumamkan ocehan yang sama sekali tidak ada artinya. "Burung konyol — kau sama sekali tidak luka," kata Jack dengan lega. "Tidak ada apa-apa saja ribut! Hih — tidak tahu malu!" "Kasihan Kiki, Kiki malang, panggilkan dokter," gumam Kiki, lalu menyembunyikan kepalanya ke bawah sayap. "Kelihatannya ia memang tidak luka," kata Jack pada anak-anak yang lain, "tapi rupanya ia ketakutan sekali tadi. Mungkin ada peluru mendesing dekat sekali ke kepalanya." "Ah, lupakan Kiki dulu sekejap — kita berbicara dulu tentang diri kita sendiri,“ kata Dinah. "Bagaimana sekarang, Bill?" Bill termenung. Apakah yang sebaiknya dilakukan sekarang? Bukan tugas gampang menjaga empat orang anak sementara musuh berbahaya begitu dekat! Mungkinkah memang sebaiknya berusaha mencapai Pulau Laguna, seperti yang dikatakan anak-anak? Atau lebih baik mendayung perahu lebih jauh lagi dari situ? "Kita ke Pulau Laguna!" katanya memutuskan kemudian. "Itu yang paling baik." "Letaknya tidak mungkin masih jauh," kata Jack. Ia memicingkan mata, berusaha menembus kegelapan. "Kurasa samar-samar nampak bentuk yang gclap di sebelah sana. Kau bisa melihatnya, Philip?" "Ya," kata Philip. "Lihatlah, Bill- di sana! Anda bisa melihatnya?" "Sama sekali tidak," kata Bill. "Tapi aku percaya pada kalian karena penglihatan dan pendengaran kalian tajam sekali. Nah — mana dayung yang kalian katakan tadi?" Dengan segera dayung-dayung sudah ditemukan. Dinah dan Lucy-Ann, yang duduk saling merapatkan diri supaya agak hangat, mulai mendengar bunyi dayung secara berirama tercelup ke dalam air. "Ya — kelihatannya itu memang daratan," kata Bill dengan nada puas setelah beberapa saat mendayung. "Sebentar lagi kita akan sudah sampai di tepi. Tapi mudah-mudahan saja di depan tidak ada batu-batu yang bisa menyebabkan kita kandas” "Tidak. kita pasti aman," kata Jack. "Di perairan dekat Pulau Laguna ini sama sekali tidak ada batu-batu. Setidak-tidaknya di bagian yang sekarang kita hampiri." Kata-kata itu baru saja diucapkan olehnya ketika tiba-tiba seisi perahu dikejutkan bunyi gemeretak menyeramkan. Tubuh perahu tergetar dari ujung ke ujung. Apa lagi yang terjadi sekarang? "Kandas!" kata Bill dengan geram. "Dan kurasa kita takkan bisa membebaskan diri dengan segera. Perahu kita benar-benar kandas di sini!" Perahu sedikit pun tidak bisa digerakkan lagi. Dengan perasaan cemas Jack menyalakan senter untuk memeriksa apa yang terjadi. Ternyata sebabnya jelas sekali! "Batu-batu bertaburan di sekeliling kita," katanya lesu. "Rupanya kita tidak sampai di bagian pulau dari mana kita berangkat tadi. Entah di mana kita sekarang." "Kita lihat saja sebentar, apakah lunas bocor," kata Bill sambil mengambil senter dari tangan Jack. Diperiksanya perahu dengan seksama. Akhirnya ia menarik napas lega. "Tidak! Sejauh ini, kita masih selamat. Rupanya lunas meluncur ke atas batu datar yang letaknya tidak jauh dari permukaan air. Saat ini tidak ada gunanya berbuat apa-apa. Kita terpaksa menunggu sampai hari sudah terang, lalu kita lihat nanti apakah perahu bisa kita dorong sampai terapung lagi. Jika sekarang kita melakukannya dan perahu berhasil kita bebaskan, paling-paling nanti akan kandas lagi ke batu-batu yang lain." . "Kalau begitu kita duduk-duduk saja sambil makan dan mengobrol," kata Lucy-Ann. "Kurasa aku takkan bisa tidur." "Kita semua takkan bisa malam ini," kata Jack. "Belum pernah aku tidak merasa mengantuk seperti saat ini. Sekarang aku hendak berpakaian dulu — karena tadi belum sempat. Hih, dinginnya. Enak, kalau tubuhku sudah dibungkus selimut!" "Aku pun basah kuyup," kata Bill. "Aku juga ingin berselimut supaya tidak kedinginan." "Dalam lemari itu ada beberapa potong pakaian milik Horace," kata Dinah. "Itu — yang di belakang Anda. Menurut sangkaan kami semua pakaiannya sudah kami serahkan padanya —tapi kemarin aku menemukan beberapa potong lagi dalam lemari itu. Pasti kekecilan untuk Anda, Bill, tapi setidak-tidaknya akan bisa menghangatkan tubuh." "Bagus," kata Bill, lalu membuka lemari yang dimaksudkan. "Akan kupakai sekarang juga, asal aku bisa mengenali apakah itu baju atau celana dalam gelap begini. Dinah, Lucy-Ann — tolong ambilkan makanan, kalau ada! Sayang kita tidak bisa memasak air agar ada sesuatu yang hangat masuk ke perut!" Sesaat kemudian Bill, Jack, dan Philip telah mengenakan pakaian kering. Berlima mereka duduk berdekatan supaya lebih hangat sambil makan biskuit serta coklat Mereka lapar sekali. "Sekarang kita saling bercerita tentang pengalaman masing-masing sejak secara tiba-tiba aku meninggalkan Pulau Puffin," kata Bill. "Anda yang bercerita dulu," kata Lucy-Ann sambil lebih merapatkan diri pada Bill. "Aduh, Bill, senang sekali rasanya Anda sudah ada di tengah kami lagi! Aku takut sekali ketika kami tidak melihat Anda lagi, sementara mesin perahu rusak berantakan — dan pesawat pemancar juga." "Ya, para penjahat menceritakan hal itu padaku," kata Bill. "Rupanya mereka sama sekali tidak tahu bahwa kalian ada di pulau itu — dan aku tentu saja tidak mengatakan apa-apa. Yah - untuk menyingkat cerita, malam itu aku sedang sibuk dengan pemancar di perahu kita, berusaha mengirim berita — tapi sayangnya tanpa hasil .... " "Aduh, Bill — kalau begitu takkan ada yang datang menyelamatkan kita!" keluh Lucy-Ann dengan segera. "Padahal selama ini kami berharap—harap Anda waktu itu bisa mengirim berita minta tolong, atau begitu! .... " "Yah, markas besar sudah tahu bahwa aku menemukan sesuatu di sini, tapi cuma itu saja," kata Bill. "Nah — pokoknya seperti kataku tadi, aku sedang sibuk dengan pemancar ketika tiba-tiba aku dipukul orang. Aku langsung roboh. Setelah itu aku tidak tahu apa-apa lagi, sampai ketika terbangun-bangun sudah menjadi tawanan dalam gubuk di sebuah pulau!" "Tapi mereka kan tidak menyakiti Anda, Bill?” tanya Lucy-Ann dengan nada cemas. Bill tidak menjawab pertanyaan itu. Ia melanjutkan kisahnya, "Mereka tentu saja menghujani dengan berbagai pertanyaan. Tapi mereka sama sekali tidak berhasil mengorek keterangan. Anehnya, orang-orang yang secara kebetulan saja kita jumpai di sini itu justru mereka yang mengejar-ngejar diriku selama ini sehingga aku disuruh menghilang dulu oleh atasanku! Rupanya di sekitar sinilah mereka melakukan aksi kejahatan mereka. Dulu kusangka di salah satu tempat di Wales — jadi lebih ke selatan! Ternyata mereka sengaja memasang petunjuk-petunjuk palsu supaya aku menyangka begitu." • "Wah, Bill —bayangkan, ternyata perairan liar dan terpencil ini yang mereka pilih, dengan sekian banyak pulau kecil bertebaran — dan kita pun memilih datang ke sini!" kata Jack. "Mereka pasti menyangka Anda berhasil menemukan tempat persembunyian mereka, lalu datang untuk menyelidiki." "Memang begitu sangkaan mereka," kata Bill. "Bukan itu saja — mereka pun mengira pasti ada salah satu orang mereka membuka rahasia! Mereka ingin tahu siapa orang itu. Mungkin karena itu aku ditawan mereka — untuk ditanyai, dan tidak langsung saja dibuat lenyap!" Kepala Kiki tersembul dari bawah sayap. "Nyap—nyip-nyup!" ocehnya. Tapi tidak ada yang mengacuhkan, karena cerita Bill terlalu menyita perhatian. "Mereka ingin tahu seberapa banyak yang kuketahui, dan siapa yang mengatakannya padaku," sambung Bill. "Yah, sebenarnya tidak banyak yang kuketahui, dan yang kuketahui itu tidak kuperoleh dari orang lain —jadi tidak banyak yang bisa mereka korek dariku. Wah — mereka benar-benar tidak senang karenanya!" "Kalau begitu Anda memang tidak begitu banyak tahu?" tanya Philip tercengang. "Aku tahu gerombolan mereka sedang sibuk dengan sesuatu yang terlarang — aku tahu mereka mendapat banyak uang dan salah satu sumber — dan menurut dugaanku, hal itu ada sangkut-pautnya dengan senjata," kata Bill. "Aku beberapa kali bertindak menghalang-halangi aksi mereka, dan kemudian mereka mencium bahwa aku sedang melacak aksi mereka. Dulu aku pernah menyikat habis kegiatan gerombolan ini, walau kami tidak berhasil menangkap pimpinan mereka waktu itu. Karena itulah mereka sangat membenci diriku!" "Lalu akhirnya mereka memutuskan untuk mengejar dan menyingkirkan Anda!" kata Jack. "Dan oleh atasan Anda, Anda disuruh menghilang selama beberapa waktu — dan Anda kemari untuk menghilangkan jejak .... “ "Tapi justru masuk ke sarang buaya," kata Bill. "Dan kalian ikut terbawa olehku! Apa sebabnya kalian selalu saja seperti menarik petualangan datang? Begitu aku ada dekat kalian, langsung saja terjadi petualangan baru dan kita semua terseret ke dalamnya." "Memang aneh," kata Jack. "Tapi teruskan cerita Anda, Bill." "Yah — kemudian tahu-tahu para penjahat yang menawanku menggiring Pak Horace Tipperlong lalu memasukkannya ke dalam gubuk di mana aku terkurung," kata Bill. "Rupanya mereka menyangka orang itu salah seorang rekanku yang datang kemari untuk membantuku mengadakan penyelidikan. Horace sama bingungnya seperti aku saat itu. Aku sama sekali tidak tahu siapa dia. Tapi ketika kami berdua sudah sendiri dan ia mulai bercerita tentang kalian, akhirnya aku dapat menduga apa yang telah terjadi. Menurut ceritanya, kalian jahat sekali terhadapnya." "Ya, memang," kata Jack dengan nada menyesal, karena teringat pada perlakuan mereka terhadap Horace yang bingung dan marah-marah waktu itu. "Soalnya, waktu itu kami sungguh-sungguh mengira ia termasuk kawanan penjahat yang berpura-pura menjadi ahli ornitologi yang ketolol-tololan, dengan tujuan memancing kami agar mau naik ke perahunya — karena itu...” "Kami menawannya dan menjebloskannya ke dalam sebuah rongga bawah tanah yang kami temukan," kata Dinah. "Dan mengetok kepalanya setiap kali berani tersembul ke atas," sambung Bill. "Tak kusangka kalian bisa begitu ganas! Katanya, bahkan anak—anak perempuan pun silih berganti memukulnya!" "Eh!" kata anak-anak serempak. Mereka benar-benar tercengang mendengar cerita yang dibuat-buat itu. "Bill — sekali saja pun kami belum pernah memukulnya." “Aku takkan heran jika Jack dan Philip yang memukul, apabila kalian sungguh-sungguh menyangka ia penjahat yang ditugaskan menangkap kalian," kata Bill. "Tapi tidak bisa kubayangkan anak-anak perempuan ikut memukul. Menurut ceritanya Lucy-Ann yang paling galak!" "Wah! Padahal aku satu-satunya yang mengatakan bahwa aku tidak sanggup," kata Lucy-Ann. Ia benar-benar kaget mendengar tuduhan yang begitu berat. "Pokoknya, kalian rupanya sangat menyulitkan dirinya, lalu lari membawa perahunya sehingga akhirnya ia ditawan penjahat," kata Bill lagi. "Terus terang saja, aku nyengir ketika mendengar ceritanya. Kalian benar-benar berani! Kemudian penjahat mengangkutnya dengan kapal mereka. Mereka tidak mau percaya ketika ia bercerita tentang kalian yang menawannya. Para penjahat sungguh-sungguh menyangka Horace Tipperlong itu rekanku. Aku sendiri tentu saja pura-pura tidak mau percaya ketika ia bercerita mengenai anak-anak yang merongrongnya ketika di pulau. Soalnya, aku tidak ingin kalian ikut tertangkap penjahat. Tapi aku bertanya-tanya juga dalam hati, apa yang terjadi dengan kalian ketika kudengar kalian membawa lari perahunya. Menurut Horace perahu itu sudah tidak ada lagi di tempat semula ketika ia ditarik masuk ke kapal musuh." "Aku tidak suka pada Horace," kata Lucy-Ann. "Mudah-mudahan ia sekarang repot dirongrong penjahat. Orangnya konyol, pembohong, dan juga pengecut!" "Dan kalau ia tadi tidak berteriak begitu aku membuka tingkap kabin untuk mengeluarkan Anda dari situ, Bill, kita pasti sudah berhasil merampas perahu motor besar yang laju itu dan langsung menuju ke daratan sekarang," kata Jack lesu. "Dasar orang konyol — berteriak-teriak seenaknya!" "Ya, memang sayang," kata Bill. "Sekarang ganti kalian yang bercerita." Anak-anak menceritakan pengalaman mereka, sementara Bill mendengarkan dengan heran dan penuh perhatian. Napasnya tersentak ketika mereka sampai ke cerita tentang laguna serta apa yang mereka temukan tersembunyi di dasarnya. Bill benar-benar kaget mendengarnya. "Jadi di situ rupanya tempat mereka menaruh segala senjata itu," katanya. "Dijatuhkan dengan payung terjun ke sebuah laguna tersembunyi — dengan maksud mengambilnya lagi jika saatnya sudah tiba — mengangkutnya pergi dengan pesawat terbang air. Penyelundupan senjata secara besar-besaran!"‘ "Kami benar-benar tercengang ketika melihat kejadian itu," kata Jack. "Tentu saja — karena memang luar biasa!" kata Bill. "Dan bayangkan- — ternyata kalian yang kemudian secara tidak sengaja mengetahui rahasia itu. Wah — coba aku sekarang bisa mengirim berita ke markas besar, kami pasti akan berhasil menangkap seluruh gerombolan penjahat itu dengan bukti-buktinya sekaligus." "Kejadian ini mengasyikkan sekali," kata Philip. "Kami beberapa kali sempat sangat ketakutan, Bill." "Kalian anak-anak yang baik," kata Bill. "Baik dan berani! Aku bangga terhadap kalian. Tapi ada satu hal yang tidak kumengerti. Kenapa kalian tidak lari menyelamatkan diri setelah berhasil merampas perahu Horace? Kenapa masih berkeliaran di sini terus?" "Yah...," kata Jack agak segan, "begini soalnya -- bagi kami ada dua pilihan, yaitu lari menyelamatkan diri — atau berusaha mencari Anda. Kami memilih mencari Anda, Bill. Bahkan Lucy-Ann pun mendukung pilihan itu." Sesaat semuanya diam Bill merangkul keempat anak yang duduk berdekat-dekatan. Erat sekali rangkulannya, menyebabkan Lucy-Ann agak sulit bernapas. "Aku tidak tahu harus bilang apa," kata Bill dengan suara agak aneh. "Kalian memang masih anak-anak — tapi bagiku, kalian kawan yang paling baik Kalian sudah mengenal makna kesetiaan, dan walau kalian takut sekali tapi kalian pantang menyerah. Aku bangga bisa berkawan dengan kalian." "Aduh, Bill!" kata Lucy-Ann. Hatinya tergetar mendengar pahlawannya memuji mereka. "Anda baik sekali! Anda sahabat karib kami, dan Anda akan tetap dan selalu sahabat karib bagi kami." "Selalu — untuk selama-lamanya," kata Dinah. Jack dan Philip tidak mengatakan apa-apa. Tapi dalam hati mereka bangga dipuji Bill. Persahabatan — kesetiaan — kegigihan dalam menghadapi mara bahaya - seperti Bill, mereka berdua mengenal makna kata-kata itu dan benar-benar dapat menghargainya. Mereka merasa dekat sekali dengan Bill. Tiba-tiba Lucy-Ann berseru, "Lihat — fajar sudah menyingsing! Sana — di timur. Wah, Bill — apakah yang akan kita alami hari ini?" Bab 29 BILL MENEMUKAN SESUATU Langit sebelah timur mulai nampak putih keperakan, disusul warna keemasan yang semakin menyebar ke atas. Permukaan laut yang semula gelap berubah warna menjadi kelabu keputihan dan kemudian kuning kemilau. Nyaris dengan seketika berkumandang di mana-mana suara teriakan burung-burung laut yang entah apa saja namanya — menyambut kedatangan hari yang baru. Dengan segera permukaan laut di sekeliling anak—anak sudah penuh dengan burung yang sibuk mencari ikan untuk dimakan. Enggas dan Enggos menggabungkan diri dengan teman-teman mereka sejenis itu. Jack bersaru kaget ketika memandang ke sekelilingnya. "Ini bukan Pulau Laguna kita," katanya. "Di sana tidak ada tebing batu menghadap ke laut, seperti di sini. Ini pulau lain rupanya!" "Ya, betul!" kata Philip. "Sepanjang ingatanku, kita belum pernah melihat pulau ini. Sialan! Di mana kita sekarang?" . "Kurasa ini pasti pulau yang pernah kita lihat di peta," kata Lucy-Ann sambil mengingat-ingat. "Pulau Sayap. Lihat saja banyaknya burung laut di air sekitar kita! Jauh lebih banyak dari yang pernah kita lihat selama ini." "Menakjubkan! kata Bill. "Mestinya ada berjuta-juta! Banyak di antaranya yang mengambang begitu dekat sampai bersenggol-senggolan." Bukan di air saja banyak burung, tapi juga di udara. Suara mereka menjerit dan memanggil memekakkan telinga. Tidak lama kemudian satu demi satu burung-burung itu terbang membubung sambil menggondol ikan. Enggas terbang ke perahu, lalu menghadiahkan sajian ikan pada Philip, seperti biasa dilakukan. "Kiki tenang sekali pagi ini," kata Philip sambil menoleh ke arah burung kakaktua itu, "Kenapa dia? Ayo, Kiki — angkat jambulmu, Burung konyol!" "Panggilkan d0kter," kata Kiki dengan suara sedih. Jack memeriksanya dengan seksama. Tiba-tiba ia berseru, "Jambul Kiki rontok! Lihatlah — di ubun-ubunnya tinggal sedikit saja! Aduh, Bill — itu rupanya yang menyebabkan Kiki berteriak-teriak tadi malam! Rupanya ada peluru nyasar mencukur jambulnya!" “'Kasihan Polly, Polly malang, sayang, sayang!" kata Kiki dengan senang, karena merasa diperhatikan. "Ya, Kiki yang malang," kata Jack sambil mengelus-elus. "Kau tentunya kaget sekali tadi malam, ya? Pantas kau berteriak-teriak Tapi biarlah, Kiki — jambulmu lama-kelamaan pasti tumbuh kembali. Tampangmu untuk sementara kelihatan acak-acakan, tapi bagi kami itu tidak apa!” Sementara itu Bill melakukan pemeriksaan teliti untuk melihat apa sebenarnya yang telah terjadi. Ternyata perahu mereka kandas di atas beting. Sebelum pasang tinggi datang, tak ada harapan akan bisa bebas dari situ. Mereka belum sampai di pulau yang sebenarnya, melainkan pada beting tinggi yang menonjol ke atas permukaan laut. Batu-batu di situ penuh dengan rumput laut yang tebal, dan dihuni sekitar dua ratus ekor burung — atau mungkin juga lebih. Burung-burung itu sama sekali tidak takut melihat perahu serta penumpangnya. Beberapa ekor di antaranya bahkan naik ke geladak ketika melihat Enggas dan Enggos ada di situ. Jack senang sekali karenanya. "Kurasa perahu kita sama sekali tidak apa-apa," kata Bill. ”Soalnya beres apabila sudah terapung kembali saat pasang naik. Tapi — apa yang akan kita lakukan kemudian, apabila perahu sudah terapung?" "Berdayung ke tempat aman," kata Lucy-Ann dengan segera. "Ngomong memang gampang," tukas Jack mencemooh. "Apakah kau tidak tahu betapa terpencilnya letak perairan sekitar sini, Lucy-Ann — dan jarang sekali ada orang ke pulau-pulau kecil ini, yang penghuninya hanya burung-burung saja? Kita takkan mampu berdayung terus sampai ke daratan misalnya — ya kan, Bill?" "Betul, kita takkan sanggup," kata Bill mengiakan. "Untung kulihat bekal makanan kita cukup banyak. Lumayan! Kalau air minum bagaimana?" "Kita terpaksa minum air buah nenas dalam kaleng atau yang begitu," kata Dinah. “Dan kalau kebetulan hujan, kita tadah air hujan." "Apa yang sebaik-baiknya kita lakukan, ya?" kata Bill pada dirinya sendiri sambil mengerutkan kening. "Mereka-mereka itu pasti akan mencari kita. Mereka tentu tahu juga bahwa kita tidak mungkin pergi jauh-jauh. Mereka akan mengirim pengintai — mungkin bahkan dengan pesawat terbang. Kini mereka tidak berani lagi menanggung risiko aku lolos." Anak-anak tahu, yang dimaksudkan olah Bill dengan "mereka" ialah para penjahat Dinah menatap semua yang ada di situ. "Jika musuh sampai datang ke pulau ini, kita pasti akan ketahuan," katanya. "Yah — nanti saja kita putuskan apa yang harus kita lakukan, apabila perahu sudah terapung lagi," kata Bill akhirnya. "Sekarang bagaimana jika kita tidur saja sebentar? Lucy-Ann sudah pucat _sekali mukanya. Ia sama sekali belum tidur.” "Aku memang mengantuk sekali," kata Lucy-Ann sambil menahan diri agar jangan menguap. "Tapi badanku juga terasa kotor dan lengket." "Kita mandi sebentar di laut, lalu sesudah itu tidur," kata Jack. "Kita bergantian menjaga nanti, kalau-kalau ada musuh datang." "Aku tidak kepingin mandi karena sudah terlalu mengantuk,." kata Dinah. "Kalian saja yang mandi, sementara aku mengatur alas untuk tidur kita." "Aku membantumu," kata Lucy-Ann. "Aku juga sudah terlalu capek." Bill bersama kedua anak yang laki-laki masuk ke dalam air untuk berenang-renang sebentar. Dinah dan Lucy-Ann memperhatikan mereka. "Tahu tidak" kata Lucy-Ann setelah beberapa saat, "Bill dan Jack serta Philip hampir-hampir tidak bisa dilihat, karena begitu banyak burung mengambang di sekitar sini. Begitu mereka terlepas dari pengamatanku, aku tidak bisa menemukan mereka kembali." Katanya memang benar. Di perairan situ begitu banyak burung yang terapung-apung, sehingga kepala ketiga orang yang berenang di sela-sela kumpulan burung itu nyaris tidak bisa dikenali. "Nanti kita katakan pada Bill kalau ia sudah kembali," kata Dinah. Tiba-tiba ia mendapat akal. "Kurasa jika kita semua masuk ke air pada waktu musuh datang, takkan ada yang bisa melihat kita di antara burung-burung itu." "Ya, memang," kata Lucy-Ann sependapat. "Idemu bagus sekali, Dinah!" Hal itu dengan segera disampaikan pada yang lain-lain ketika mereka sudah selesai berenang-renang. Bill mengangguk dengan senang. "Ya — itu akal yang baik! Itulah yang akan kita lakukan apabila musuh datang. Kita pasti takkan kelihatan oleh mereka!" "Tapi bagaimana dengan perahu kita?" kata Jack. "Kita ambil siasat persis seperti yang kita lakukan pada diri kita sendiri sewaktu berada di tepi laguna," kata Philip. "Perahu kita tutupi dengan rumput laut sehingga nanti dikira beting karang!" "Akal kalian macam-macam saja," kata Bill. "Nah — sementara kalian tidur-tiduran, biar aku saja yang menghias perahu kita dengan rumput laut. Jika musuh benar-benar akan datang, pasti sebentar lagi sudah muncul di sini. Mereka tidak mau membuang waktu berjam-jam sebelum memulai pencarian. Nanti kalau kudengar atau kulihat sesuatu yang mungkin mereka, kalian kubangunkan — dan kalian harus segera bersiap masuk ke air. Sebaiknya kalian tidur dengan pakaian dalam saja, supaya pakaian kalian ini tidak basah. Sedang pakaian renang kalian sudah basah sekarang." "Kami punya tidak," kata Lucy-Ann. "Uaaah — aku tidak mampu lagi menahan rasa mengantuk. Mudah-mudahan belum sekarang musuh datang. Kalau sekarang, aku khawatir takkan bisa bangun!" Bill menyelimuti anak-anak yang sekejap kemudian sudah tidur pulas. Rupanya mereka capek sekali. Setelah itu Bill mulai menutupi perahu dengan rumput laut. Ditariknya rumput laut yang bergantungan pada batu-batu di dekat situ, lalu diselubungkannya ke tubuh perahu sehingga kelihatannya seperti batu yang berbentuk perahu. Selesai melakukan pekerjaan itu, kemudian Bill masuk ke dalam kabin dan duduk sebentar di situ. Karena iseng, di bukanya tutup suatu benda — dan matanya langsung melotot karena tercengang. Pesawat radio! Mungkinkah pesawat itu juga merupakan pemancar? Horace mestinya cukup berakal dan melengkapi diri dengan pemancar — untuk berjaga-jaga kalau ia mengalami cedera atau jatuh sakit dalam pengembaraan ke tempat terpencil itu! Bill mulai memeriksa pesawat itu dengan tangan gemetar. Sesaat kemudian Jack terbangun mendengar Bill berseru. Anak itu kaget, lalu cepat-cepat duduk. "Musuh datang, Bill?" tanya Jack. "Tidak — belum! Tapi lihatlah — kenapa kalian tidak bercerita bahwa di perahu ini ada pesawat radio? Kalau nasibku sedang mujur, aku akan bisa mengirim berita dengannya." "Astaga! Aku lupa sama sekali!" kata Jack. "Tapi pemancarkah itu, Bill?" "Ya. Mutunya tidak begitu baik — tapi akan kuusahakan agar bisa mengirim berita dengannya ke markas besar," kata Bill. "Di sana selalu ada petugas yang siaga menunggu berita dariku. Sudah berhari-hari aku tidak mengirim berita sama sekali." Jack merasa heran melihat Bill seolah-olah mencari sesuatu. "Apa yang Anda cari, Bill?" tanya Jack. "Antenanya," kata Bill. "Di sini mestinya ada antena untuk pemancarnya. Tapi ditaruh di mana?" "Kalau tidak salah, aku pernah melihat sesuatu di atas tak, di bagian belakang kabin," kata Jack dengan suara mengantuk. "Panjangnya sekitar dua meter." "Pasti itu antena yang kucari!" kata Bill lalu pergi melihat. Dari atas rak diambilnya sebuah batang logam yang panjang dan langsung. "Bagus — ini dia yang kucari. Kupasang saja sekarang." Jack memperhatikan kesibukan Bill selama beberapa saat. Tahu-tahu matanya sudah terpejam kembali. Memang mengasyikkan melihat Bill berusaha mencoba pemancar — tapi keasyikan itu tetap tidak mampu mengalahkan rasa mengantuk. Jack sudah pulas lagi. Bill sibuk sekali bekerja. Sekali-sekali ia mengeluh, kecewa karena ada saja yang tidak beres. Dari dalam pesawat terdengar berbagai bunyi aneh, dan di sana-sini nampak lampu-lampu kecil menyala. Ada sesuatu yang tidak beres dengan pemancar itu — tapi Bill tidak berhasil menemukan penyebabnya. Ia mengeluh. Coba ia bisa membuat pemancar itu bekerja dengan baik — dua menit saja, sudah cukup! Akhirnya ia merasa sudah berhasil memperbaikinya. Sekarang mengirim berita. Mula-mula nomor sandi dulu — lalu menunggu jawaban. Berkali-kali ia memancarkan nomor sandinya. Tapi jawaban tidak masuk. Kelihatannya pesawat itu rusak bagian penerimaannya. Jadi apa boleh buat — ia hanya bisa mengirim berita, dengan harapan diterima di markas besar. Tapi Bill menyangsikannya. Dengan cepat dikirimnya berita sandi, meminta bantuan. Diulanginya berita itu beberapa kali. Tapi, jawaban tetap tidak masuk. Ia menyebut posisi Pulau Laguna sebagai pedoman di mana mereka berada, karena tahu bahwa saat itu mereka pasti tidak jauh dari situ. Pulau di depan mereka pasti tertera dan dapat ditemukan dalam peta. Bill begitu sibuk berusaha mengirim berita dan mendengar jawaban yang tidak datang-datang sampai ia nyaris saja tidak menangkap bunyi dengung mesin perahu motor yang kuat di kejauhan. Tapi kemudian disadarinya bunyi itu. Ia mendongak dengan gerakan kaget. Seketika itu juga ia berteriak, membangunkan anak-anak. "Bangun! Cepat! Masuk ke air - musuh datang! BANGUN!" Anak-anak terlompat bangun. Musuh? Ya — musuh! Kelima-limanya berlompatan masuk ke air — Dinah dan Lucy-Ann masih dalam keadaan setengah tidur. Musuh? Ya — ada kapal motor datang — lurus ke tempat mereka arahnya! Bab 30 AYO, MUNCUL! Nampak kilatan cahaya terang dari arah kapal yang datang. Seseorang di situ sedang mengarahkan teropong ke pulau, di depan mana perahu anak-anak kandas di atas beting. Teropong itu diarahkan mengamati beting, lalu pulau, lalu kembali lagi ke beting. Perahu mereka masih ada di atas beting, penuh ditimbuni rumput laut. Sesaat orang yang meneropong mengamat-amati tumpukan rumput laut itu Kemudian berpindah memperhatikan permukaan laut. Tapi kepala kelima orang yang terapung-apung tidak bisa dikenali di antara burung-burung yang begitu banyak mengapung di situ. Anak-anak tidak mau jauh-jauh dari burung yang banyak menggerombol. Philip sudah aman karena Enggas dan Enggos bertengger di atas kepalanya sehingga ia tersembunyi dari pengamatan. Lucy-Ann terapung dekat seekor burung kormoran yang besar. Burung itu mengamat-amatinya dengan penuh minat Tapi ia tidak menjauh. Sedang Dinah dan Jack berada di tengah gerombolan puffin yang sibuk menyelam. Bill terpaksa berulang kali menyelam dan berada di bawah permukaan selama napasnya masih tahan. Soalnya, ia takut ketahuan karena kepalanya yang sudah agak botak. Lama sekali rasanya mereka begitu. Akhirnya kapal motor penjahat berputar haluan lalu pergi mengitari pulau. Setidak-tidaknya begitulah sangkaan Bill. Terdengar bunyi mesin kapal semakin menjauh. Ketika sudah tidak terdengar lagi, barulah Bill mengizinkan anak-anak kembali naik ke perahu. Semuanya basah dan lapar. Tapi tak ada lagi yang masih mengantuk "Aduh, licinnya perahu karena rumput laut ini!" kata Jack. "Akalmu ternyata berguna, Dinah! Kurasa para penjahat tadi bahkan sedikit pun tidak menyangka bahwa di sini ada orang — padahal dengan teropong, dengan gampang mereka bisa melihat ada lima orang dan sebuah perahu di depan mata!" "Ya, gagasanmu memang bagus sekali, Dinah" kata Bill. "Sekarang bagaimana kalau kita sarapan dulu? Aku sudah lapar sekali!" Semua duduk di lantai geladak. Beberapa kaleng makanan dibuka. Kiki menjerit dengan gembira ketika melihat dalam salah satu kaleng itu ada potongan-potongan nenas. Kakaktua nakal itu mencoba menaikkan jambulnya. Tapi bulu jambunya tinggal beberapa helai saja — jadi kelihatannya sama sekali tidak mengesankan. Tiba-tiba Jack teringat pada sesuatu hal. "Bill!" katanya. "Aku merasa seperti mengingat sesuatu — tentang Anda dan pesawat radio kepunyaan Horace — atau mungkin aku hanya mimpi saja? Ya, kurasa aku cuma bermimpi mengenainya." "Sama sekali tidak," kata Bill. "Aku memang menemukan radionya — terus terang saja secara kebetulan sekali — dan ternyata pesawat itu sekaligus juga pemancar di samping alat penerima — jadi mestinya aku bisa mengirim berita, di samping menerima." "Wah, Bill! Kalau begitu Anda telah mengirim kabar meminta bantuan - dan kita akan tertolong!" kata Lucy-Ann dengan gembira. "Sayangnya ada sesuatu yang tidak beres dengan pesawat itu." kata Bill lagi. "Aku tidak berhasil mendengar apa-apa dengannya – jadi aku tidak tahu, apakah aku berhasil mengirim berita ke luar atau tidak. Kemungkinannya tidak! Pesawat itu tidak begitu baik mutunya." "Wah - kalau begitu gunanya mungkin tidak ada," kata Dinah kecewa, "Ya, kurasa begitu," kata Bill. "Ngomong-ngomong, ada tidak yang baru saja merasa seperti kita naik? Aku merasa seakan-akan perahu kita ini terangkat ke atas." Ternyata perasaan Bill benar. Perahu mereka tidak lama kemudian sudah terapung kembali. Dengan segera Bill mendayungnya menjauhi pulau. Tiba-tiba ia teringat pada sesuatu. "He! — masa Horace jauh-jauh datang kemari — dan berniat kembali lagi — tapi tanpa membawa bensin sebagai cadangan. Kalian sudah memeriksa perahu ini dengan teliti?" "Teliti sekali, belum!" kata Jack. "Soalnya, kan perahu kecil saja." "Memang betul katamu itu — tapi mestinya di sini ada bensin cadangan, disimpan di salah satu tempat," kata Bill. "Philip, coba kauangkat tumpukan tali—temali yang ada di situ. Di bawah papan geladak mestinya ada tempat yang cukup lapang untuk menaruh kaleng-kaleng bensin." Philip dan Jack melakukan perintah Bill. Mereka mengangkat tiga lembar papan yang tidak dipaku — dan di bawahnya nampak tempat penyimpanan bensin! "Astaga!" kata Jack. "Sekarang kita selamat. Dengan cepat kita akan sudah sampai di daratan. Hidup Horace!" Mereka mengambil sebuah kaleng yang penuh berisi bensin, lalu menyerahkannya pada Bill yang menuangkannya ke dalam tangki yang kosong. Kaleng kedua juga ditumpahkan isinya ke situ. Beres! Sekarang mereka bisa meneruskan perjalanan. Tidak lama kemudian perahu mereka sudah melaju lagi di atas ombak. Mereka tidak perlu mendayung lagi. Bill mengarahkan haluan ke tenggara. "He — aku seperti mendengar bunyi pesawat terbang," kata Lucy-Ann setelah beberapa waktu. Semua mendongak, meneliti langit. Tidak lama kemudian mereka melihat pesawat itu, datang dari arah timur laut. Terbangnya rendah. "Kelihatannya seperti sedang mencari kita," kata Bill gelisah. "Kalau begitu, itu pasti musuh!" kata Jack. Semua memperhatikan pesawat terbang yang semakin dekat. Tiba-tiba arahnya berubah sedikit, lurus menuju ke posisi perahu — seolah-olah baru saat itu melihatnya. Terbang pesawat semakin merendah, berputar-putar mengelilingi perahu — lalu pergi lagi. "Sial!" kata Bill. "Sekarang habislah riwayat kita! Mereka pasti akan mengirim perahu motor yang paling laju — atau mungkin salah satu pesawat terbang air yang rupa-rupanya mereka pakai — dan sesudah itu habis perkara!" "Bensin kita kan banyak," kata Jack, "jadi kita masih bisa melaju terus. Sebentar lagi kita akan sudah jauh sekali dari sini." Bill menjalankan perahu dengan kecepatan tertinggi. Ketika menurut perkiraannya bensin dalam tangki sudah hampir habis, ia memanggil Jack, "Keluarkan beberapa kaleng lagi, Jack. Akan kutambah lagi bensin dalam tangki sebelum sama sekali kosong." Jack dan Philip membuka papan-papan penutup — dan memandang dengan kecut. Kaleng-kaleng yang lain ternyata kosong semua. Bill ikut kaget. "Astaga! Rupanya Horace ditipu orang! Pasti ia memberi tugas agar semua kaleng diisi dengan bensin — tapi yang disuruh olehnya hanya mengisi separuh saja, sedang uangnya dikantongi semua. Licik sekali perbuatan itu!" "Horace memang pantas kalau ditipu dengan cara demikian, karena kepolosannya!" kata Philip. "Aduh — sekarang kita berada di tengah laut — jauh dari mana—mana. Bagaimana kita jika nanti bensin habis sebelum kita mencapai salah satu tempat?" Bill menyeka keningnya yang berkeringat. "Gawat," katanya. "Bensin dalam tangki sudah tinggal sedikit. Kalau habis, kita takkan bisa pergi jauh-jauh dengan jalan mendayung, dan kita akan menjadi bulan-bulanan empuk bagi perahu motor yang dikirim mengejar kita. Kurasa tangki kita bocor — mungkin kena tembakan." Sesaat semua membisu. "Aduh," pikir Lucy-Ann, "padahal tadi semuanya kelihatan akan berakhir dengan baik — sekarang segala—galanya sudah payah lagi." Beberapa waktu kemudian mesin perahu mulai terbatuk-batuk, lalu akhirnya berhenti sama sekali. "Bensin habis," kata Jack dengan nada suram. "Panggilkan dokter," oceh Kiki. "Apa gunanya?" kata Philip seolah-olah usul Kiki itu bisa dilaksanakan. "Rrrr!" Enggas yang bertengger di sandaran tepi geladak ikut menyumbangkan pendapat. "Benar-benar menyebalkan," kata Bill dengan kesal. "Hampir-hampir kita berhasil — tapi kini gagal lagi!" Setelah itu semua membisu lagi. Hanya bunyi ombak kecil memukul-mukul sisi perahu saja yang terdengar saat itu. Tikus-tikus putih piaraan Philip merasa heran, kenapa di luar tiba-tiba begitu sunyi. Mereka bermunculan dari tempat-tempat persembunyian mereka dalam pakaian Philip, lalu mengendus-endus. Bill tidak pernah melihat mereka lagi sejak ia diculik dari Pulau Puffin. Ia menatap tikus-tikus itu dengan heran. "Wah, sudah besar-besar mereka sekarang!" katanya. "Yah — siapa tahu, mungkin akhirnya kita terpaksa juga memakan mereka!" Bill sebenarnya hanya berkelakar. Tapi Dinah dan Lucy-Ann menanggapi dengan serius. Keduanya terpekik, "Hiii! Bill — Anda ini keterlaluan! Masa makan tikus! Mendingan mati!" kata Dinah dengan jijik. "Bagaimana jika sekarang mendayung, supaya ada kesibukan?" usul Jack "Atau makan? Atau apa?" "Makan!" kata Philip dengan segera. Tapi ia langsung menyambung, "Bill — tidakkah kita perlu menghemat- makanan kita? Maksudku — mungkinkah kita akan terapung berhari-hari di sini? "Tidak," kata Bill. Dalam hati ia berpendapat, sebelum malam tiba mereka semua pasti akan sudah kembali jatuh ke tangan musuh dan diangkut ke pulau mereka, setelah pesawat tadi menemukan posisi perahu. "Tidak! Kurasa saat ini kita tidak perlu memikirkan hal-hal seperti itu. Tapi walau begitu — jika dari semula aku sudah tahu bahwa bensin sudah hampir habis, aku takkan mengarahkan perahu ke lautan terbuka. Aku pasti akan menyusur pulau-pulau." Suasana hari itu membosankan, tapi juga tegang. Anak-anak masih capek sekali. Tapi mereka tidak mau ketika disuruh mencoba tidur. Tidak ada perahu motor muncul untuk mengejar mereka. Matahari mulai menurun ke laut di sebelah barat. Kelihatannya mereka akan terpaksa bermalam di tengah laut. "Tapi syukur hawa tidak dingin," kata Dinah. "Bahkan angin pun terasa hangat petang ini. Saat ini rasanya kita seperti jauh sekali dari rumah dari sekolah — jauh dari segala-galanya yang kita kenal." Lucy-Ann memandang berkeliling. Diperhatikannya lautan yang luas, berwarna hijau dekat perahu tapi sedikit lebih jauh sudah biru pekat. "Ya —," katanya, "saat ini kita jauh dari mana-mana — terapung-apung tanpa daya di tengah Laut Petualangan". Matahari semakin menurun. Ketika senja sudah tiba, terdengar lagi bunyi yang sudah dikenal baik — bunyi dengung mesin yang kuat. Semua langsung memperhatikan dengan seksama. Bunyi apa itu ? Perahu motor? Atau pesawat terbang? Bunyi apa itu? "Itu dia!" seru Jack, menyebabkan yang lain-lainnya kaget. "Itu — di sebelah sana! Astaga, besarnya! Pesawat terbang air." "Rupanya itu yang kita lihat waktu itu di laguna," kata Dinah. "Kita dikejar dengan pesawat itu. Aduh, Bill — bagaimana sekarang?" "Semua tiarap," kata Bill dengan segera. "Ingat, jika itu benar musuh, mereka tidak tahu ada anak-anak bersamaku - mungkin mereka menyangka di perahu sini ada beberapa orang dewasa — dan ada kemungkinan mereka akan menembak, seperti kemarin malam. Jadi jangan bergerak. Jangan sampai kepala kalian kelihatan." Lutut Lucy-Ann sudah mulai aneh lagi. Dengan Cepat ia merebahkan diri. Untung Bill tidak menyuruh Jack dan Philip berbaring lagi di atas tubuh anak-anak perempuan, pikirnya. Bill melindungi anak itu dengan lengannya. "Jangan takut, Lucy-Ann," kata Bill. "Kau takkan apa-apa. Mereka takkan menyakiti anak-anak" Tapi Lucy-/\nn juga tidak mau "mereka" menyakiti Bill, seperti yang diduganya pasti akan terjadi. Ia berbaring diam-diam dengan muka dibenamkan ke dalam selimut. Deru pesawat terbang terdengar semakin nyaring. Pesawat itu berputar-putar tepat di atas kepala rasanya. Kemudian mesinnya dimatikan, dan pesawat itu turun ke air tidak jauh dari perahu. Ombak yang terjadi saat pesawat mencecah permukaan laut menyebabkan perahu terangguk-angguk Tidak ada yang berani mengangkat kepala untuk melihat ke arah pesawat terbang air yang besar itu. Bill takut orang yang di sana akan langsung menembak Saat itu terdengar suara yang sangat lantang, menggema di atas permukaan laut. Suara raksasa! "HE! AYO, MUNCUL!" "Jangan bergerak!" kata Bill. “Jangan bergerak! Kau tidak perlu takut, Lucy-Ann — mereka memakai alat pengeras suara! Karena itulah terdengar nyaring sekali." Suara yang tadi berkumandang lagi, "SENJATA KAMI SEMUA SUDAH TERARAH KE PERAHU KALIAN. JANGAN BERBUAT YANG ANEH—ANEH KALAU TIDAK INGIH HANCUR KENA TEMBAKAN! AYO, TUNJUKKAN DIRI KALIAN!" Bab 31 LAUT PETUALANGAN "Percuma — aku terpaksa menampakkan diri," kata Bill dengan suara pelan. "Kalau tidak, habis perahu kita diberondong dengan senapan mesin." Bill berdiri sambil melambai. Setelah itu ia mengangkat kedua belah tangannya tanda menyerah. Sebuah sekoci diturunkan dari pesawat, lalu meluncur dengan cepat ke arah perahu. Di dalamnya ada tiga laki-laki. Seorang di antaranya menggenggam pistol. Anak-anak menunggu dengan hati kecut. Mereka menunggu-nunggu tembakan yang terarah pada Bill. Tidak seorang pun mengangkat kepala untuk melihat. Tapi semua bisa membayangkan dengan jelas apa yang akan terjadi. Sekoci itu semakin mendekat. Tiba-tiba dari situ terdengar seruan heran, "Bill! Astaga — Bill! Kenapa kau tidak langsung menyambut kedatangan kami, tapi malah membuat kami menyangka kau anggota gerombolan penjahat?!" "Astaga — kau itu rupanya, Joe!" seru Bill. Nada suaranya yang terdengar lega menyebabkan anak-anak bergegas bangkit. "He, Anak-anak — itu Joe, rekanku. He, Joe — jadi kalian rupanya berhasil menangkap beritaku, ya?" Sekoci yang datang bergerak ke posisi bersampingan dengan perahu anak-anak. Sambil nyengir, Joe menyimpan pistolnya. "Ya — aku memang menerima kabarmu —tapi rupanya kau tidak menangkap kabar kami. Berulang kali kami mengajukan pertanyaan, tapi kau selalu mengulang kabar yang itu-itu terus. Karenanya lantas dikirim pesawat terbang ini untuk mencarimu. Kami sedang terbang berkeliling mencari laguna yang kausebutkan ketika tiba-tiba nampak perahu kalian itu. Kami lantas turun untuk memeriksa." "Untung saja," kata Bill. "Kami kehabisan bensin. Saat ini kami menunggu musuh muncul memburu kami dengan perahu motor atau pesawat terbang!" "Ayo, ikut ke pesawat," kata Joe. Orang itu bermata biru cerah, sedang mulutnya selalu menyungging senyuman lebar. "Atau mungkin anak-anak ini takut terbang?" “Wah, tidak! Kami sudah biasa," kata Jack, lalu menolong Dinah dan Lucy-Ann pindah ke sekoci. "Apakah sekarang kami diselamatkan?" kata Lucy-Ann. Ia sulit bisa mempercayainya, karena sudah begitu sering kaget dan ketakutan. "Betul, sekarang kalian diselamatkan," kata Joe sambil memandang Lucy-Ann dengan senyuman lebar. "Salah satu pesawat terbang laut kami yang terbesar sengaja dikirim untuk menjemput kalian. lni semuanya berkat Bill. la kan orang penting!" "Ya, betul," kata Lucy-Ann dengan wajah berseri. "Betul aku sudah selalu tahu bahwa Bill orang yang sangat penting." Tiba-tiba terdengar Dinah berkeluh-kesah. "Enggas dan Enggos ketinggalan," katanya hampir menangis. Joe kaget mendengarnya. "Astaga! Jadi masih ada orang lagi di perahu kalian? Tadi aku sama sekali tidak melihat mereka!" "Bukan — keduanya itu cuma burung puffin," kata Jack. "Tapi jinak sekali. Nah — itu mereka, terbang ke arah sini." "Tidak bisakah kita bawa pulang?" kata Lucy-Ann meminta. Tapi Bill menggeleng. "Tidak bisa, Lucy-Ann. Mereka pasti merana nanti jika dibawa pergi dari tempat mereka di kepulauan sini. Mereka pasti akan bersarang lagi, lalu bertelur. Saat itu mereka tentu akan sudah lupa pada kita." "Aku takkan pernah melupakan mereka! Tidak, tidak pernah," kata Lucy-Ann seolah-olah berjanji pada dirinya sendiri. "Mereka selalu setia menemani kita!" "Nah, kita sudah sampai," kata Joe ketika sekoci mendekati pesawat terbang yang besar itu. Anak-anak dibantu naik. Setelah itu pesawat berangkat dengan mulus, berputar makin lama makin tinggi seperti burung camar bersayap lebar. Perahu Horace ditinggal terapung-apung di tengah laut. Menurut Joe nanti akan datang perahu motor kepolisian untuk menjemput. "O ya, bagaimana dengan laguna itu?" kata Joe dengan tiba-tiba. "Aku ingin tahu letaknya, supaya bisa kutentukan posisinya dalam peta kami. Kurasa kita pasti bisa. menemukannya. Akan bisakah anak-anak ini mengenalinya lagi jika melihatnya dari atas?" "O ya!" kata Jack. "Tidak mungkin bisa keliru. Laguna itu berupa danau tepi laut, dan airnya lebih biru daripada laut yang di luar. Aku takkan heran apabila nanti Anda bisa melihat sebagian. Dan bungkusan itu di bawah air — apabila Anda terbang rendah. Air di situ sangat jernih." Pesawat terbang meluncur terus mengarungi udara. Anak-anak senang sekali. Di bawah terbentang laut yang biru, nampak begitu licin dan tenang permukaannya. Ketika pandangan dialihkan ke arah depan, nampak gugusan pulau yang kecil-kecil di kejauhan. Bukan main banyaknya! Kemudian Jack melihat laguna yang sedang dicari. "Itu dia, itu dia!" teriaknya. "Itu — di bawah, sebelah sana! Anda tidak mungkin keliru melihat — itu, terletak di antara dua pulau itu — dikelilingi beting!" Pesawat mereka terbang mengelilingi laguna yang menakjubkan itu. Terbangnya merendah. Anak—anak mengamat-amati dengan seksama. Mereka ingin tahu, apakah mungkin bisa melihat bungkusan-bungkusan yang terdapat di dasarnya. Dan benarlah — dalam air yang jernih nampak benda-benda kemilau samar. Itulah bungkus kedap air yang berisi senjata. "Di situ tempat senjata-senjata disembunyikan," kata Philip. "Lihat, Bill — dari sini nampak pembungkusnya yang kedap air! Para penjahat itu sudah mulai mengambilinya dan mengangkutnya dengan pesawat terbang air. Kami melihat sebuah pesawat air mereka memuat sejumlah bungkusan itu." Bill dan Joe berpandang-pandangan. "Kalau begitu kita punya saksi mata," kata Joe. "Anak-anak ini hebat, Bill. Merekakah teman-temanmu dalam beberapa petualangan yang lalu?" "Betul," kata Bill. "Mereka ini tidak bisa dijauhkan dari petualangan — dan aku selalu ikut terseret dengan mereka!" Pesawat meninggalkan laguna dengan rahasianya yang seram, lalu melintas di atas pulau tempat Bill pernah ditawan penjahat. "Itu pangkalan perahunya," kata Jack, sementara pesawat terbang rendah di atas tempat itu. "Lihatlah, sekarang ada dua perahu motor di situ! Eh, Bill —— lalu bagaimana nasib Horace?" "Ia akan diselamatkan nanti, saat kami membereskan penjahat-penjahat itu," kata Bill. "Mereka itu orang-orang yang gemar mengail di air keruh! Merekalah yang menjadi kaya raya apabila ada dua negara berperang, atau pecah perang saudara di salah satu tempat — karena mereka menjual senjata kepada kedua pihak yang bersengketa. Kami berusaha memberantas kegiatan ini melalui berbagai perjanjian internasional. Tapi mereka sama sekali tidak mempedulikan undang-undang — bahkan menentangnya. Dan di sinilah letak perananku — mencegah perbuatan mereka." "Bagaimana rencana Anda untuk mencegah mereka sekarang?" tanya Jack. "Apakah pulau itu akan diserbu — lalu para penjahat semuanya diringkus? Sedang senjata-senjata yang disembunyikan di situ dimusnahkan? Lalu bagaimana jika mereka melarikan diri dengan perahu motor atau pesawat terbang?" "Kau tak usah khawatir tentang hal itu," kata Joe sambil tertawa lebar. "Kami sudah mengirim berita. Beberapa jam lagi pesawat-pesawat kami akan sudah sampai di sini — sedang perairan sekitar sini dijaga kapal-kapal bersenjata yang berpatroli. Para penjahat itu tidak mungkin lagi bisa melarikan diri." Kecuali pangkalan kecil yang nyaris tidak ketahuan apabila Bill dan keempat anak itu tidak tahu letaknya di situ, tidak ada lagi yang bisa dilihat di pulau pangkalan musuh. "Segala-galanya tersamar rapi," kata Bill. "Mereka sangat licin! Sudah lama aku melacak jejak mereka. Berkali-kali mereka berhasil menipuku dengan jalan menyebarkan jejak palsu! Aku sudah nyaris putus asa. Kukira aku takkan bisa menemukan sarang mereka. Ternyata tempatnya di sini." "Mereka tentunya tercengang ketika melihat Anda tiba-tiba ada di sini, Bill!" kata Lucy-Ann, sementara pesawat terbang meninggalkan pulau pangkalan musuh itu. "Eh — itu kan pulau di mana kita mendarat bersama Bill!" seru Dinah. "Pulau Puffin! Lihatlah! Itu tebing tempat burung-burung laut bersarang — dan itu, nyaris tidak kelihatan dari atas sini, itu celah sempit yang menjorok masuk ke tebing. Dan di sana kami menyalakan api unggun." "Dan di sana kami memasang tenda, yang kemudian diterbangkan angin ketika ada badai - itu, di sana — dekat pohon-pohon kerdil itu," kata Jack. "Dan lihatlah — itu tempat pemukiman burung-burung puffin!" Pesawat diterbangkan cukup rendah saat itu, sehingga anak-anak bisa melihat kerumunan burung yang ribut karena takut mendengar bunyi bising yang ditimbulkan pesawat terbang. "Aku melihat Enggas dan Enggos!" seru Lucy-Ann. Anak-anak yang lain tertawa terbahak-bahak. "Mana mungkin! Kau bohong!“ kata Dinah. "Memang, aku cuma pura-pura saja." Kata Lucy-Ann mengaku. "Aku ingin mereka selalu berada di sana. Aku ingin mereka punya liang sendiri, kemudian bersarang — lalu bertelur! Kudoakan agar mereka nanti mendapat anak yang juga jinak. Selamat tinggal, Enggas dan Enggos yang manis." "Rrrrr!" kata Kiki dengan tiba-tiba, seolah-olah memahami kata-kata yang diucapkan Lucy-Ann. "Kiki mengucapkan `selamat tinggal` dalam bahasa puffin, " kata Lucy-Ann. "Rrrr, Enggas dan Enggos!" "Wah — banyak sekali yang bisa kita ceritakan nanti pada Ibu," kata Philip. "Aku ingin tahu bagaimana keadaannya sekarang." Joe memandangnya sambil tersenyum. "Baik-baik saja — hanya ia sangat mengkhawatirkan keadaan kalian," kata Joe. "Perasaannya pasti akan lebih baik setelah menerima berita radio kami." "Wah! Jadi Anda sudah mengirim berita padanya?!” kata Dinah. "Syukurlah — jadi ia akan tahu bahwa kami dalam keadaan selamat. Wah — aneh juga rasanya kembali lagi ke sekolah setelah pengalaman kita selama ini!" Wah — sekolah! Duduk dengan rapi di bangku masing-masing, belajar bahasa Prancis, diomeli karena membiarkan raket tenis tergeletak di mana-mana, belajar musik, tidur pada waktunya — ah, semuanya terasa janggal kalau dipikirkan saat itu. Hanya Lucy-Ann saja yang membayangkan dengan benar-benar senang. "Pasti menyenangkan kalau bangun pagi-pagi langsung tahu bahwa yang perlu dipikirkan hanya tentang pelajaran, main tenis, dan hal-hal seperti itu," katanya pada Bill. “Dan bukan cemas memikirkan kemungkinan musuh datang, serta melihat pesawat-pesawat terbang menjatuhkan senjata dengan payung terjun ke dalam air di laguna, berkeliaran dengan perahu motor dan "Dan mengetok kepala Horace," sambung Bill sambil nyengir. "Kami sama sekali tak pernah melakukan hal itu — biar apa pun juga ceritanya pada Anda," kata Lucy-Ann. "Kalau aku sampai ketemu lagi dengannya, akan kukatakan bahwa kami menyesali kekeliruan kami — tapi sungguh, orang itu memang perlu di — di..." "Digebuk kepalanya," kata Philip sambil tertawa geli. "Baiklah — digebuk," kata Lucy-Ann. "Ia memang perlu digebuk; karena seenaknya saja menceritakan hal-hal yang tidak benar." Pesawat mereka sementara itu sudah menuju ke selatan, meninggalkan pulau-pulau kecil yang mengasyikkan dengan berjuta-juta burung laut yang suaranya membisingkan. Matahari sudah hampir terbenam. Laut nampak biru kelam. Beberapa menit lagi bintang-bintang akan sudah mulai kemerlip di langit malam, kemilau seperti taburan berlian. "Sebentar lagi kita akan sudah terbang di atas daratan," kata Bill. "Syukurlah, segala-galanya berakhir dengan baik! Tadi aku menyangka riwayat kita pasti tamat saat itu, ketika pesawat ini turun ke air dekat kita lalu kita dipanggil untuk menyerah. Ini satu petualangan lagi yang bisa kita jadikan bahan obrolan saat kita berjumpa kembali dalam liburan. Banyak sekali pengalaman kita bersama selama ini!" "Bagiku, yang ini yang paling mengasyikkan," kata Jack termenung sambil menggaruk-garuk jambul Kiki yang tinggal sedikit. "Segala pulau itu — di tengah laut sunyi dengan warna-warnanya yang biru, hijau, dan kelabu." "Laut Petualangan," kata Lucy-Ann pada dirinya sendiri. la memandang ke bawah dari balik jendela pesawat Memandang permukaan luas yang nampak biru gelap — di sana sini bersepuh sinar keemasan yang terpantul dari langit senja. "Selamat tinggal, Laut Petualangan! Kau indah sekali — tapi bagiku terlalu banyak mengandung ketegangan!" T A M A T Gudang Download Ebook: www.zheraf.net http://zheraf.wapamp.com